Video Call

10.4K 438 15
                                    


"Kamu sudah bilang ke orang tua kalau mau menikah Ca?" Arland memastikan.

Ica menggeleng. Bingung bagaimana cara bilang ke Bapak dan adiknya. Apakah ia harus bercerita keadaan yang sebenarnya? Kalau iya ayahnya pasti sangat kecewa. Tapi jika tidak ia bingung mencari alasan mengapa terburu-buru menikah.

Kedua tangan Ica mulai memijat kepalanya yang semakin pusing.

Kampung Ica cukup jauh. Bisa empat jam kalau dari kota mereka saat ini. Arland ingin datang langsung meminta izin, namun karena tidak terencana dengan baik ia tidak bisa melakukannya. Pekerjaanny tidak dapat ditinggal lama untuk saat ini. Karena ada banyak even dan urusan yang harus ia tangani.

"Video call ayahmu, biar saya yang bicara" ucap Arland mencoba menenangkan.
Perempuan disampingnya langsung melakukan perintah tersebut.

"Tuuuut,,,, tuuuuut" suara dalam telepon.
"Halo Kak Ica" jawab Mario dari sebrang sana. Mario adalah adik Ica, yang berusia 13 tahun. Kini anak itu sudah SMP kelas 2.
"Yo, minta tolong berikan teleponnya ke Bapak ya" ucap Ica tanpa basa-basi. Ia gugup sekali sekarang.

"Baik Kak," Rio berlari ke tempat ayahnya karena melihat wajah Ica yang tegang. Mungkin ada sesuatu yang penting pikirnya.

"Pak, ini Kak Ica mau bicara" Suara di telepon yang kini wajah Rio sudah berganti dengan wajah Bapak.

"Ada apa Ca? Sepertinya serius sekali" Bapak melihat wajah anaknya yang tegang.

"Pak, maaf kalau ini mendadak. Tapi Ica mau menikah Pak. Ini calon Ica mau bicara sama Bapak" ucap Ica gemetaran.

Arland memegang tangan Ica agar lebih tenang.

Telepon sudah berada di tangan Arland. Ica menutup wajah dengan bantal di mobil itu. Sungguh mendebarkan.

"Perkenalkan saya Arland Pak, maaf jika ini terlihat kurang sopan. Tapi saya sungguh-sungguh, saya ingin meminang putri Bapak untuk menjadi istri saya" Ica merinding mendengar Arland meminta izin dari Bapaknya. Meski hanya lewat telepon tapi suasana khidmat sangat terasa.

Deny pun yang sedang menyetir ikut merasakan atmosfir itu.

"Saya tidak mau banyak berjanji Pak. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk bertanggung jawab terhadap putri Bapak" ucapan Arland terdengar sangat serius.

Terjadi percakapan cukup panjang. Intinya Bapak ingin lebih mengenal calon menantunya. Tidak mungkin kan anaknya mau dinikahi tapi Bapak tidak penasaran dengan kehidupan lelaki tersebut.

Kini dalam panggilan video, Bapak dapat melihat Arland dan Ica pada satu layar.

"Ica sudah yakin mau menikah?"
"Iya Pak, sudah" jawab Ica.
"Sudah siap?"
"Siap Pak"
"Sudah mantap"
"Iya Pak"

"Baiklah Bapak restui kalian berdua menikah"
Mereka semua merasa terharu hingga mata berkaca-kaca, tak terkecuali Rio dan Deny yang juga ikut mendengar percakapan mereka. Ica sampai menangis saking terharunya.

Panggilan sudah diakhiri.
"Udah dong nangisnya Ca" tegur Arland karena tangis Ica tak kunjung berhenti meski sudah lama telepon ditutup.
"Iya Pak, perut saya jadi mulas" Ica menyeka air mata.
"Kita ke rumah sakit Den" seru Arland khawatir.
"Baik Pak," jawab Deny sigap

"Eh engga, bukan gitu. Saya kebelet mau ke toilet" Ica buru-buru mencegah dengan panik.

Arland menepuk jidat dan Deny hanya tersenyum sejenak.

Mereka berhenti di sebuah rest area. Seperti niat awal Ica langsung menuju tempat yang diinginkan.

Sambil menunggu, Arland dan Deny menuju tempat ibadah. Ica masih belum keluar dari tempat wanita, Arland memutuskan membeli makanan untuk mereka makan malam.

Mobil kembali berjalan ketika penumpangnya sudah di dalam semua.
"Makan dulu Ca" ajak Arland pada Ica. Deny sudah makan duluan tadi sebelum melanjutkan perjalanan.

Kini mereka sudah di butik kenalan Arland. Tempat ini biasa dikunjungi bos besar itu untuk membuat tuxedo.

Meski sangat terkenal dengan tuxedonya namun belakangan ini mulai merambah ke gaun pengantin.
Makanya Arland memilih kesini, selain sudah kenal pemiliknya. Disini juga terkenal mampu menyelesaikan pesanan meski sangat mendadak.

Jika mendadak hasilnya memang tidak 'wah' namun cukup baik dan tidak mengecewakan. Itu saja sudah cukup menurut Arland.

Sampai disana mereka langsung diukur, terutama Ica karena jika ukuran tubuh Arland mereka sudah punya. Hanya diukur kembali untuk memastikan.

Mereka melihat-lihat katalog model yang sekiranya akan dijadikan busana menikah.

"Pak Dirut kok nikahnya dadakan sih, padahal kami pengennya totalitas Lo buatnya" canda pemilik butik di samping Arland sambil mengamati pegawainya mengukur badan Ica.

"Iya udah kebelet banget" jawab Arland menanggapi candaan itu. Semua pegawai menjadi tertawa mendengar jawaban Arland.
Jarang juga laki-laki itu menanggapi candaan ketika berada disini.

Mereka juga tak menyangka sekelas Arland mempercayakan baju pernikahnnya pada butik ini. Memang Arland suka memesan tuxedo. Tapi itu kan untuk kerja sehari-hari. Lain halnya jika baju untuk menikah yang mungkin hanya sekali seumur hidup.

Mereka sering berbicara, mengapa Arland yang mapan dan sudah berusia 37 tahun belum juga menikah. Sekarang pertanyaan mereka terjawab sudah.

"Jadi mau model yang mana? Eh dah selesai? Duduk sini cantik" pemilik butik itu beranjak dan mengarahkan Ica ke tempat yang tadinya dia duduki, di sebelah Arland.

"Kamu suka model yang mana Ca?" Katalog telah berpindah dari tangan Arland pada Ica.

"Buat tuxedo nya warna hitam, untuk hiasannya sesuaikan dengan gaun istriku" Arland memberi arahan pada pegawai yang sedang mencatat pesanan.

"Yang ini boleh?" Ica melihat Arland.
"Sesuai keinginan kamu Ca" jawab Arland.

Pemilik butik tersenyum. Memang bagus pilihan gaun yang diinginkan Ica.

Empat hari lagi mereka akan melakukan fitting baju. Cukup mendadak namun begitulah request dari Arland.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen Arland. Terlalu larut, mungkin kos Ica sudah dikunci.

Sebenarnya mereka masih harus belanja banyak perlengkapan lainnya. Namun Arland takut Ica akan kelelahan dan berpengaruh pada kandungannya yang masih muda. Jadi ia hanya mengajak untuk urusan yang mengharuskan hadirnya Ica saja.

"Untuk dekor, catering dan lalin-lain biar saya yang atur ya. Kamu boleh bilang kalau ada yang kamu inginkan" ucap Arland.
"Baik Pak, saya ikut Bapak saja" jawab Ica, ia juga tidak tahu bagaimana harus mengurus pernikahan.

"Maaf ya Ca, kalau saya terkesan mendominasi. Tapi saya mau kita resmi secepatnya. Untuk pernikahan ini biar sederhana dulu, nanti kita adakan resepsi yang lebih besar. Semoga bisa resepsi dikampungmu juga nanti" Arland merasa bersalah.

Pernikahan adalah momen sakral dalam hidup seseorang. Biasanya para wanita  memiliki wedding dream sendiri. Mungkin saja wedding dream Ica sudah terenggut karena keegoisannya, begitu pikir Arland.

Meski dari pihak Ica sendiri tidak ada masalah. Jangankan punya waktu untuk mekirkan wedding dream. Waktunya bahkan sudah habis untuk menjadi tulang punggung.

Mohon maaf ya jika cerita minta restunya terlalu aneh. Mau buat cerita pulang kampung nanti kesan menikah dadakannya jadi berkurang. Hehe

Terimakasih sudah membaca. Tolong komen kritik dan sarannya Ya.

Mengandung Bayi BosWhere stories live. Discover now