🌺Bab 9

853 145 2
                                    

Aku tak tahu berapa lama waktu yang kupakai untuk tak sadarkan diri. Tapi kepalaku begitu berat ketika terbangun, dan penglihatanku benar-benar buram.

"Thea, anakku kau bisa mendengar suara ayah, sayang?"

"Nona Amalthea anda sudah sadarkan diri?"

"Apa ada sakit di suatu tempat, nona? Kedipkan mata anda dua kali jika anda dapat mendengar suara kami semua."

Seruan kelegaan berputar di sekelilingku. Tatapanku terasa kosong untuk sesaat. Nuansa hangat kamar yang biasa kutempati. Ada ayah yang tengah menggenggam tanganku erat di sisi tempat tidur. Serta pengasuh dan James yang menungguku mengatakan sesuatu.

Aku mengedipkan mataku dua kali sesuai intruksi yang kudengar dari James. Hal tersebut dengan segera mengundang reaksi dari ayahku.

"Syukurlah, Thea kau sadar. Ayah hampir dibuat tak bernapas karena kau tak sadarkan diri selama dua minggu."

Dua minggu? Itu rekor waktu terlama yang kupakai untuk tak sadarkan diri di dunia ini.

Aku balas menggenggam tangan ayahku pelan. Mulutku masih terlalu kaku untuk berbicara hingga yang keluar pun hanyalah sengau.

"Jangan memaksakan diri untuk berbicara Thea, tidak apa-apa. Ayah bersyukur karena kau sudah sadar saat ini." Tetesan air mata jatuh dengan deras di lenganku.

Ungkapan rasa syukur tiada henti kupanjatkan dalam lubuk hati. Hari ini aku masih diberikan kesempatan untuk bernapas. Maka perjuangan sesungguhnya untuk merubah alur juga akan dimulai sekarang.

......

Dari James aku tahu bahwa pil mana yang tengah ia kembangkan telah berhasil berkat bantuan dari Arendt. Aku tak tahu bagaimana pertemuan mereka terjadi. Yang jelas setelah pingsan di menara hari itu, aku tak lagi bertemu dengan Arendt. Jadi aku tak tahu kapan bocah itu membantu James dalam upaya pengembangan obatku.

Ada banyak kabar baik saat aku bangun. Pangeran Bradley berhenti mengirimkan hadiah untuk mengusikku. Selain itu, masalah pedang platina palsu sudah diselesaikan dengan baik oleh ayah. Aku senang semuanya berjalan dengan baik.

Hari ini pun aku kembali melaksanakan aktivitasku seperti biasa. Namun aku masih belum diizinkan meninggalkan mansion karena sedang dalam proses pemulihan. Sebagai gantinya, aku menulis jurnal seperti yang dilakukan Bianca Blair. Jurnal itu memuat kondisi fisikku, bagaimana suasana hatiku, keadaan kekuatan suci, dan semua hal yang kuingat di dalam novel dari awal sampai akhir.

Ini bentuk persiapan yang baik. Mengingat umurku tak akan lama dan aku tak berkemungkinan menghentikan kala kegelapan yang mengancam dunia ini, maka aku hanya bisa meninggalkan catatan. Berharap seseorang menemukannya dan melanjutkan perjuanganku.

Mulai hari ini aku sudah menerimanya, tak masalah jika aku tak berumur panjang di dunia ini. Karena setidaknya aku masih bisa menjalani hariku dengan sesuatu yang membahagiakan setiap saat.

Aku meniup udara dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Sudah larut malam. Sampai hari ini aku masih belum bertemu Arendt. Apa ini perasaan rindu?

Ah, entahlah.....
Itu bukan sesuatu yang perlu kukhawatirkan.

Pintu kamarku mendadak diketuk. "Nona, ini Joanna jika anda belum tidur bolehkah saya masuk?"

"Ya, masuklah!" Jawabku seraya menutup buku jurnal di atas meja dan menyimpan pena.

Joanna masuk membawakanku segelas susu dan menaruhnya di sisi tempat tidur. "Apa anda mengalami masalah sulit tidur, nona?"

Kepalaku mengangguk, "Aku tidak mengantuk sedikit pun, mungkin karena belum merasa lelah hari ini."

Joanna tersenyum, ia mengangkat tubuhku dan dengan segera membaringkanku di atas ranjang. Karena sakit-sakitan sejak kecil tubuh Amalthea dapat dikatakan sangat kurus dan ringan di usia ini. "Nona, harus beristirahat yang cukup. Pemulihan anda memang berjalan dengan cepat. Hanya saja tetap penting untuk memiliki waktu istirahat cukup."

Joanna mengelus rambutku dengan lembut lantas mengecup keningku hangat. Sejak baru saja dilahirkan dan ditinggal oleh ibunya, Joanna adalah orang pertama yang bertanggung jawab merawat Amalthea. Bahkan meski sempat diabaikan oleh Count yang frustasi akibat kehilangan istrinya Joanna tetap merawat dan menjaga Amalthea dengan baik. Dari sentuhan tangannya yang lembut dan perhatian yang kuterima darinya, aku dapat menyimpulkan bahwa Joanna adalah seseorang yang sangat menyayangi Amalthea di dunia ini.

"Anda tumbuh dengan baik sejauh ini, nona. Saya senang karena akhir-akhir ini anda terlihat lebih ceria dari biasanya. Senyum anda mengingatkan saya pada mendiang nyonya yang sangat baik kepada seluruh pekerja di mansion ini. Saya harap anda tetap sehat dan berumur panjang. Apa anda tahu, sebelum kepergiannya Nyonya Bianca bahkan telah merancang gaun untuk debutante anda. Beliau pasti punya harapan besar untuk dapat melihat anda tampil di pesta kedewasaan suatu hari nanti." Perkataan Joanna membuatku termangu untuk sesaat.

Pesta kedewasaan seorang anak di dunia ini dilaksanakan ketika sang anak berusia 18 tahun. Dalam novel Amalthea saat itu sudah mati. Jadi apa bisa aku bertahan hidup sampai umur itu?

"Ya, terima kasih atas harapanmu yang begitu besar untuk kebaikanku." Sudut bibirku tertarik. Berkat perkataan Joanna barusan aku memiliki motivasi lain untuk bertahan hidup lama di dunia ini.

Sebelum meninggalkan kamarku, Joanna berpesan padaku untuk menghabiskan susu yang telah ia siapkan. Aku menurut dan meminumnya tanpa berpikir. Setelah menghabiskan susu tersebut, hal yang kulakukan hanyalah merebahkan diri seraya tercenung menatap langit-langit ruangan. Perasaan hampa yang pekat diam-diam menyusup.

Aku masih sulit tidur juga pada akhirnya. Bayangan yang mengular tercetak jelas di balik jendela. Seseorang pasti ada di sana. Dengan ragu, aku menurunkan kakiku dari atas ranjang dan mengintip lewat celah tirai, siapakah seseorang di balik jendela tersebut.

"Arendt?!" Tanganku berderak cepat membuka pengait jendela. Jubah hitam yang diterpa angin itu tersingkap. Memperlihatkan wajah Arendt sepenuhnya di hadapanku.

"No-na--" Bocah itu menatapku dengan nanar. Di tangannya terdapat sekeranjang penuh buah stroberi yang nampak manis dan segar.

"Kenapa baru datang? Apa kau tak merindukanku lagi setelah hari itu?" Sergahku, menuntut penjelasan darinya.

Bocah itu tertunduk dalam. Memperlihatkan rasa bersalah yang tak pernah kujumpai nampak di wajahnya. "Maaf..." lirihnya.

"Kenapa kau meminta maaf?" Tanyaku tak mengerti.

"Padahal aku tahu bahwa kondisi kesehatanmu sedang tidak baik. Tapi aku malah membawamu pergi ke tempat yang jauh saat larut malam. Maafkan aku, aku benar-benar meminta maaf." Ujarnya dengan suara rendah.

"Hei, untuk apa kau meminta maaf? Kondisi kesehatanku memburuk bukan karenamu dan sekarang aku sudah baik-baik saja. Kau juga telah membantu James dalam mengembangkan obat praktis untukku. Jadi aku baik-baik saja. Malah aku yang harusnya berterima kasih karena kau mengajakku keluar hari itu. Berkatmu aku jadi tahu kalau dunia luar itu sangatlah indah dan luas. Selain itu aku punya pengalaman berjalan di langit itu sungguh luar biasa. Tidak apa-apa kau tak perlu meminta maaf." Aku menangkup pipinya untuk membuatnya mendongak menatapku.

Mata biru yang gelap itu seketika berkaca-kaca. "Nona, kau sungguh..." Ia tak sempat meneruskan kata-katanya dan beralih memelukku tanpa permisi begitu saja.

"Hei, jangan menangis." Aku mengusap puncak kepalanya lembut. Anak yang biasanya usil dan tersenyum tanpa beban itu kini tengah menangis sesenggukan di dalam pelukanku.

"Aku meminta maaf nona sungguh. Saat melihat darah keluar dari mulutmu seluruh tubuhku benar-benar gemetar dan jantungku turut serta ingin keluar. Jangan lagi sakit kumohon, itu mengerikan sungguh. Mengerikan bagiku untuk kehilanganmu." Ya, ampun sepertinya ini akan jadi tangisan panjang pertama Arendt di hadapanku.

Aku sudah berkata tidak apa-apa, tapi dia tetap saja menangis dengan deras dan tak mau menghentikannya.

Setelah cukup tenang aku membawa Arendt masuk ke kamarku. Anak itu membaringkan dirinya di sebelahku dan menatapku dengan mata sembab. Aku menghela napas dalam. Tanganku meraih tangan kecilnya dan menggenggamnya dengan lembut. "Tidak apa-apa Arendt...." Aku berbisik lirih ke arahnya, sebelum akhirnya mataku yang mulai tak berdaya memejam dengan sendirinya.

SPRING HILLWhere stories live. Discover now