Tawamu yang Pedih

7 3 0
                                    

Terakhir deh untuk hari ini ^^

-Selamat Membaca-
Salam ceria dari Matcha
(◍•ᴗ•◍)❤








"DEKA!" Devi berlari memasuki ruangan. Ruang ICU.

Deka terlonjak kaget, gelas minum yang ingin ia raih pecah karena jatuh mengenai lantai yang keras. Cowok yang masih berbalut pakaian serba hijau itu menoleh, melihat Devi yang tiba-tiba saja datang mendorong pintu ruangan sangat keras.

"De ... vi." Lirih Deka yang hampir tidak terdengar. Suaranya teredam oleh Nebulizer di mulut dan hidungnya. Lehernya yang dibalut cervical collar membuatnya merasa sakit hanya sekadar untuk menoleh saja.

Devi segera meraih badan Deka dan membawanya untuk kembali berbaring. Kemudian, dibelainya lengan Deka yang tidak diinfus, ditatap lekat wajah Deka yang diperban penuh luka. Miris dan iba.

"Ka, kamu mau apa? Biar aku ambilin," ucapnya yang tadi tahu bahwa Deka hendak meraih sesuatu.

Tangan Deka bergerak, mengisyaratkan dengan jarinya yang ia kepal, terkecuali jempol. Kemudian, ia arahkan ke mulutnya. Seperti sebuah kalimat bahwa ia ingin minum. Tangannya juga mengusap cervical collar di lehernya, seakan berkata bahwa ia haus.

Devi mengangguk paham. Namun, karena gelasnya pecah dan ia juga belum mengetahui bagaimana caranya untuk memberi Deka minum, lantas beranjak. Gadis itu meminta Deka untuk bersabar sementara ia akan meminta bantuan kepada dokter.

Deka mengangguk lemas. Matanya ia pejamkan sebentar, merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Sama sekali tidak memikirkan bahwa seragamnya penuh darah, robek, dan lainnya. Bisa selamat saja ia beruntung.

Devi masuk kembali bersama sang dokter. Temannya tidak diperbolehkan ikut masuk dahulu karena akan membuat Deka merasa sesak. Sebelum memberi minum, dokter bertanya terlebih dahulu.

"Masih sakit?" tanyanya memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Deka.

Deka kembali mengangguk. Ingin berkata pun rasanya sulit. Hanya bisa berkomunikasi melalui isyaratnya saja.

"Saya lepas Nebulizernya, ya?" Dokter mulai melepas Nebulizer itu.

Deka merasa sedikit lega. Hidungnya kembali mencium aroma-aroma di sekitarnya. Mencoba untuk bernapas, masih bisa dengan lancar.

"Nah, sudah dilepas. Saya cek juga sudah boleh makan atau minum. Saran saya, beri makan yang lembut dahulu, seperti bubur atau lainnya. Jangan diberi makan yang aneh-aneh atau yang pedas. Minuman pun hanya boleh air bening dan susu yang diberikan oleh pihak rumah sakit," tutur dokter.

Mereka mengangguk paham. Dalam ruangan itu memang sudah disediakan minuman untuk pasien jika sewaktu-waktu sudah sadar. Jadi, pasien tidak akan kehausan lagi sampai dehidrasi.

"Minum, Dev ...." Deka mengusap jemari tangan Devi.

Devi tahu, ia langsung mengambil botol air di nakas. Kemudian membukanya dan memberikan pada Deka. Sebelumnya, gadis itu membantu Deka agar duduk dengan bangsalnya yang ia naikkan. Lalu, membantu Deka meminumnya perlahan.

Selesai minum, Deka menyenderkan punggungnya lagi ke bangsal. Salah satu tangannya menggenggam Devi seakan itulah sumber kekuatannya untuk saat ini.

Devi tidak masalah. Lagipula, mereka sudah terbiasa seperti ini. Devi juga mengusap rambut Deka yang terasa lepek karena keringatnya. Deka juga terima saja jika Devi mengusapnya.

"Yang lain mana?" Masih dengan suara yang lemas tidak berdaya, Deka bertanya demikian.

"Di luar, Ka. Nanti mereka semua masuk kalau kamu sudah dipindahkan ke ruang perawatan," balas Devi.

Power Actuator (Deka) | Segera Terbit ✔️Where stories live. Discover now