ELEVEN

57 18 2
                                    


"Aku di sini. Tepat di belakangmu."
      
Aku tahu ini hanya delusi. Delusi yang akhir-akhir ini sangat kunikmati.

Namun tak lama keningku berkernyit bingung saat semua pasang mata kini mengarah ke belakang tubuhku. Hampir semua, suasana mendadak hening. Membuatku mau tak mau memutar badan menatap pusat perhatian mereka.
      
Sreekkk!!!
      
Walkie-talkie kembali bergemeresak singkat.
      
"Senang melihatmu lagi Shaila."
      
Deg!
      
Sekarang aku hampir tidak bisa membedakan mana delusi dan mana dunia nyata. Tapi sosok yang berdiri beberapa meter dariku itu terlihat sangat nyata sekarang.

Tidak Shaila tidak, jangan tertipu lagi.
      
Tap... Tap... Tap...
      
Kaki dengan balutan sepatu kulit itu kembali melangkah. Mendekat ke arahku yang masih terpaku di tangga bis.
      
"Kau tak merindukanku?"
      
Air wajahku masih sama. Antara percaya tak percaya. Menyelami netra coklat gelap Regi yang sudah berdiri beberapa langkah di depanku.

"Ini bukan mimpi?"
      
"Memangnya kau memimpikan ku?"
      
"Hmm. Baru saja. Sampai rasanya aku ingin gila."
      
Tangan besar itu terayun, menarik pergelangan tanganku hingga limbung lalu masuk ke dalam pelukannya.
      
"Bukan mimpi Shaila. Aku kembali. Maaf membuatmu menunggu lama."
      
Tubuhnya hangat. Sama seperti pelukan nyamannya yang sempat kunikmati di dalam mimpi tadi. Kedua tanganku bergerak, balas membelit pundak lebarnya.

"Tadi itu aku bermimpi. Mimpi yang sangat menakutkan."
      
"Tentang aku? Aku bagaimana dimimpimu?"
      
"Kau datang, memelukku, lalu pergi tanpa aku bisa menjawab pertanyaanmu."
      
"Memangnya apa yang kutanyakan?"
      
"Aku merindukanmu. Itu jawaban yang ingin kuberikan tadi."
      
Air mata tak berhenti menetes membasahi pipi, lalu mengalir ikut membasahi sebagian seragam pundak kanan Regi.

"Regi, akhir-akhir ini aku sering kehilangan akal. Bagaimana kalau sekarang aku juga sedang kehilangan akal?"

Aku hanya takut, jika ini bukanlah hal yang nyata lagi.
      
"Aku di sini, aku kembali. Seperti janjiku."
     
Tanganku lebih kuat membelit pundaknya saat Regi mulai melonggarkan pelukan.

"Tidak. Biarkan seperti ini kumohon."
      
"Ada hal yang harus kau tahu. Tak ingin dengar?"
      
Kenapa pria ini mendadak berubah menjadi sosok pengertian penuh kehangatan?
      
"Aku sedang tak mau membahas apa pun. Regi sungguh, diamlah, kau tak merasakan sekencang apa degub jantungku?!"

Saking kesalnya pada Regi yang terus bergerak berusaha melepas dekapan kami, aku sampai membentaknya tak mempedulikan keberadaan makhluk lainnya yang masih memusatkan perhatiannya pada kami.
      
Tangan besar itu kembali membelit pinggangku erat. Kepalanya mendelusup di ceruk leherku. Menyamankan posisinya.

"Jadi kau juga merindukanku ya? Sebesar apa?"

Kekehan lembut keluar dari bibirnya.
      
"Kenapa benda itu tak bekerja? Kenapa kau menon-aktifkannya?"
      
"Barusan aku aktifkan."
      
"Ibu, Shaila masih takut."
      
Kekehan renyah kembali keluar dari bibir Regi saat aku bergerak menyamankan posisi.
      
"Boleh kulepaskan dulu? Setelah aku menjelaskan kronologi pada mereka kau boleh kembali memelukku sepuasmu."
      
Dengan berat hati kulepas belitan lenganku. Membalas tatapannya, saat ini tinggi tubuh kami sejajar karena posisiku masih tetap di tangga bis.

Regi lantas membalik badan, melangkah menuju Erza, Dokter Danzel, dan Opsir Anan yang berdiri bersisian di depan sana setelah sebelumnya mengacak ringan puncak kepalaku.
      
Entah apa yang ketiganya bahas. Karena jarak kami cukup jauh. Hanya gerakan bibir dan ekspresi serius mereka yang dapat ku lihat.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now