🌺Bab 15

794 134 5
                                    

Aku mengantuk berat di pagi hari. Bahkan aku tak tidur di kasurku dan terlelap di depan meja belajar tanpa sadar. Ini masih pagi buta, jadi Joanna dan pelayan lain belum datang untuk membangunkanku. Setelah melakukan penyelidikan kecil sepanjang malam, aku menemukan sedikit petunjuk yang berhubungan dengan kepindahan kuil suci ke wilayah tenggara kekaisaran.

Mengamati peta kekaisaran selama dua jam sambil berteriak frustasi dalam hati ternyata membuahkan hasil yang cukup bagus. Di wilayah tenggara kekaisaran terdapat Danau Sarven, dan di tengah danau tersebut Pohon Sogan disegel pertumbuhannya.

Tanda-tanda kehancuran dunia yang terjadi di awal musim panas lalu bertepatan dengan kepindahan kuil suci ke wilayah tenggara dan penghancuran kuil yang lama. Pengangkatan uskup agung baru dan beberapa pendeta baru juga terjadi secara tiba-tiba. Jika kuil suci hanya sekedar pindah ke tempat baru, untuk apa kuil lama harus dihancurkan juga? Pasti ada jejak yang ingin dihilangkan oleh pihak internal kuil yang saat ini berkuasa.

Keluarga kekaisaran dan keluarga bangsawan manapun tak memiliki kekuatan untuk mengusik urusan pihak kuil suci. Karena terdapat perjanjian tertulis yang terjadi sejak kaisar pertama menjabat. Jadi akan sulit untuk mencari tahu dan mengulik kuil suci lebih dalam lagi.

Aku mendesah panjang dan menatap langit-langit ruangan yang lengang. Dua hari lagi aku dan ayah akan berangkat ke kuil suci untuk menerima pemberkataan. Jadi mungkin aku bisa mendapat petunjuk jika masuk kesana. Untuk sekarang aku perlu istirahat dulu. Seluruh tubuhku lelah karena kurang tidur beberapa hari belakangan. Masalah nanti mari tangguhkan nanti. Bahkan pahlawan perang dalam legenda perlu tidur yang cukup agar bisa menyelamatkan dunia.

.......

"Ron, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?" Waktu di sore hari kuhabiskan dengan minum teh bersama Ronald. Belakangan ini kami tak memiliki banyak interaksi karena aku sakit, dan kebanyakan mengurung diri di kamar untuk melakukan hal lain.

Ronald ternyata sudah banyak berubah semenjak kedatangannya di mansion ini. Anak itu mengalami perbaikan gizi yang sangat signifikan dan tak lagi terlihat ringkih. Wajahnya bersih dan penampilannya pun rapi. Aku tak menyangka kalau dia adalah anak yang sama dengan yang kutemui tempo hari.

"Aku baik, setiap hari aku selalu bertanya-tanya kapan lagi bisa mendapat waktu minum teh bersama kakak. Dan hari ini akhirnya terjadi juga." Jawabnya dengan senyum merekah.

"Ngomong-ngomong apa yang terjadi dengan lenganmu?" Celetukku menyadari lengannya tengah dibebat perban sampai siku.

"Ah, aku mendapat cedera kecil karena latihan pedang bersama ksatria."

"Kau melakukannya? Sejak kapan?" Mendengar Ronald mulai tertarik dengan pedang membuatku antusias.

"Sudah cukup lama, semenjak mendengar kakak sakit aku berupaya untuk meningkatkan kekuatanku lebih banyak agar bisa selalu berada di sisimu dan melindungimu."

"Ya ampun kau melakukan ini untukku. Ron, aku sangat terharu mendengarnya. Namun jangan berlebihan perhatikan juga stamina dan keselamatanmu. Ini pasti menyakitkan, bukan?" Aku mengelus lengannya yang dibebat dengan pelan.

Ronald meringis. "Tidak apa-apa kakak, aku sendiri senang melakukannya."

"Hai, nona aku datang menemuimu!" Suara rendah itu tiba-tiba menyapaku dari belakang.

Aku berjingkat sejenak, sebelum menoleh pada akhirnya. "Ah, Arendt kau datang sore ini?"

"Apa aku tak boleh mendatangimu setiap saat ketika rindu, nona?" Dia masih saja pandai membual seperti biasa.

Aku mengerutkan kening sejenak. Karena pandangan Arendt saat ini terarah lurus ke arah Ronald yang duduk di seberang meja. "Dia siapa, nona?" Arendt bertanya dengan raut ketidaksukaan yang tertulis jelas di wajahnya.

"Oh, aku belum menceritakannya padamu. Perkenalkan dia Ronald Hill, adikku. Nah, Ronald dia Arendt Peterson, temanku." Ujarku menjembatani perkenalan diri keduanya.

Arendt hanya diam, menatap Ronald dengan tatapan tajam. "Dia adikmu? Kenapa tidak terlihat mirip?" Cetusnya heran.

"Ah, itu karena kami berbeda ibu." Jelasku cepat, entah kenapa khawatir terjadi kesalahpahaman diantara mereka.

Mata Arendt memincing tak percaya. "Hei, apa kau benar anak kedua keluarga Hill?"

"Itu benar, aku Ronald Hill, adik dari Amalthea Hill." Ronald menjawab dengan lugas dan santai.

"Oh, hanya adiknya, kan? Jadi tidak ada yang istimewa dari hubungan kalian selain hubungan saudara. Kurasa aku yang masih tetap lebih unggul saat ini." Arendt menggaruk dagunya, entah kenapa itu membuatnya jadi terkesan begitu provokatif saat ini.

"Apa maksudmu?" Ronald nampak menggeram mendengar omong kosong Arendt barusan.

"Ya, kau tetap tak bisa lebih dekat dengan nona, karena hubungan kalian dibatasi oleh ikatan darah. Benar begitu, bukan nonaku?" Arendt tiba-tiba memelukku dari belakang. Dan itu mengundang reaksi Ronald menjadi makin meledak-ledak seketika.

"Hei, apa yang kau lakukan pada kakakku?! Beraninya kau menyentuhnya tanpa izin!"

"Aha, kekanakan sekali. Sebelum dia menjadi kakakmu, kami telah menjalin hubungan yang sangat istimewa, tahu!" Ledek Arendt makin menjadi-jadi.

"Hubungan istimewa apa maksudmu? Aku adiknya, tentu saja aku yang lebih dekat dengan saudaraku." Ronald bersikukuh merasa paling dekat denganku.

"Ya, itu hubungan yang tak bisa diputuskan seumur hidup dengan mudah." Aku menepuk jidat pelan. Arendt pasti membahas soal kontrak yang pernah kami buat kala itu. Penyebutannya ambigu. Jadi Ronald yang belum mengerti terlihat bertanya-tanya dan makin tersulut emosinya.

"Kakak bilang dia menyayangiku, dia sering menepuk kepalaku dan selalu memujiku." Ronald berkata dengan pongah. Aku tak pernah melihatnya terlihat sepercaya diri ini. Jadi itu cukup lucu.

"Oho, apa hanya itu yang nona lakukan padamu? Aku juga sering menerimanya lebih banyak darimu." Arendt tak mau kalah. Malah terkesan menambah-nambahkan.

"Kakak sangat baik kepadaku bahkan ia pernah menemaniku tidur bersama." Ketus adikku yang masih tak mau mengalah.

"Kami juga pernah melakukannya." Ayolah mereka berdua hanyalah para bocah. Tapi kenapa hal ini jadi tak ada habisnya?

"Arggh... kau siapa sih? Menyingkirlah dari kakakku jika tanganmu masih ingin utuh!" Ron, kau salah cari gara-gara, nak. Anak itu berusaha mendorong Arendt dari sisiku. Bukannya tak mau ikut campur, hanya saja aku tahu bagaimana cara terbaik untuk mendamaikan mereka.

Arendt terlihat mau melancarkan ultimatum lagi. Namun aku menggenggam tangannya dengan lembut untuk membuatnya tenang dan tak memancing perkara lebih. "Hei, bocah ingusan untuk kali ini aku akan mengalah karena kau terlihat lemah dan tak memiliki kekuatan untuk membela diri." Arendt mendekat ke arah Ronald membisikinya dengan sesuatu yang membuat wajah Ronald menjadi amat pias dan terdistorsi seketika.

"Ron, kau baik-baik saja?" Tanyaku mencoba memastikan keadaannya.

Ronald mengangguk patah-patah. "Tenang saja kakak, aku pasti akan menjadi kuat dan mampu melindungimu di masa depan."

"Sepertinya itu akan butuh waktu lebih dari 100 tahun mulai dari sekarang." Aku melihat Arendt menarik seringai.

Ronald hanya bisa menahan kesal dengan wajah merah padam. Namun tak lagi berminat menjawab perkataan Arendt dan kembali duduk tenang di tempatnya.

"Baiklah, karena sudah di sini haruskah kita semua minum teh bersama juga?" Arent mengambil salah satu tempat duduk tanpa permisi di sisiku.

Aku menghela napas dan tersenyum kecil. Masih mencoba memakluminya. "Baiklah, teh apa yang kau suka, Arendt?" 

"Apapun yang kau berikan padaku, aku akan menyukainya, nona." Arendt mengembangkan senyum yang terlampau manis. Aku kehilangan kata-kata. Pelajaran yang kudapat hari ini hanya satu. Yakni jangan pernah biarkan Arendt dan Ronald berada dalam satu tempat dan waktu yang sama di masa depan. Karena hasilnya tidak akan baik. Di dalam novel pun mereka dijelaskan saling bermusuhan satu sama lain. Jadi aku cukup tak menyangka kalau permusuhan mereka akan dimulai sedini ini.

SPRING HILLDove le storie prendono vita. Scoprilo ora