Keraguan

8 2 0
                                    

Annyeong, bagaimana hari liburmu? Apa membosankan? Atau menyenangkan? Yang pasti, ytta.

Matcha up lagi, nih. Ayo, ayo, jangan lupa vote dan komennya!!

-Selamat Membaca-
Salam ceria dari Matcha
(◍•ᴗ•◍)❤









Deka diam sesaat, memikirkan kembali pendapatnya yang membahayakan. Diliriknya jam dinding di kamar, kemudian beralih menatap miniatur robot yang ia pajang. Tidak ada yang bisa menarik perhatiannya, terkecuali bingkai foto ayah dan ibunya. Cukup rindu.

"Ayah, Ibu ... Deka rindu sama kalian," bisiknya tepat di depan bingkai.

Air mata tidak kuasa lagi menahan, mulai turun membasahi pipinya yang baru saja kering. Tangannya bergerak meraih sebuah buku catatan, pesan-pesan dan amanat orang tuanya ada di sana. Namun, belum semuanya ia baca. Sejak dulu, 4 tahun terakhir saat orang tuanya berkunjung ke Jakarta, tempatnya ia tinggal hingga sekarang.

Buku sederhana yang tebalnya sekitar 3 cm, dengan panjang 16 cm dan lebar 9 cm. Sampulnya hitam polos, bertuliskan sebuah kalimat, "Untuk Anak Kami, Merdeka Indonesia." Buku terakhir yang ia terima dari orang tuanya. Dahulu, Deka kerap menerima hadiah-hadiah kecil dari ayah ataupun ibunya, kebanyakan buku cerita atau dongeng anak-anak. Terkadang pula, sering memberinya buku diary. Kata ibu, jika Deka nanti sudah dewasa, bisa lihat buku diary itu, bisa tahu juga apa rencana kita di masa depan.

Deka teringat dengan buku diarynya, buku pemberian ibu setelah ayah membelikannya sepeda. Sepeda itu ia bawa ke Jakarta, bukunya juga. Buku dengan sampul bergambar dinosaurus hijau dan ungu, kesukaan Deka sejak kecil. Pria yang telah dewasa itu mencari ke seluruh kamarnya, membuka laci satu persatu dan mengambil beberapa buku diarynya.

Satu buku yang Deka baca awal. Buku bersampul biru, sangat kecil, bahkan beberapa temannya menganggap itu adalah buku contekan saat ujian. Nyatanya tidak. Mana pernah ia seperti itu. Isi bukunya ada ungkapan hati Deka semasa kecil. Salah satunya ...

"Ayah, Ibu, jika nanti Deka sudah dewasa ... izinkan Deka untuk berkata pada dunia, ya? Deka ingin teknologi dunia yang berkembang tidak menyesatkan manusia. Teknologi membantu kita, tapi membuat kita juga merasa malas. Tak apa bila kita memang benar-benar membutuhkan dan dirasa tidak sanggup lagi mengerjakan suatu hal tersebut dengan anggota tubuh kita, akan tetapi apakah kita akan terus bergantung dengan teknologi? Tentu tidak, 'kan?"

Membaca halaman tengah buku itu, sebuah ungkapan yang ditulis tahun 2018. Saat Deka masih duduk di bangku SMA kelas 2. Buku itu ia tulis di waktu senggang, tepat saat ada acara televisi yang menampilkan teknologi dunia yang menggila.

Kemudian, ia buka satu halaman lagi. Kosong, tidak ada apa-apa, hanya sebuah coretan garis yang membentang. Dibukanya lagi lembaran baru, menemukan foto dirinya bersama kucing di jalanan. Deka terkekeh melihatnya, ia memang menyukai kucing sejak dulu. Pernah sekali Deka merengek pada orang tuanya untuk memelihara kucing, tapi karena ibunya alergi kucing dan Deka teramat sayang pada ibunya, akhirnya ia mengalah. Memilih untuk bermain kucing liar yang lewat di depan rumah dan segera mandi setelah bermain dengannya.

Dan suatu hari saat ia pulang sekolah, melewati jalanan yang sepi di sekitar komplek. Bertemu dengan seekor kucing yang kelaparan dan secara kebetulan, Deka sedang membawa bakso di tangan kanannya. Karena tidak tega, Deka memberikan bakso tanpa kuah tersebut ke kucing jalanan, tidak lama kemudian muncul lagi dua ekor kucing kembar berwarna hitam. Deka senang, ia juga lapar, tapi selalu mendahulukan yang kelaparan. Seperti kucing itu contohnya.

Deka membuka lagi lembaran terakhir buku biru kecilnya, melihat ada sebuah nomor telepon di sana. Karena penasaran, Deka mencoba menghubungi nomor telepon itu. Melalui ponselnya, Deka bisa mendengar suara seseorang yang menyahut. Dan saat tahu bahwa orang itu adalah ayahnya, Deka memekik girang.

Power Actuator (Deka) | Segera Terbit ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang