26 | Pesan Dari Pram

671 69 0
                                    

Narendra membuka pintu kamarnya beberapa saat kemudian. Ia keluar dari kamar itu bersama Larasati, untuk menghadapi Tio dan Reza. Namun sayang bukan Tio dan Reza yang ternyata sudah menunggu mereka berdua di depan pintu, melainkan Pram yang langsung menyambut mereka dengan pukulan di kaki menggunakan tongkat.


"Dasar tidak tahu adab!" murka Pram. "Sudah tahu di rumah ini sedang ada yang hamil dan sedang ada tamu, kalian malah seenaknya saja bertengkar tanpa tahu waktu! Kalian pikir Naya tidak butuh istirahat dalam masa kehamilannya yang masih muda itu? Kalian senang kalau dia merasa stress? Lalu apakah kalian tidak memikirkan tamu kita yang juga butuh istirahat setelah melalui hari yang panjang tadi? Kalian berdua tidak malu pada besan kalian? Ibunya Naya dan Ben butuh istirahat. Ibunya Silvia juga butuh istirahat. Kalian tidak berpikir pada hal itu sebelum bertengkar? Jawab!" perintah Pram dengan tegas.

Ayuni, Bagus, dan Damar hanya bisa melihat dari puncak tangga lantai tiga. Mereka jelas tidak berani turun ke bawah. Sementara itu Arini, Erna, Nania, Silvia, dan Naya hanya bisa mendengarkan dari depan pintu kamar masing-masing dan tak berani menunjukkan diri. Tio dan Reza ada di belakang Pram. Mereka tak berani pergi karena Pram meminta mereka untuk tetap berada di tempat.

"Maafkan kami, Yah," jawab Larasati.

"Kami sungguh tidak bermaksud mengganggu istirahat siapa pun, Ayah. Kami ... pertengkaran kami benar-benar sama sekali tidak terduga," tambah Narendra.

Pram masih menatap mereka dengan wajah penuh amarah.

"Duduk di sofa itu! Sekarang!" perintah Pram sekali lagi.

Larasati dan Narendra pun segera berjalan menuju sofa yang tersedia di lantai dua rumah itu. Setelah mereka duduk di sana, Pram kini duduk di sofa paling ujung.

"Tio ... Reza ... kembali ke kamar kalian dan temani Istri kalian. Katakan juga pada Ibu mertua kalian untuk beristirahat dan tidak memikirkan pertengkaran dua orang remaja tua yang akan segera Kakek disiplinkan ini," ujar Pram.

"Ba--baik, Kakek," jawab Tio, agak sedikit kaget dengan apa yang Pram katakan tentang kedua orangtuanya.

Reza memilih tak mengatakan apa-apa dan segera berjalan menjauh dari sofa, sebelum tawanya meledak karena mendengar Ayah dan Ibunya disebut remaja tua oleh Pram. Ketika semua orang masuk ke kamar masing-masing, hanya Ayuni, Bagus, dan Damar yang masih berada di puncak tangga lantai tiga. Mereka memang sejak tadi belum tidur dan belum beranjak ke kamar. Jadi tidak ada alasan yang bisa membuat mereka bisa diperintah untuk masuk ke kamar.

"Sekarang katakan, apa yang kalian bahas sehingga pertengkaran sampai pecah di antara kalian? Kalian membahas tentang Sasmita?" tanya Pram.

Narendra melirik sekilas ke arah Larasati, begitu pula Larasati yang kini sedang melirik ke arah suaminya tersebut.

"Iya, Ayah. Kami sedang membahas Sasmita dan dendamnya kepada kami berdua," jawab Larasati pada akhirnya.

Ayuni menatap Bagus, karena tampaknya Bagus tahu sesuatu mengenai hal yang baru saja Larasati sebutkan.

"Dendam? Kenapa kamu harus memikirkan dendamnya Sasmita? Yang bodoh dia. Yang tidak tahu diri dia. Yang sok-sokan mendendam juga dia. Kenapa kamu repot-repot memikirkan mengenai hal itu, Laras? Kamu tahu sendiri, Suamimu hanya mencintai kamu. Titik. Tidak ada ruang untuk Sasmita di dalam hatinya dan tidak akan pernah ada. Maka dari itulah Ayah memberikan restu kepada dirinya ketika melamar kamu. Andai kata di hati Rendra ada sedikit saja keraguan tentang perasaannya terhadapmu, maka hari ini kamu bukan Istri dari Rendra dan anak-anakmu bukanlah anak-anaknya," tegas Pram.

"Tapi, Ayah ... apa yang hampir terjadi pada Naya dan apa yang akhirnya menimpa Yvanna adalah akibat dari dendam Sasmita terhadapku dan Suamiku. Aku memang tidak pernah merebut Mas Rendra dari Sasmita, tapi pada akhirnya aku tahu kalau Sasmita telah lebih dulu menaruh rasa pada Mas Rendra dan aku mengetahui itu tepat pada hari pernikahanku. Andai saja ...."

"Tidak ada andai-andai!" potong Pram dengan keras.

Larasati pun kembali terdiam dan tak lagi meneruskan ucapannya.

"Dengar baik-baik ... entah itu kamu Laras, ataupun kamu Rendra! Sampai kapan pun, tidak akan pernah ada pernikahan kedua di dalam kehidupan kalian. Meskipun suatu saat nanti Rendra akan meninggal lebih dulu ataupun Laras akan meninggal lebih dulu. Tidak akan ada yang menggantikan posisi masing-masing dari kalian, dan itu adalah hal yang harus kalian penuhi sampai ajal menjemput kalian. Menjadi bagian Keluarga Harmoko bukanlah sesuatu yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipenuhi dan dipatuhi selama kalian hidup di tengah-tengah keluarga ini. Saat nanti Rendra meninggal lebih dulu, maka Laras tidak akan pernah menikah lagi hingga akhir hayatnya. Begitu pula sebaliknya. Jika nanti Laras meninggal lebih dulu, maka Rendra tidak akan pernah menikah lagi hingga akhir hayatnya."

Pram bangkit dari sofa yang didudukinya saat itu, lalu hendak berjalan menuju kamarnya. Untuk sesaat, Pram kembali berhenti hingga membuat Narendra maupun Larasati kini bisa menatap punggungnya yang mulai membungkuk.

"Setia itu mahal, Nak. Kamu tidak akan pernah bisa membeli kesetiaan seseorang meskipun kamu memiliki banyak harta. Jadi, saat seseorang berdiri dengan kesetiaannya di sampingmu, pertahankanlah dia sampai ajal menjemputmu. Kamu tidak akan bisa menemukan yang sama untuk kedua kalinya, jika kamu melepaskannya," pesan Pram, yang kemudian segera memasuki kamarnya untuk beristirahat.

Larasati pun menangis di tempatnya. Tubuhnya kemudian direngkuh dengan lembut oleh Narendra untuk ditenangkan. Damar memegangi dadanya, lalu menatap ke arah Ayah dan Ibunya.

"Dadaku rasanya seperti baru saja terkena strum, setelah mendengar pesan dari Kakek Pram," bisiknya, agar Narendra dan Larasati tetap tidak tahu mengenai keberadaan mereka.

"Itu tandanya kamu juga harus mengingat baik-baik pesan itu. Kakek Pram jelas benar, bahwa setia itu mahal dan kamu tidak akan pernah bisa membelinya meski punya banyak harta," balas Bagus, ikut berbisik.

"Iya, sebaiknya kamu belajar dari sekarang mengenai setia terhadap seseorang sebelum nanti kamu menemukan jodohmu," saran Ayuni.

"Kalau aku mengajukan satu nama pada Ayah dan Ibu, apakah aku akan langsung diberi restu untuk menikahinya?" tanya Damar.

Bagus dan Ayuni kini saling menatap satu sama lain, lalu kembali menatap ke arah Damar.

"Kamu mau mengajukan nama siapa untuk dinikahi? Apakah Nia?" tebak Ayuni.

Wajah Damar mendadak memerah secara keseluruhan saat Ayuni menebak dengan tepat, padahal dirinya belum mengatakan apa-apa dan juga tak pernah memberikan tanda apa pun.

"I--itu ... kok Ibu ... bisa menebak dengan tepat?" Damar benar-benar sangat gugup sekarang.

"Ya sudah jelaslah kami bisa menebaknya, Damar. Ketika kamu kuliah di luar negeri, setiap kali telepon yang kamu tanya paling pertama pasti Nia. Saat kamu pulang, yang paling pertama kamu cari adalah Nia. Setiap hari, kamu selalu mengikuti Nia ke mana-mana jika sedang punya waktu luang. Setelah semuanya terlihat sejelas itu, masa iya Ayah dan Ibumu ini tidak bisa menebak gelagatmu," ujar Bagus yang kemudian menjauh dari puncak tangga lantai tiga sambil menggandeng tangan Ayuni.

"Lah terus? Selanjutnya bagaimana? Aku diberi restu atau tidak untuk menikahi Nia?" tanya Damar.

Ayuni dan Bagus pun dengan kompak berbalik sambil menahan senyum.

"Kamu sudah mengutarakan perasaan pada Nia?" tanya mereka, kompak.

* * *

TUMBAL JANINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang