FIFTEEN

62 16 0
                                    


Ragu-ragu kakiku melangkah mengitari lantai dasar rusun. Mencari Regi yang entah hilang kemana. Namun berkat senter kecil pemberian Letnan Kolonel Stevi, dapat sedikit menenangkanku.
      
Lantai dasar sudah kujelajahi. Sampai ke pelosok-pelosok nya. Namun Regi tak ada di sini.

Apa iya ke lantai atas? Tapi untuk apa? Kurang kerjaan sekali menjelajah sampai sana.
      
Satu-satu kutapaki anak tangga, hingga tiba di lantai dua. Cahayanya lebih redup dari ruangan di lantai dasar. Mungkin karena jendela-jendela nya yang tertutup semua sepanjang koridor.
      
"Regi, di mana kau?"
      
Nyaliku menciut dari biasanya. Rusun ini benar-benar suram.
      
"Di mana kau sialan?"
      
Lagi, aku hanya berani bergumam kecil. Menyusuri lorong demi lorong tanpa berani membuka setiap pintu yang kulalui.

Bunyi nyaring kelelawar menambah kehororan lorong.
      
"Regiiii, jika kutinggal sama saja aku melepas tamengku sendiri," cebikku kesal.
      
Srak!!!
      
"Kau gila?!"
      
"Hei tenanglah! Aku juga penyintas!"
      
Bugh!
      
Srak!!!
      
Samar-samar suara Regi terdengar di tengah suara gaduh dari lantai tiga. Tanpa membuat perhitungan matang dulu, kakiku langsung berlari menyusuri sumber suara.
      
"Tenanglah!"
      
"Regi!"
      
Berkat teriakanku, kegaduhan itu berhenti. Regi maupun seorang pria yang tengah mencengkram kerah seragam Regi sama-sama terpusat padaku.

Untuk beberapa waktu tatapan kami berdua terkunci. Jujur, mata bernetra abu-abu samar itu mengunci tatapanku.
      
"Shaila, dia tak mendengarkanku." Adu Regi.
      
Tap... Tap... Tap...
      
"Tenanglah. Kita semua sama-sama penyintas. Tak ada penyerangan di sini. Hmm?"
      
Perlahan, cengkraman di kerah seragam Regi melemah, hingga akhirnya terlepas.

Kakiku tetap melangkah pelan ke arahnya. Sampai akhirnya berhenti tepat beberapa centi di depannya.
      
Di jarak sedekat ini, netra abu-abu itu terlihat lebih jelas. Warnanya sangat indah.
      
"Aku Shaila. Siapa namamu?"
      
"Archie,"
      
Suara halus setengah dalam itu membuatku keluar sejenak dari pikiranku.
      
"Bagaimana bisa kau ada di sini? Bagaimana bisa kau lolos?"
      
"Jadi, aku bukan satu-satunya orang yang tertinggal?"
      
Archie balik melayangkan pertanyaan padaku.
      
"Kau tertinggal?"
      
"Tidak. Aku melarikan diri."
      
"Apa?"
      
Sret!!
      
Belum selesai aku dengan keterkejutan ku karena tarikan kuat Archie di pergelangan tanganku, suara kuncian pistol Regi tambah membuat mataku membola.
      
"Lepaskan dia!"

Suara Regi menggelegar di lorong lantai tiga ini.
      
Sedangkan aku masih menetralkan jantungku yang bertalu cepat. Menatap kosong pada Regi dari balik punggung lebar Archie.
      
"Dia jahat Shaila. Aku melarikan diri dari orang sepertinya. Para pria yang mengenakan seragam sama sepertinya membawa semua penghuni rusun ini."
      
"Dia bukan orang jahat. Tenanglah,"
      
"Tidak. Mereka semua jahat! Mereka semua menyeret para penghuni!"
      
Genggaman di pergelangan tanganku berubah menjadi cengkraman kuat.
      
"Bukan, dia Kakakku!"
      
Seruanku membuat tubuh di depanku ini menegang. Perlahan, tubuh Archie menyerong, hingga setengah menghadapku.
      
"Dia Kakakku, dan kami berdua bukan orang jahat. Dia membelot dari misinya, okay?"
      
Seperti mengerti arti kata membelot yang kumaksud. Cengkraman Archie perlahan mengendur, hingga tak semenyakitkan tadi.
      
"Dia tak sama seperti mereka. Orang-orang yang kau maksud. Kami berbeda Archie. Kami juga melarikan diri dari mereka. Sama sepertimu."
      
Tatapan lugu Archie benar-benar membuatku tak tega untuk melepaskannya sendiri di rusun sesuram ini.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now