Prolog - Negasi

37 6 0
                                    

1111-110-10110

Aku berdiri di depan gedung perpustakaan sekolah dengan lemas. Kupandangi sejenak tiga pustaka yang sebentar lagi tak akan pernah kutemui setelah hampir tiga bulan membersamai. Aku melepas sepatu yang menyelimuti kaki lantas melangkah menuju meja pustakawan. “Permisi Bu, saya ingin mengembalikan buku,” ujarku sedikit lesu.

Pustakawan berkacamata itu menatapku sebelum memperhatikan tiga buku yang ada di genggamanku. “Buku referensi? Sini biar saya saja yang simpan,” ujarnya. Ia mengambil tiga buku terbitan PT. Erlangga lantas menyimpannya di rak belakang.

“Kelas berapa?” Pustakawan itu kembali bertanya.

“Sebelas, Bu.” Aku berucap seadanya.

Pustakawan itu mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat usai membaca tulisan yang tertera. “Tandatangani ini dahulu,” ujarnya kujawab dengan anggukan. Tanpa membuang waktu kububuhkan tanda tangan di kolom segaris judul buku yang kupinjam.

“Terima kasih, Bu.”

Aku meninggalkan perpustakaan setelah Bu Isyana—pustakawan itu—memberi anggukan. Kukenakan lagi sepatu hitam bertali sebelum meninggalkan ruangan dengan bibliosmia yang semerbak.
Langkahku melirih saat melewati sebuah ruang kelas tak dihuni. Rasa nyeri menggerogoti tubuh. Rasanya aku seakan terlempar ke jurang masa lalu. Saat-saat menjadi langkah awal kebahagiaan hidupku.

Aku menggeleng cepat guna menghilangkan sekelebat memori yang melintas. Kulangkahkan kaki menuju ruang guru untuk memenuhi panggilan Bu Jasmine. Beberapa langkah lagi pintu masuk berada tepat di hadapanku. Usai kudapati sosok yang kini sibuk dengan beberapa lembar kertas di genggamannya, aku memilih memutar. Aku mengurungkan niat untuk masuk melalui pintu depan dan beralih ke pintu samping.

“Bu Jasmine.” Dengan hati-hati kupanggil Bu Jasmine yang sedang berkutat dengan tumpukan kertas di ruang guru. Ia mendongak. Tesmak yang bertengger di hidungnya tak mampu menyembunyikan sorot netra nan meneduhkan.

“Alfa, silakan duduk.” Bu Jasmine meletakkan tumpukan kertas di atas tumpukan map beraneka warna seraya membenarkan posisi kacamata yang semula memiliki gradien. “Kamu sudah memikirkan lomba cerpen yang saya tunjukkan semalam?” Ia bertanya dengan ramah.

Aku mengangguk. “Sudah, Bu.” Kujeda perkataanku sejenak. “Saya bersedia,” sambungku dengan sedikit melirih. Sejujurnya aku ragu. Namun keraguanku sirna usai kulihat Bu Jasmine tersenyum. Ia sudah seperti ibu kedua bagiku.

“Bagus. Berkenaan dengan lomba cerpen ‘Lelaki Terbaik’, kamu bisa memulai menulis dari hari ini sepulang sekolah. Prosedur penulisannya sesuai juknis yang kamu baca.” Bu Jasmine memberi penuturan.

“Waktumu satu minggu untuk menyelesaikan cerpen ini. Tanggal dua puluh dua nanti, temui saya di laboratorium komputer nomor satu. Saya ingin memeriksa naskahmu. Tepat tanggal dua puluh tiga, naskahmu harus sudah dikirim,” imbuhnya.

“Tanggal dua puluh tiga ... bersamaan dengan pengambilan rapor, Bu?” Aku bertanya dengan sedikit ragu.

Bu Jasmine mengangguk. “Tugasmu sudah beres semua ‘kan?” tanya Bu Jasmine.

Aku balas mengangguk. “Sudah Bu.”

Bu Jasmine tersenyum. “Bagus. Saya sungguh berterima kasih kamu bersedia berpartisipasi di event ini. Apa pun hasilnya nanti, saya yakin kamu bisa memperoleh yang terbaik. Tulis cerita dengan sepenuh hati, takdir yang baik akan mengikuti.” Bu Jasmine menjeda perkataannya. “Kamu boleh kembali ke kelas,” pungkasnya.

Aku mengangguk. “Permisi Bu,” ujarku dibalas anggukan Bu Jasmine.

Saat aku menoleh ke pintu keluar bagian depan, tak ada lagi sosok yang tadinya kuhindari. Alhasil aku memilih kembali melalui pintu depan yang lebih dekat dengan koridor menuju kelas. Sepanjang langkah aku hanya memikirkan sebuah interogasi; siapa sosok yang harus kujadikan sebagai tokoh utama.

Aku menghela napas. Dengan sedikit malas aku melangkahkan kaki menuju gedung olahraga sekolah usai mendapati tak ada seorang pun di ruang kelas. Pertandingan futsal yang berlangsung tak mampu menyingkirkan sesak di dada. Aku masih belum bisa menerima, satu mimpiku sudah menjadi abu arang.

Aku tidak begitu menikmati pertandingan dengan delapan orang yang sibuk memperebutkan bola. Padahal futsal adalah salah satu pertandingan favoritku setelah sepak bola.

Kini, pikiranku justru tertuju pada sosok yang kutemui sebelum Bu Jasmine. Sejujurnya, aku tak ingin menghindar. Namun kejadian semalam berhasil mengikis keberanianku berdiri di hadapannya, apalagi untuk bertukar sapa.

Bel pulang berbunyi sesaat setelah pertandingan futsal berakhir. Kuambil tas merah muda berusia lima tahun dan beranjak meninggalkan kelas setelah tak seorang pun tersisa. Ekor mataku tak sengaja mendapati sosok yang kuhindari tengah bersiap untuk pulang saat aku telah berdiri di depan gerbang sekolah untuk menunggu jemputan.

Aku menghela napas. Jika saja aku bisa menegasi segalanya....

Sesampai aku di rumah, kurebahkan diri di atas ranjang. Binder asfar yang tergeletak di ranjang menghancurkan dinding pertahanan.

Aku menyalakan gawai, membuka salah satu aplikasi percakapan lantas membaca sebuah pesan yang membantuku bertahan.

Kamu sudah berjuang maksimal kok. Apapun keadaannya, saya tetap bangga dengan kalian. Jangan bersedih atau bersusah hati. Masih banyak kesempatan dan waktu untuk berprestasi. Jangan putus asa dan tetap optimis ke depannya, okay?

Aku rindu. Aku tak mampu melewati haru biru.

Bangkit dari ranjang, kunyalakan laptop yang tergeletak di meja sudut ruangan, lantas membiarkan jemariku menari dengan sendirinya.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )حيث تعيش القصص. اكتشف الآن