7 | Dituntun

719 85 2
                                    

Yvanna menyingkap perlahan tirai tipis yang sejak tadi menghalangi jalan dan pandangannya. Ia begitu berhati-hati ketika membuka mata dan sadar bahwa dirinya tengah berada di tempat asing. Ia sama sekali tak merasakan lelah sejak tadi, padahal dirinya sudah berkeliling di tempat itu demi mencari jalan pulang. Segalanya terasa sangat ringan di tempat itu, dan bahkan Yvanna sendiri sama sekali tidak sadar bahwa kedua kakinya tidak benar-benar menapaki tempat yang ia pijak. Tirai tipis berwarna kelabu yang menghalangi jalan serta pandangannya sangatlah banyak. Entah sudah berapa kali ia menyingkapnya, namun setiap kali menyingkap tirai-tirai itu yang ia dapati hanyalah tirai berikutnya.


Suasana begitu hening di sana. Beberapa kali ia berharap ada satu orang saja yang bisa ia mintai pertolongan. Namun harapannya itu nihil. Benar-benar tak ada satu orang pun di sana dan ia mulai merasa tersesat. Ia butuh dipandu, namun tak ada yang memandunya. Ia pun terduduk selama beberapa saat, dan mulai menenggelamkan wajahnya pada kedua lutut yang tengah ia dekap.

"Ponselku sepi."

Yvanna pun seketika langsung mengangkat wajahnya ketika mendengar suara Ben yang tiba-tiba saja bergema di tempat itu. Ia kembali berdiri dan mulai mencari-cari sumber suara itu berasal.

"Biasanya kamu saat ini sedang balas pesanku ataupun mencoba meneleponku jika aku tidak ada di sekitarmu."

"Kak Ben? Kak? Kakak di mana?" teriak Yvanna.

Ia kembali menyingkap tirai-tirai tipis berwarna kelabu yang ada di hadapannya, berharap bisa menemukan sosok Ben yang suaranya baru saja ia dengar.

"Baru beberapa jam Yvanna, dan aku sudah tahu bagaimana rasanya rindu."

Ungkapan yang sangat jujur itu mendadak membuat Yvanna semakin gelisah. Ia mencoba berlari ke arah yang diyakininya sebagai sumber suara Ben. Ia berlari dengan penuh harap akan bisa menemukan kembali jalan pulang. Ia ingin mendengar ungkapan itu secara langsung, bukan dalam keadaan dirinya sedang tersesat.

"Aku rindu mendengar suaramu yang datar dan tidak tertebak. Aku rindu ekspresimu yang kadang tidak menentu."

"Kak Ben! Kakak di mana? Kak ... tolong jangan bersembunyi," mohon Yvanna, merasa mulai putus asa.

Ia terus berlari, berlari, dan berlari. Ia menerobos semua tirai-tirai kelabu itu tanpa peduli tirainya akan rusak ataupun jatuh dari tempatnya tergantung. Ia hanya terus memikirkan Ben, ungkapan hati pria itu, dan juga suaranya yang terus bergema.

"Oh ya, apakah aku sudah pernah bilang kalau ekspresimu terkadang tidak sesuai dengan dugaanku? Biasanya jika ada hal yang lucu kamu tidak tertawa dan justru berekspresi bingung. Lalu saat aku menyampaikan sesuatu yang membingungkan, kamu justru berekspresi heran dengan apa yang kusampaikan."

"Kak Ben!!! Kakak di mana???" Yvanna mulai menangis.

Kedua kakinya masih saja berusaha mengejar suara itu, dengan harapan bisa menangkapnya dan mendekapnya erat-erat. Yvanna melambungkan angan setinggi-tingginya kepada Ben, meski ia tahu bahwa segalanya tentang Ben hanya akan melukai hatinya jika mereka sudah berhadapan secara langsung. Ia tidak peduli. Ia tetap menaruh harap dan melambungkan angan untuk pria itu. Sesakit apa pun yang Yvanna rasakan setiap kali menatap Ben, ia terus mencoba bertahan dan mencoba untuk memahaminya. Dan hal itulah yang tak ia sadari telah membantunya untuk bertahan dari semua hal yang kini sedang menghimpitnya.

"Bagiku, hal itu sangat unik. Hal itu menjadi candu yang ingin terus kulihat ketika berhadapan denganmu. Dan sekarang, aku benar-benar rindu padamu."

BRUKKK!!!

Yvanna terjatuh dengan keras setelah salah satu tirai kelabu yang di terjangnya sejak tadi melilit pada kaki kanannya. Suara Ben menghilang, keadaan kembali hening dan dingin seperti tadi. Yvanna berusaha bangkit, ia ingin kembali berdiri dan ingin mengejar suara Ben seperti tadi.

"Kak Ben ..." lirihnya, seraya meneteskan airmata. "... jangan pergi, Kak."

Ini adalah pertama kalinya Yvanna merasa sangat putus asa ketika menghadapi sesuatu. Ia tampak tidak punya jalan keluar dan merasa buntu. Langkahnya seakan berada di tempat yang sama dan tidak ada kemajuan sama sekali. Suara Ben yang menjadi sumber harapannya untuk menemukan jalan keluar kini telah menghilang. Membuat hatinya mencelos, seakan tahu bahwa ruang kosong yang ada di sana takkan pernah bisa terisi seperti yang ia impikan. Ben terlalu sulit untuk digapai, meski rasa sayang Yvanna terhadap pria itu sangatlah besar. Segalanya semakin memburuk sekarang, karena Yvanna tidak lagi bisa menatapnya secara langsung seperti biasanya.

"Kenapa?" tanya Yvanna di tengah kesunyian yang dirasakannya. "Kenapa harus sesakit dan sesulit ini? Kamu ada di hadapanku, tapi rasanya seperti kamu selalu jauh dariku meski aku telah mencoba mendekat. Apakah ini yang dinamakan bukan takdir?"

PUK!

Sebuah tepukan pada pundaknya membuat Yvanna terkejut dan menoleh ke arah belakang. Ia terpana selama beberapa saat hingga lupa untuk menyeka airmatanya yang menggenang di wajah.

"Kenapa kamu menatap seperti itu? Kamu kaget?"

"Ne--Nenek?" Yvanna ingin memastikan sosok yang tengah dilihatnya.

Sosok itu tersenyum.

"Menurutmu siapa lagi di dunia ini yang memiliki wajah persis seperti wajahmu, selain Nenek?"

Yvanna pun terdiam selama beberapa saat. Mencoba mencerna apa yang tengah dilihatnya.

"Ayo bangun," titah sosok itu sambil membimbing Yvanna untuk berdiri.

Yvanna masih menatapnya, sosok itu membantu menyeka airmata di wajah cucunya yang sangat ia sayangi.

"Kamu sudah dewasa sekarang. Dan kamu juga bisa patah hati dan menangis karena cinta rupanya," goda sosok tersebut.

Yvanna rasanya benar-benar tak tahu harus mengatakan apa.

"Jadi ... ini adalah alam bawah sadarku, ya?" tanyanya.

"Hm ... kamu memang cerdas," puji sosok itu. "Bagaimana kamu bisa tahu kalau ini adalah alam bawah sadarmu?"

"Karena di dunia nyata, Nenek sudah lama meninggal dunia. Sosok Nenek yang saat ini kulihat, mungkin hanya fatamorgana atau harapanku yang terdalam saja," jawab Yvanna.

"Kedua-duanya salah," balas sosok itu sambil mencubit ujung hidung Yvanna yang mancung.

Yvanna mengernyitkan keningnya selama beberapa saat.

"Aku ini khodam yang mendampingimu selama ini. Aku diutus oleh Nenekmu sebelum dia berpulang. Sekarang, aku akan membantumu untuk mengalahkan Sasmita Rusdiharjo dari alam bawah sadarmu. Hanya itu jalan satu-satunya yang bisa kulakukan untuk menyelamatkanmu sebelum waktumu habis. Ilmu hitam yang dikirim oleh Sasmita sangatlah kuat, tapi tidak terlalu kuat jika kamu yang melawannya. Ayo, kita mulai perlawanannya sekarang juga," tuntun sosok itu.

Yvanna pun menganggukkan kepalanya, lalu mulai mengikuti langkah sosok tersebut. Di dunia nyata, Ben terus mencoba menyeka airmata Yvanna yang mengalir menggunakan tisu pemberian Damar. Kedua pria itu menatap ke arah Yvanna dan berharap akan ada keajaiban yang terjadi pada wanita itu.

"Sudah berhenti," ujar Ben. "Dia tidak menangis lagi, Kak."

"Mungkin dia butuh bantuan. Bagaimana kalau kita membaca Al-Qur'an di sisinya? Mungkin hal itu bisa lebih membantunya daripada terus meratapi," usul Damar.

* * *

TUMBAL JANINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang