4 | Akhirnya Tahu Perasaan Yang Terpendam

732 75 11
                                    

Ben pun bergegas bangkit dari sofa tanpa membantah kepada Pram. Pria itu bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun dan hanya langsung mengikuti jejak Pram keluar dari menara milik Keluarga Harmoko. Semua mata menatap ke arah Pram dan Ben dengan perasaan yang tidak menentu. Pram selalu paling galak jika sudah bertemu Ben, mungkin karena Ben dulu pernah menyakiti Yvanna. Jadi meski Ben kini telah menjadi teman baik Yvanna, tetap saja Pram selalu bersikap galak padanya. Dan sekarang, ada kemungkinan Ben akan terkena marah oleh Pram sebagai bahan pelampiasan rasa sedih Pram atas kondisi Yvanna.


Ketika mereka tiba di halaman depan, Ben membukakan pintu mobilnya agar Pram bisa masuk dengan mudah. Setelah mereka berdua sama-sama berada di dalam mobil, Pram pun memberikan tanda pada Ben untuk beranjak dari sana.

"Jalan," titahnya.

"Baik, Kek," jawab Ben.

Mobil itu melaju meninggalkan area halaman menara milik Keluarga Harmoko. Ben kembali diam seperti biasanya, pikirannya kembali berputar pada apa yang disaksikannya tadi di hadapan Yvanna. Perasaannya terasa seperti di remas-remas hingga menimbulkan sakit yang tidak teraba.

"Kenapa kamu murung begitu? Kamu memikirkan Yvanna?" tanya Pram sambil tetap menatap lurus ke depan.

Ben ingin menjawab, namun lidahnya terasa kelu hingga begitu sulit baginya untuk bicara. Hanya kedua matanya saja yang kini mulai berkaca-kaca.

"Bukankah lima tahun yang lalu kamu bersikeras tidak ingin dijodohkan dengan Yvanna? Kamu menganggapnya aneh dan juga tidak sesuai dengan kriteriamu, sampai-sampai kamu mempengaruhi Almarhum Ayahmu agar ikut tidak menyukai Yvanna. Dia tidak secantik yang kamu harapkan dan bahkan sama sekali tidak memenuhi ekspektasimu. Lalu, kenapa sekarang kamu tampak begitu bersedih ketika Yvanna mengalami hal seperti tadi? Apa kamu sekarang sudah merasa peduli terhadapnya, atau kamu hanya ingin terlihat memiliki rasa peduli?"

CIIITTTT!!!

Ben mendadak menginjak rem sedalam-dalamnya hingga mobil yang ia kemudikan berhenti di pinggir jalan. Nafas Ben saat itu terdengar sangat memburu, naik dan turun, membuat Pram bisa melihatnya dengan jelas dalam diamnya.

"Iya!" teriak Ben. "Semua yang Kakek katakan itu benar! Aku yang dulu bersikeras tidak ingin dijodohkan dengannya! Aku yang menganggap dia tidak cantik dan bahkan tidak sesuai dengan ekspektasiku! Aku juga yang mempengaruhi Almarhum Ayahku agar dia ikut tidak menyukai Yvanna dan membatalkan perjodohan itu! Semuanya benar! Dan aku menyesalinya! Aku menyesal!"

Ben kembali diam sambil mencoba mengatur nafasnya yang masih memburu, meski tidak sememburu tadi. Pria itu mulai menangis, padahal sejak tadi ia berusaha keras untuk tidak menangis.

"Aku menyesalinya dan sangat ingin mengulang segalanya dari awal. Itulah mengapa aku selalu memintanya menerima telepon dariku dan juga memintanya meneleponku disaat dia sempat. Aku juga sering mengirim pesan padanya dan berharap dia membalas. Aku melakukan semua itu bukan hanya karena ingin mengenal dia lebih dekat, namun ingin menebus segalanya yang telah aku perbuat. Aku menyesali segalanya dan aku semakin menyesal karena menyaksikan apa yang terjadi hari ini terhadapnya, padahal aku belum pernah sempat mengucapkan kata maaf kepadanya. Entah dia akan memaafkanku atau tidak, setidaknya aku masih berharap kalau dia punya kesempatan untuk mendengarkan maaf dariku."

Pram pun mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tatapan yang masih saja lurus ke depan seperti tadi.

"Bagus kalau kamu sudah sadar bahwa dirimu salah menilai Yvanna dan menyesalinya," ujar Pram. "Apa sekarang kamu sudah merasa lega, setelah mengungkapkan semua itu? Beban di hatimu sudah terasa berkurang?" tanyanya.

Ben pun mengangguk pelan di tengah isak tangisnya.

"Berhentilah menangis, Yvanna akan mengomeli Kakek kalau dia sampai tahu kalau Kakek memaksamu untuk meluapkan perasaan seperti saat ini. Kakek sengaja mengajakmu pergi dari menara agar kamu bisa lebih bebas mengungkapkan perasaanmu. Sejak tadi kamu sudah terlalu keras berusaha untuk menahan semua gejolak itu di dalam dirimu. Itu bukan hal yang baik jika terus-menerus kamu lakukan. Kamu bukannya akan menjadi pribadi yang baik jika terus menahan-nahan diri. Kamu justru akan menjadi pribadi yang penuh dendam dan pada akhirnya akan terpeleset di tempat yang salah jika tidak diawasi. Luapkan emosimu sesekali, lalu kembali merenung. Dalam hidup ini, dunia tidaklah berjalan sesuai dengan keinginanmu, tapi kamu yang harus mengejar sesuai dengan berjalannya dunia. Sama seperti saat ini, kamu tidak boleh tenggelam dalam rasa sedih. Kamu harus bangkit dan mencoba memberikan Yvanna harapan untuk kembali bangkit. Di alam bawah sadarnya, dia jelas tahu jika ada yang mengharapkannya untuk bangun. Maka dari itu, cobalah. Siapa tahu dengan begitu dia akan terpacu untuk berusaha melawan makhluk itu lebih keras dari sebelumnya," saran Pram kepada Ben.

Ben pun memberanikan diri menoleh ke arah Pram.

"Aku baru saja membentak Kakek. Kenapa Kakek tidak marah?" tanyanya.

"Kapan kamu membentak Kakek? Barusan kamu hanya sedang curhat, persis seperti yang sering kamu lakukan ketika menelepon atau berkirim pesan pada Yvanna. Kakek tidak merasa kamu membentak barusan," jawab Pram.

"Da--dari mana Kakek tahu kalau aku sering curhat pada Yvanna ketika menelepon atau berkirim pesan?" Ben merasa bingung karena Pram tahu segalanya.

"Tadi Kakek memegang tangan Yvanna dan melihat segalanya melalui mata batin yang Kakek miliki. Semuanya terlihat jelas saat Kakek memegangnya, termasuk semua tentang kamu yang selalu dia ingat. Lucu, ya? Dia adalah orang yang pernah kamu sakiti. Tapi meskipun kamu menyakitinya, dia tetap menjadi seseorang yang tidak pernah berhenti menyukaimu, menyayangimu, dan selalu memikirkan keadaanmu. Dia sama saja seperti kamu, selalu diam dalam setiap kesempatan. Namun perasaannya tetap merekah, seperti bunga yang tidak pernah mengenal musim gugur," tutur Pram sambil menatap ke arah langit.

Diri Ben saat itu jelas tidak mampu menahan debaran di dalam dadanya yang tiba-tiba saja muncul usai mendengar apa yang Pram katakan. Wajahnya yang sembab mendadak memerah akibat perasaan yang membuncah tanpa arah. Itu sungguh tidak terduga bagi Ben, karena harus mengetahui perasaan Yvanna terhadapnya melalui penglihatan mata batin Kakek wanita itu. Selama ini Yvanna memang terlihat biasa saja dan terdengar biasa saja ketika saling menelepon bersama Ben. Padahal Ben selama ini telah beranggapan bahwa Yvanna mungkin telah menutup pintu hatinya untuk Ben akibat kesalahannya di masa lalu.

"Ayo, kita jalan lagi. Kembali saja ke menara, karena sekarang sudah saatnya bagimu untuk berada di samping Yvanna," ajak Pram.

"Ta--tapi Kek ...."

"Sudah, jangan banyak tapi-tapian. Ayo jalan," potong Pram, tidak banyak basa-basi.

Ben pun segera menyalakan kembali mesin mobilnya lalu memutar balik laju mobilnya untuk kembali ke menara. Perasaan Ben benar-benar terasa campur aduk saat itu, membuatnya tak tahu harus mengatakan apa untuk langkah selanjutnya.

* * *

TUMBAL JANINWhere stories live. Discover now