01 - Basis Dua

21 5 0
                                    

1011-11-10110

Aku melangkahkan kaki dengan benak dipenuhi kelesah, entah warna apa yang menghiasi lembaran hari ini. Jumat pagi kala ibun tengah mengungkapkan kerinduan bersama setiap helai daun tanaman pucuk merah menjadi satu dari tiga ratus enam puluh lima hari lama kunanti.

Sapaan ragu-ragu sang bagaskara menjadi saksi kedatanganku di papan dengan meja dan kursi yang tersusun rapi. Tak ada seorang pun di sini. Pun siswa kelas dua belas yang disibukkan dengan segelintir ujian, tengah menikmati hari-hari libur sebelum ujian yang sebenarnya menghampiri.

Kudaratkan tubuhku di bangku paling depan—berhimpit dengan meja guru. Dua jarum arloji masih menunjuk celah antara tujuh dan enam, sementara seleksi baru dimulai pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Aku sengaja berangkat lebih awal mengingat hari ini menjadi hari berarti dalam hidupku.

Derap langkah kaki yang mendekat membuat pandanganku tertuju pada ambang pintu. Seorang rekan KSN tahun lalu datang dengan senyum merekah. Siswi dengan sapaan Adena memilih duduk di kolom nomor dua—tepat di sebelah kiriku.

Satu per satu peserta seleksi Kompetisi Sains Nasional tingkat sekolah bidang Matematika berdatangan. Disusul seorang guru Matematika yang menjadi pembimbing KSN setiap tahun. Pak Arka, begitu mereka menyapanya. Lagipula, siapa yang tak mengenal Pak Arka—guru beribu talenta—idola setiap siswa yang senantiasa menebar manfaat untuk banyak orang.

“Assalamualaikum, saya Arka Dilan Ivander selaku pengampu Kompetisi Sains Nasional mata pelajaran Matematika.”

Pak Arka memberikan sedikit pendahuluan sebelum memulai seleksi KSN hari ini. Sepanjang ia menjelaskan, pikiranku hanya tertuju pada satu tujuan—aku harus menjadi satu dari lima orang beruntung—terpilih mewakili sekolah.

Soal telah dibagikan, aku benar-benar menikmati ujian kali ini. Tak seperti tahun lalu yang penuh lika-liku. Usai mengisi daftar hadir, aku mulai membaca satu per satu soal dengan saksama lantas membiarkan jemariku menari dengan sebuah pena di atas kertas. Tiga puluh menit terakhir, kutemukan solusi dua persoalan yang sejak tadi kucari. Entah mengapa hari ini aku merasa begitu bahagia. Setiap menjawab soal, seulas senyuman tak pernah luput dari wajahku.

Salah seorang guru menghampiri Pak Arka tepat setelah aku menyelesaikan soal terakhir. Ia tampak membisikkan sesuatu, aku masih dapat mendengar pembicaraan mereka. “Setelah seleksi nanti, langsung kita koreksi.”

Samar-samar aku lihat Pak Arka mengangguk. “Saya kasih tambahan waktu sepuluh menit, Pak.” Guru laki-laki itu mengangguk lantas meninggalkan ruangan. Pak Arka beralih memerhatikan seisi ruangan yang masih berkutat dengan soal.

“Waktu kalian tinggal sepuluh menit. Kerjakan sebisanya menggunakan nalar kalian,” ujar Pak Arka.

Aku tak ingin menyia-nyiakan sepuluh menit yang berharga. Kubaca satu demi satu soal dan jawaban lantas kuhitung ulang setiap persoalan. Dua menit terakhir seorang guru Bimbingan dan Konseling sekaligus panitia penyelenggara Kompetisi Sains Nasional Sekolah memasuki ruangan.

“Permisi Pak Arka.”

Guru itu menghadap ke arah kami—peserta seleksi KSN tingkat sekolah. “Selamat pagi. Saya hanya ingin mengingatkan, setelah seleksi nanti jangan pulang dahulu. Ada beberapa informasi yang ingin saya sampaikan. Sekali lagi, setelah seleksi jangan pulang dahulu. Ada informasi yang ingin saya sampaikan. Ingat, terima kasih.” Guru laki-laki itu melempar senyum pada Pak Arka sebelum meninggalkan ruangan seleksi.

Pak Arka menatap arloji sebelum beralih memperhatikan kami. “Waktu kalian habis, silakan dikumpulkan,” ujarnya membuat aliran darahku meningkat. Menit pertama tak seorang pun bersedia menyerahkan jawaban.

Aku menghela napas. Kuberanikan untuk berdiri menyerahkan lembar jawabanku pada Pak Arka. Setelahnya satu per satu peserta seleksi berbondong-bondong menyerahkan jawaban. Setelah memastikan setiap peserta seleksi menyerahkan jawaban mereka, Pak Arka bangkit dari tempat duduk.

“Sampai di sini seleksi hari ini. Terima kasih telah berjuang, semoga kesuksesan senantiasa mengiringi langkah kita dalam menggapai mimpi. Seperti perkataan Pak Fathan, jangan pulang terlebih dahulu. Sampai jumpa di KSN tingkat kota. Wassalamualaikum,” tutur Pak Arka.

Tak berselang lama setelah punggung Pak Arka tak lagi nampak, Pak Fathan memasuki ruangan. Ia menginstruksikan untuk bergabung di grup perpesanan. Ia menambahkan hasil seleksi akan diumumkan melalui grup tersebut. Setelah bergabung dalam grup, aku dan Nada—teman sekelasku—beranjak meninggalkan ruangan. Saat kami melewati ruang seleksi mata pelajaran Geografi dan Kebumian, tak sengaja aku mendapati Pak Arka tengah sibuk dengan tumpukan kertas.

Aku dan Nada berpisah setelah sampai di tempat parkir siswa karena ia datang dengan mengendarai motor. Kulangkahkan kakiku menyusuri pekarangan sekolah hingga di depan gerbang. Pukul sembilan lebih dua puluh empat menit. Kukirimkan pesan pada ibu dan langsung mendapat pesan balasan. Setelah menunggu selama beberapa saat, ibu datang dari arah Timur dan mengakhiri penantian.

“Gimana seleksinya, lancar?” Setelah duduk di jok belakang, aku mengangguk.

“Alhamdulillah,” jawabku seadanya.

Ibu mengangguk. “Ikut ibu ke toko Galen sebentar, ada barang yang harus dibeli,” ujarnya lantas menancap gas meninggalkan area sekolah.

Ibu melajukan motor dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, aku asyik menikmati keindahan lukisan semesta yang terbentang di atas cakrawala. Meski tak dapat kupungkiri, jantungku masih berdegup kencang menanti hasil seleksi.

Motor yang kami kendarai berhenti tepat di depan sebuah toko sembako. Kuletakkan tas di bagian dek motor lantas menghampiri ibu yang sibuk memilih beberapa barang. Tiga puluh menit berlalu, motor matic bernuansa hitam kembali melaju menyusuri jalan raya yang tak begitu ramai. Saat melewati sebuah tempat makan, tak sengaja kudapati Pak Arka bersama guru-guru lain di sana. Sekilas, aku langsung teringat mengenai seleksi yang baru saja kujalani. Entah apa hasilnya nanti.

1111-110-10110

“Belum tidur, Al?”

Aku tersenyum kikuk seraya menggeleng.

Ibu yang berdiri di ambang pintu kamar berdecak. “Cepat tidur sudah malam, besok sekolah.” Ia berkata dengan tegas.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya pintu kamarku tertutup. Tak kudengar lagi suara ibu yang menggema.

Aku bergegas menyimpan file cerpen dalam flashdisk sebelum mematikan laptop hitam pemberian pertama orang tuaku. Kusimpan kembali laptop di lemari sebelum kurebahkan diri di ranjang.

Kutatap langit-langit kamar dengan batin berkecamuk. Rasanya begitu banyak kejadian melintas di otakku seperti kaset semesta. Kuarahkan pandanganku pada sebuah potret di meja yang berhadapan langsung dengan ranjang.

Dua ribu tujuh belas. Kukira kejadian lima tahun lalu akan terulang di tahun ini. Kukira, setiap mimpi tersembunyi di malam yang sunyi akan terwujud di tahun ini. Kukira setiap harapan yang digantungkan di penghujung petang akan didapati di tahun kedua ini.

Nyatanya, proses semesta tidak semudah yang diterka. Aku, adalah anak manusia yang tersesat dalam proses semesta.

Aku menghela napas. Kupejamkan netraku setelah kuakhiri sekelebat memori yang menguras hati. Mengharap bunga tidur mampu menggantikan sesak sanubari.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Where stories live. Discover now