06 - Variabel Y

6 3 0
                                    

11000-11-10110

Bimbingan hari ini masih digelar bersamaan dengan adanya Ujian Satuan Pendidikan kelas dua belas. Dua jarum arloji menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit saat aku, Nada, dan Adena berada di ruangan kemarin. Kondisi sekolah yang sunyi—ujian kelas dua belas berlangsung di laboratorium komputer—menambah ketenangan dalam hati.

“Aku jadi ingat tahun lalu,” ujarku memecah kesunyian.

Nada dan Adena mengangguk setuju. “Bertiga,” ujar Adena.
Aku tersenyum. Tidak berselang lama, Luna memasuki ruangan. Usai meletakkan tas di bangku yang biasa Luna tempati, Pak Arka datang membawa beberapa lembar kertas.

“Seperti biasa kalian kerjakan terlebih dahulu, setelah USP jalan kita bahas bersama,” ujar Pak Arka membagikan beberapa lembar soal.

“Sandra belum datang, Pak.” Adena bersuara.

“Sandra izin, tadi sudah kirim pesan ke saya,” ujar Pak Arka kemudian.

“Pak, hari ini jangan siang-siang ya.” Nada tiba-tiba bersuara.
Pak Arka menatap Nada sekilas. “Lho, kenapa?” Ia bertanya dengan ramah.

“Nggak jadi deh, Pak.” Nada tersenyum kikuk.

“Oh iya, sepertinya besok saya ada rapat. Untuk bimbingannya tunggu info dari saya. Kalau misalnya rapatnya lama, terpaksa kita bimbingan via daring.”

Aku sedikit terkejut mendengar penuturan Pak Arka. Sejujurnya, aku sedikit merasa tidak nyaman jika bimbingan via daring. Tapi, bagaimana pun via daring lebih baik daripada tidak bimbingan sama sekali.

“Kalau begitu, silakan dikerjakan.” Pak Arka meninggalkan ruang bimbingan.

Kubaca satu per satu soal yang ternyata mencakup materi modulo dan kombinatorika. Seulas senyum terbit di wajahku, materi hari ini sama persis dengan video pembelajaran yang dikirim Pak Arka via pesan grup. Tanda faktorial yang menghiasi beberapa baris membuatku teringat masa-masa bimbingan bersama seorang guru yang membuatku mencintai Matematika.

Dahulu, aku begitu senang ketika naik ke kelas lima sekolah dasar. Kesenanganku ini bukan tanpa alasan, melainkan di kelas lima selalu terdapat seleksi perwakilan sekolah mengikuti Olimpiade Sains Nasional. Kala itu, Pak Reza—guru kelas lima—mengumpulkan aku dan teman-teman satu kelas untuk mengikuti seleksi.

Pak Reza sempat menanyakan keinginanku untuk mengikuti lomba Matematika atau IPA. Aku yang mendapat penawaran pun menjawab ingin ikut serta di mata pelajaran IPA seperti kakak kelas yang pernah menjadi idolaku, Kak Nadella. Waktu itu aku tidak begitu mencintai Matematika. Bisa dibilang, aku belum begitu nyaman berkutat dengan angka. Namun Pak Reza yang notabenenya menjadi pembimbing OSN Matematika dan IPA memutuskan agar aku mengikuti olimpiade Matematika. Mau tak mau, aku menjadi wakil sekolah di OSN Matematika.

Bimbingan yang dilakukan setiap hari saat di sekolah dan di rumah Pak Reza membuatku terbiasa mengerjakan Matematika. Tak ada hari yang kujalani tanpa belajar Matematika bersama Pak Reza. Sebenarnya, Pak Reza adalah guru paling disiplin dan ditakuti di sekolah dasar.

Didikannya yang tegas namun sering dibumbui candaan selalu berhasil menginspirasi anak didiknya. Pak Reza sudah mengajarkan begitu banyak hal saat aku tak mengerti jalan cerita semesta. Ia mengajarkanku untuk berpandangan luas. Aku yang mulanya tidak memiliki kepercayaan diri, perlahan dapat menatap lurus ke depan. Ia selalu mempercayai kemampuan anak didiknya melebihi dirinya sendiri. Kepercayaan itu, mengantarkanku untuk sampai di titik ini.

Aku tersenyum. Aku tak pernah bisa membalas jasa Pak Reza. Namun aku selalu berdoa, agar dapat membuatnya tersenyum bahagia melalui KSN ini, dengan bantuan Pak Arka. Aku tak pernah menyesal ditunjuk langsung oleh Pak Reza menjadi perwakilan OSN Matematika. Meski tak berhasil mendapatkan gelar juara, aku memperoleh begitu banyak pengalaman berharga dan teman dengan kemampuan luar biasa.

NEGASI ( SELESAI )Where stories live. Discover now