Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hingga malam pun membaur rasa senyap di kamarku. Aku masih benar-benar tidak bisa melupakan cara Paman Jung menatap Lisa saat kami makan malam bersama tadi.
Hanya...
Kenapa?
Beberapa bulan lalu, tepat ketika kami dijemput paksa saat teman-teman Lisa datang, aku juga menangkap ekspresi cemburu itu.
"Ssshhh, huh!"
Aku bangun sambil mengacak-acak rambutku. Untuk apa juga aku memperdulikannya sejauh ini?
Jika ada sesuatu... Ya sudah!
Itu kan urusan mereka?
Seperti orang gila saja otakku terus berperang perihal gadis itu dan pamannya. Hingga tak lama ponselku berdering. Ku lirik sepintas, nama Lyn tertera di sana.
Aneh, bahkan aku biasanya sangat antusias jika mengetahui kontak mantanku itu memanggilku.
Kali ini alih-alih antusias, aku malah bergerak menolak panggilannya.
Malas.
Ya, entahlah.
Aku kembali merebah. Menyembunyikan seluruh wajahku dengan bantal yang ku letakkan di atasnya. Lalu ku tekan benda itu kuat-kuat seakan ingin membunuh diriku sendiri.
Tidak.
Sebenarnya aku sudah mencurigai satu hal tentang ini.
Bukan tentang Lisa, atau paman Jung.
Tapi...
Drrt... Drrt...
Kembali sebuah notifikasi datang merusak pikiranku. Aku pun menggapainya cepat, hanya berpikir jika itu Lisa.
Helaan napasku terasa berat. Lisa apanya? Itu bahkan hanya sebuah pesan grup obrolan trainee di agensi tempatku berlatih.
Meskipun kesal, aku memilih menggulir layar ponsel untuk membuka pesan obrolanku dengan Lisa.
Senyumku tiba-tiba mengembang. Tau kenapa?
Hanya karena mengingat gadis ini yang kadang-kadang berkelakuan lebih gila daripada orang yang sakit jiwa. Tanpa sebab, ia bisa tiba-tiba mengirimkan PAP dirinya yang sedang melakukan sesuatu yang seharusnya aku tak perlu tau.
Sedang pup misalnya. Atau ketika ia selesai mandi dan hanya menggunakan bathrobe yang sengaja ia bentangkan dan mengambil potretnya dari arah belakang. Dan ya... Banyak lagi.
