❝ Harusnya lo semua ikut saran gue tadi, kita cabut sekelas.❞
⊹ ⊹ ⊹ ⊹ ⊹ ⊹ ⊹ ⊹ ⊹
26 Siswa yang berjuang untuk tetap hidup di lingkungan yang mereka tidak ketahui mengapa mereka bisa ada disana. Mereka disis...
"Udah tinggalin aja, takdirnya mereka emang mati sekarang kayaknya." jawab Gavin acuh tak acuh.
"Egois banget sih lo, disana ada temen-temen kita! coba lo kalo ada diposisi mereka yang disana, gimana perasaan lo?" bentak Altharel.
Gavin mendengus lucu, "Tcih, terus lo mau gimana? lo gak liat api semakin besar? lo mau kita mati disini karena nungguin mereka yang jelas-jelas gak bisa kesini?"
"Ya setidaknya lo bantu mikir caranya, jangan egois bangsat." ucap Altharel penuh penekanan.
"Al .. api nya udah kearah Lab bahasa, kita harus buru-buru pergi dari sini." Ryula bersuara, perpustakaan sudah benar-benar hampir dikuasai oleh api.
"Gak, kita gak mungkin ninggalin mereka. Disana ada sembilan nyawa lebih! gue yakin ada caranya." kukuh Altharel.
"Tapi gimana?"
"Sebentar, gue masih mi–"
"AWAS AL!" Ryula menarik tangan Altharel, kayu plafon yang sudah terbakar oleh api jatuh tepat dibelakang Al.
"Al, kita udah gak bisa nunggu lagi! lo liat barusan kan? kalo kita gak cepet-cepet keluar dari sini, lab bahasa keburu kebakar!"
。。。
Disisi lain, Erik panik, tak ada jalan keluar disini. Sudah berulang kali Revano, Ryula, Altharel, Haikal dan Deano mencoba memadamkan rak yang menghalangi itu, tapi tak bisa.
"Sebelum menjalar lebih luas lagi, kita harus naik ke atas." kata Lianz.
"Maksud lo, lewat plafon itu, Li?" tanya Prevan.
Lianz mengangguk, "Iya, plafon yang tadi Erik lewatin."
Baik, sekarang mereka tak punya pilihan selain mengikuti Lianz. Ide barusan cukup membantu menyelamatkan nyawa-nyawa mereka.
"Tinggi banget, cara naik nya gimana?" tanya Shaza.
"Itu ada lemari, nanti kita naik lewat itu." kata Raka.
Mereka semua mengangguk.
"Bantu dorong lemari dulu."
Hawa panas semakin menyerbu keadaan, "Yang naik keatas duluan Raka, nanti lo stay disana buat bantu yang perempuan nya ya." ucap Arka, Raka mengangguk setuju.
Dengan gesit, ia naik ke plafon lalu disusul Shaza, Mora, Syakara.
"Gue gak mau lewat sana." Teo tiba-tiba bersuara, nampaknya kini ia punya pilihan lain. Lianz yang sudah menaiki lemari langsung menoleh lagi.
"Maksud lo apa?" tanya Prevan.
"Gue bilang, gue gak mau lewat sana. Gue lebih baik keluar dari perpus lewat jendela itu." kata Teo, mengulang perkataan sebelumnya.
"Kenapa? di luar sana gak menjamin lo aman. Lebih baik kita pergi sama-sama." ucap Erik.
"Lo tau rute lewat atas sana? enggak kan? yang ada cuman muter-muter doang. Gue gak mau buang-buang waktu, lebih baik gue turun ke lantai satu lewat lorong luar aja."
"Jangan Teo, lo gak boleh misahin diri," cegah Lianz.
"Gue sama Wonia ikut Teo!" sahut Mia,
Lantas Lianz, Prevan, Erik dan Akra saling berpandangan kebingungan, apa yang mereka bertiga pikirkan dalam situasi mendesak seperti ini?
"Iya, diatas sana pasti sempit dan sesak, gue punya asma, itu artinya gue gak bisa ikut." jawab Wonia.
"Gak, gue gak kasih izin. Kalian harus ikut kita." kukuh Lianz, ucapannya barusan terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah.
"Lo siapa ngatur-ngatur kita? lagian mau berpencar atau enggaknya, kita juga bakal mati kan?" tanya Mia sambil mendengus sebal.
Mati ya? jadi mereka semua bakal mati? haha, bahkan Lianz sampai meringis mendengar ucapan Mia barusan.
"Bukannya gitu .. tapi diluar sana bahaya .." ucap Lianz pelan.
"Gue janji, kita bakal nemuin jalan keluar nya sama-sama lewat plafon diatas secepatnya, jadi kalian iku–"
"Li .." panggil Arka memotong perkataan Lianz,
"Kita gak punya waktu, yang lain udah nunggu kita diatas, lama-kelamaan plafon perpustakaan bakal rapuh." ucap Arka memperingati.
"Biar itu jadi pilihan mereka." timpal Prevan.
"Tapi gak bisa gitu–"
Arka langsung menggenggam tangan Lianz, berusaha meyakinkannya.
"Oke, tapi kalian bertiga harus janji bisa jaga diri ya? kalian harus ketemu kita lagi." kata Lianz, Teo dan Mia tidak memperdulikan perkataan tersebut.
Lianz, Arka, Erik dan Prevan mulai naik keatas plafon, lalu mereka mulai merangkak diatas sana secara perlahan. Meninggalkan Teo, Mia dan Wonia yang memilih keluar lewat jendela perpustakaan.
PRAAAANG
Teo berhasil memecahkan jendela keluar, melihat situasi diluar lorong sepi yang terlihat aman.
"Aman, gue duluan yang keluar, setelah itu lo berdua."
Mereka bertiga keluar satu persatu.
Namun sayang seribu sayang, hal yang mengerikan sudah menunggu mereka dibalik tembok sana.
JLEB!
"Selamat tinggal, Teo."
Mia dan Wonia sama-sama memekik ketika melihat Teo ditusuk dibagian dada nya tepat dihadapan mereka berdua oleh sosok bertopeng dengan mengenakan jubah hitam.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Selanjutnya siapa? lo? atau .. lo duluan?" ucap sosok itu mengacungkan pisau pada Wonia lalu Mia.