🌺Bab 7

1K 161 0
                                    

Aku menggerakkan tanganku dengan ragu, sudah lebih dari lima belas menit aku berdiri di depan ruang kerja Wiliam Hill. Namun sampai sekarang, sepertinya aku masih tetap gamang untuk mengetuk pintu dan berbincang dengan pria itu di dalam ruangannya.

Oh, mulai saat ini aku tak bisa menyebutnya Wiliam Hill begitu saja. Karena ia adalah ayahku di dunia ini. Untuk itu aku harus mulai menyebutnya ayah dalam depskripsiku. Sejak pertama kali bertemu, ia sudah bersikap sangat baik, dan menjadi figur ayah yang benar-benar kuimpikan. Jadi akan sangat tidak tahu diri, jika aku tak bisa memanggilnya ayah dengan tulus.

Degh... aku beringsut mundur sejenak. Sedikit merasa terkejut karena daun pintu di hadapanku mendadak terbuka. "Thea, ada yang ingin kau sampaikan pada ayahmu, sayang?" Pria bersurai coklat dengan mata ruby itu menatapku teduh dari ambang pintu. Dia sangat tinggi, hingga membuatku perlu banyak mendongak untuk menatapnya.

Aku belum sempat mengatakan apapun. Tapi Wiliam Hill, ah tidak maksudku ayah, telah mengulurkan tangannya dan menggendongku dalam rengkuhannya tanpa basa-basi. "Kau tidak boleh terlalu lelah, anakku. Jadi sebaiknya ajak Leonard atau Joanna saat pergi berkeliling seperti ini." Ujarnya dengan suara rendah.

Perasaanku kembali menghangat dengan perhatian tak lazim itu. Aku perlu ingat bahwa aku tak boleh terlalu senang menerima semua ini. Karena hal tersebut harusnya diterima oleh Amalthea yang asli, bukan aku yang hanya sekedar menggantikannya. Kalau begini bukankah aku tengah merebut ayah seseorang di dunia ini?

Sebisa mungkin aku perlu mengabaikan perasaan bersalah yang ada. Karena sejak awal bukan aku yang berharap ditempatkan di dalam raga ini.

"Aku hanya berkeliling di dalam mansion ayah, jadi akan lebih baik tak merepotkan orang lain untuk itu." Tandasku dengan menggigit bibir getir.

"Benar kata Dokter James, anakku sepertinya tumbuh dewasa lebih cepat daripada yang terakhir kali kuingat. Apa yang membawamu ke ruangan ayah? Soal permata kristal laut biru itu ayah belum menemukannya karena terburu-buru kembali. Mungkin lain waktu, kau masih bisa menunggu, bukan?" Pria itu berkata dengan lembut lantas menurunkanku di atas sofa ruang kerjanya secara perlahan.

Dengan segera aku menggelengkan kepalaku. "Untuk sekarang aku tidak lagi tertarik dengan urusan permata itu. Jadi ayah tak perlu membawanya jika memang tak bisa menemukannya."

"Oh, astaga ada apa ini? Apa ada hal lain yang lebih kau inginkan daripada permata itu?" Aku menemukan ekspresi pias dan keterkejutan di wajah paruh bayanya.

"Tidak ada." Sekali lagi aku dibuat menggelengkan kepala. "Aku hanya berharap agar ayah sehat dan berumur panjang."

Aku mengatakan hal tersebut bukan dengan harapan kosong. Di dalam novel setelah kematian Amalthea, Wiliam Hill dikatakan sekarat dari dalam dan terbunuh secara mental. Ia kembali menjalani hari yang dipenuhi kegelapan seperti saat kehilangan istrinya. Ia kemudian berakhir meninggal dengan membunuh dirinya sendiri. Rasa sayang Wiliam Hill pada anaknya begitu besar. Hingga kepergian Amalthea pun turut serta merenggut dunianya.

Setelah kepergian Wiliam Hill, Ronald nantinya akan naik sebagai kepala keluarga dan memiliki pengaruh besar di Kekaisaran Everet. Ia merombak bisnis dagang keluarga Hill menjadi bisnis gelap dan menjadi ketua persatuan penjahat dalam bayangan yang paling ditakuti di seluruh benua.

Saat itu alur cerita sudah berjalan sangat jauh. Benua dikatakan gelap gulita dan kebangkitan dunia bawah yang menguasai daratan akan menimbulkan banyak kekacauan dimana-mana. Masa depan mengerikan di dalam novel yang membuatku merinding hanya dengan membayangkannya. Aku harus hidup lama untuk mencegah kekacauan besar itu. Jika aku mati lebih awal daripada perkiraan, berarti aku memang tak ditakdirkan untuk menghentikan kiamat tersebut.

SPRING HILLWhere stories live. Discover now