Rencana menikah

14.1K 505 8
                                    


Arland mengelus pipi lembut perempuan itu, menyeka bekas air mata.
"Makanya saya ajak menikah supaya kamu ngga dianggap hamil diluar nikah" Arland coba menenangkan.

"Bapak yakin? Saya kan cuma staff bawahan Bapak" tanya Ica ragu.
"Saya ngga memandang orang dari pekerjaannya". Jawab Arland datar.
"Tapi kan saya orang miskin Pak" sambung Ica.
"Saya ga pernah membedakan status kaya kaya dan miskin" jawab Arland lagi.

"Tapi sayakan..." Ica mau bertanya lagi tapi telunjuk Arland menutup mulutnya.
"Ssstt.... Saya ngga mau banyak tapi, tapi. Jadi mau nikah sama saya ngga?"  Ucap Arland malas.
"Iya mau Pak" Ucap Ica singkat. Memangnya ia punya pilihan sekarang? Ica kembali menyeruput sisa air dalam gelas tadi.

"Nah gitu dong. Oke Minggu depan kita nikah" lanjut Arland.
"Uhuk,, uhuk,, uhuk,," Ica kembali tersedak.
Arland mengelus dadanya heran "kenapa kamu keselek terus sih?" Ia mulai gemas sendiri.

"Masa tiba-tiba Minggu depan menikah Pak?" Ica merasa harusnya dirinya yang mengelus dada. Kaget mendengar acara pernikahan secepat itu.

"Ya secepatnya lah Ca, kamu mau perutmu tambah besar nanti di hari pernikahan?" Segera dijawab Arland. Sudah tau sedang hamil malah mau waktu pernikahannya semakin lama.

"Tapi memang persiapannya cukup Pak?"
"Ya harus cukup. Kita nikah sederhana aja, yang penting sah dan resmi"
"Baik Pak" Ica menurut saja.

Begitulah kiranya kesimpulan pertemuan mereka. Arland mau mengantar Ica namun perempuan itu bersikeras ingin pulang sendiri. Jujur ia masih takut kalau sampai diusir lagi.

Keesokan harinya di kantor
Willy masuk dan menghadap pada bosnya. "Saya sudah menemukan orang yang Bapak Cari kemarin."
"Iya terimakasih atas kerja keras kamu. Tapi saya sudah menemukannya kemarin sore." Ucap Arland tanpa dosa.

Willy hanya melongo mendengar perkataan bosnya. Jadi sia-sia kerja kerasnya semalam mencari informasi.

"Sekarang tolong panggilkan Bu Diyah dari divisi finance" perintah Arland.
"Baik Pak" meski agak sebal namun Willy tetap menjalankan perintah itu.

Clek,, suara pintu terbuka.
"Permisi Pak, Bapak mencari saya?" Jantung Bu Diyah berdegup kencang. Baru pertama kali ia menghadap direktur utama di kantor ini.

Ia biasa laporan ke manager divisi. Paling tidak ia hanya bertemu Willy apabila ada perlu dengan Arland.

"Selamat siang Bu Diyah, silahkan duduk" ucap Arland mempersilahkan.
Bu Diyah menuruti dengan duduk di bangku depan Arland.

"Bu Diyah kepala divisi finance betul?"
"Betul Bapak"
"Saya mau bertanya mengenai kinerja anggota divisi anda yang bernama Marisha"
Deg. Bu Dian kaget. Apakah Pak Arland tahu bahwa kinerja Ica menurun, bahkan sempat dua Minggu menghilang begitu saja. Ia merasa kasihan apabila anak itu dipecat. Meski masih muda namun dia tulang punggung keluarga. Ayahnya pun butuh banyak uang untuk pengobatan.

Ya, Bu Diyah cukup mengenal kondisi anak buahnya. Dia tipe atasan yang peduli namun tetap menjaga batas.

"Bagaimana kinerja bawahan Anda yang bernama Marisha selama ini?" Tanya Arland sambil memeriksa berkas.
"Selama ini Marisha memiliki kinerja yang baik Pak, mampu bekerjasama dengan tim. Meski skill nya masih dasar namun dia cepat belajar. Beberapa waktu kemarin memang kinerjanya sempat menurun, tidak masuk dalam waktu lama. Namun saat ini sudah kinerjanya sudah kembali seperti dulu Pak" Bu Diyah berusaha keras membela Ica namun ia tetap berusaha jujur.

Arland berdehem ketika Bu Diyah bilang Ica tidak masuk cukup lama. Tentu saja ia paham kejadian itu. Karena dia lah penyebab utamanya.

"Menurut Anda, apakah memungkinkan jika Marisha mendapat kenaikan posisi? Menjadi asisten kepala divisi misalnya?"
Arland ingin Ica naik jabatan. Namun ia juga harus tahu potensi. Meski nanti Ica menjadi istrinya, ia tak boleh semena-mena menaikkan jabatan begitu saja.

Untuk itulah kini ia memanggil Bu Diyah. Tentu orang itu lebih paham skill Ica dibanding dirinya. Arland kan tahunya hanya skill Ica ketika di ranjang. Masalah skill bekerja ia tak tahu sama sekali.

Bu Diyah cukup heran kenapa atasannya itu malah menanyakan kenaikan posisi. Ia kira Ica akan dapat peringatan. Yang tidak diketahui Bu Diyah bahwa laki-laki di depannya inilah penyebab kinerja Ica menurun.

Perempuan berusia kepala tiga itu menjawab dengan hati-hati. Takutnya kalau itu adalah pertanyaan jebakan untuknya. Padahal jangankan pertanyaan jebakan, Arland saja baru tahu hari ini kalau Ica bekerja di divisi finance selama ini. Maklum, karyawannya ada ribuan orang. Ia tidak sampai mengenal satu per satu, apalagi posisi Ica cukup berada dibawah.

"Mohon maaf Pak, menurut saya kalau untuk kenaikan posisi Marisha belum mampu untuk saat ini. Mungkin jika satu atau dua tahun lagi baru bisa menjadi asisten kepala divisi. Karena Marisha kan dari lulusan SMA, jadi belajarnya memang dari awal."
Jawab Bu Diyah jujur.

Arland mengangguk-angguk mendengar penjelasan Bu Diyah.

"Baik kalau begitu, terimakasih atas penjelasannya" ujar Arland dengan tenang. Kini ia cukup mengerti mengenai Ica.

"Mohon maaf Pak, kalau boleh tahu mengapa Bapak tertarik dengan anggota Divisi saya, khususnya Marisha" tanya Bu Diyah hati-hati.
Sebenarnya ia takut bertanya. Tapi rasanya sangat aneh. Kenapa Pak Arland yang bahkan jarang bertemu dengannya bisa bertanya mengenai bawahannya. Lebih aneh lagi karena hanya Ica yang ditanyakan.
Sejauh pengetahuan Bu Diyah, atasannya ini tak pernah melihat wajah apalagi bertemu Ica.

"Dia calon istri saya" jawab Arland jujur.
Bu Diyah melongo tak percaya. Kaget sekali mendengar kata itu.
"Mohon maaf Pak, saya tidak tahu. Jika memang diperlukan, Marisha bisa naik posisi Pak, yang penting banyak diajari" ucap Bu Diyah bingung. Ia baru paham maksud Arland ingin menaikkan posisi Ica.
Namun dari penjelasannya masih ada kejujuran bahwa Ica memang belum saatnya naik posisi.

"Oh jangan-jangan. Saya cuma mau tahu potensinya saja. Mengenai posisi di kantor ini semua harus sesuai dengan kemampuan. Kalau nyatanya Ica memang belum mampu, ya biarlah dia tetap pada posisinya." Arland menjelaskan mengenai sedikit kebijakan kantor tentang jabatan karyawan.
"Anda pun harus tetap profesional sebagai atasannya. Jangan karena nanti dia jadi istri saya kemudian perlakuannya menjadi berbeda." Lanjut Arland

"Baik Pak, mohon maaf jika ada kata-kata saya yang kurang berkenan"

"Tidak masalah. Terimakasih anda sudah mau jujur menjawab. Silahkan bisa kembali melanjutkan tanggung jawab Anda." Arland menutup pembicaraan.

"Baik Pak. Selamat siang" Bu Dian beranjak dari kursinya.

"Selamat siang" kata terakhir Arland sebelum Bu Dian meninggalkan ruangannya.

Sampai di lantai 2 yang merupakan tempat divisi finance berada.
Bu Diyah memanggil Ica ke ruangannya.
"Ibu memanggil saya?" Tanya Ica ketika sudah di dalam bersama Bu Diyah.
Kepala divisi itu menuju pintu dan memastikan sudah tertutup rapat.
"Iya Ca, saya mau tanya. Betul kamu mau menikah dengan Pak Arland? Yang direktur utama itu?"
Bu Diyah bertanya hanya untuk memastikan kembali. Ia takut kalau-kalau Pak Arland salah orang karena kantornya sangat besar.
Atau ia takut ternyata kupingnya perlu diperiksakan. Atau harus periksa kesehatan karena fokusnya menurun.

Entahlah banyak kebingungan di benak Bu Diyah. Makanya ia panggil Ica untuk memastikan.

Deg. Ica merasa bingung. Bagaimana Bu Diyah bisa tahu? Lalu apa yang harus ia katakan? Bagaimana menjelaskan semua ini?

Terimakasih sudah membaca, mohon maaf jika ada kesalahan kata maupun penulisan. Tolong komennya ya. Kritik saran juga sangat ditunggu agar karya ini menjadi lebih baik.

Semoga usaha dan harapan kita dapat berjalan lancar

Terimakasih

Mengandung Bayi BosWhere stories live. Discover now