Prolog

1.5K 199 16
                                    

Ya, menjadi dewasa itu tidak selalu menyenangkan...

Aku dipaksa sadar akan realita dan melupakan mimpi kekanakan yang dulunya sangat ingin kugapai.

Dulu aku selalu berpikir daripada maju selangkah ke depan, terbang ke langit adalah sesuatu yang lebih berguna. Di depan jalanan tidak selalu kosong. Kadang penuh, kadang buntu, dan kadang terlalu berbahaya untuk dilewati.

Saat menjadi dewasa aku tetap dipaksa melangkah maju ke depan, meski jalanan di depan sana buntu dan berbahaya sekalipun. Karena terbang ke langit adalah hal yang mustahil. Khayalan dan impianku sudah banyak diciderai. Itu patah sebelum aku siap menumbuhkan sayap yang kokoh untuk tahu bagaimana rasanya terbang.

Kehidupan biasa dan hari-hari berlalu dengan sumber frustasi yang sama. Aku hanya ingin menghilang. Jauh dari peradaban. Entah itu di padang rumput luas sendirian atau tenggelam dalam samudera tak berdasar. Apapun itu tak masalah.....

Aku hanya ingin menghilang tanpa membawa beban apapun....

Aku menghembuskan napasku berat. Menatap ke arah ibu yang saat ini hanya bisa terbaring di atas ranjangnya.

"Bagaimana adikmu apa mereka sudah makan?" Tanyanya dengan raut wajah khawatir.

Aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum, meski saat ini perutku tengah kuikat agar bunyi keroncongan yang mengganjal tak terdengar ke telinganya.

"Si bungsu bilang kesulitan mengerjakan PR matematika. Apa kau sudah membantunya?" Percakapan ringan kembali mengalir di antara kami. Sebenarnya aku terlalu lelah untuk banyak hal. Bahkan untuk urusan basa-basi semacam ini.

"Aku akan mengerjakannya saat subuh nanti. Ibu tak perlu mengkhawatirkannya..." jawabku tanpa tahu bisa merealisasikannya atau tidak?

"Syukurlah, si kembar juga bilang kalau sepatunya rusak. Apa kau sudah menggantinya? Besok mereka akan berulang tahun pasti mereka akan sedih jika tak mendapat sepatu baru di hari ulang tahunnya."

Aku menelan keluh pahit. Ada satu titik dimana sudut hatiku terasa sakit hanya karena beberapa kata. "Aku akan bekerja keras dan menerima upah lembur hari ini. Jadi besok aku pasti akan membelikan mereka sepatu baru."

"Bagus, senang bisa melihat mereka tersenyum di hari ulang tahunnya. Ngomong-ngomong di luar sepertinya akan turun hujan... Kau harus segera berangkat bekerja sebelum tertahan di rumah. Ada adik-adik yang mesti kau hidupi dan kau sekolahkan sampai lulus nantinya. Jadi kau harus lebih giat bekerja untuk mereka." Ujar ibu memperingatkanku.

Aku mengangguk lemas. "Baik, aku akan segera berangkat. Ibu harus tidur tepat waktu dan memakai selimut dengan benar agar tak kedinginan."

Dengan segera aku beranjak berdiri. Setelah memastikan obat dan air minum tersedia lengkap di kamar ibu, aku turun ke bawah. Menapaki anak tangga usang yang berderit dimakan usia, lantas membuka pintu kamar yang ditempati oleh adik-adikku. Mereka sudah tertidur. Aku bersyukur karena hari ini mereka tak terlalu rewel dan membuatku pusing sepanjang waktu.

Namaku Cempaka. Anak tengah dari enam bersaudara. Lahir dari keluarga sederhana dan tingkat ekonomi menengah. Meski tahu dengan benar keadaan ekonomi keluarga yang demikian. Orang tuaku tetap memaksa memiliki banyak anak.

Setelah dua kakak perempuan tertuaku lulus kuliah. Ayah meninggal karena sakit paru-paru. Waktu itu aku masih duduk di sekolah menengah atas. Adik kembarku masih belum sekolah dan ibu baru saja melahirkan si bungsu. Keluarga kami punya tanggungan ekonomi yang berat.

Kedua kakak tertuaku yang baru lulus kuliah, kupikir akan membantu meringankan ekonomi keluarga kami. Namun nyatanya mereka pergi menikah dengan suami kaya setelah beberapa bulan bekerja. Dan lagi mereka tak pernah kembali setelahnya. Seolah melupakan keluarga ini.

SPRING HILLWhere stories live. Discover now