dua puluh sembilan

1.6K 216 104
                                    



Pria itu tersenyum pada asisten toko dan menunjuk pada salah satu bikini yang dipajang di manekin. "Yang itu kukira cocok. Bisakah kau ambilkan satu yang sesuai ukuran tubuhnya?"

Mata Andin melebar ngeri saat ia akhirnya bisa melihat sekilas ke arah manekin yang dimaksud bosnya. Dirinya belum pernah memakai sesuatu yang begitu terbuka dalam hidupnya. "Woah, sudah pasti tidak," kata Andin lagi, kali ini lebih keras dan penolakannya lebih jelas.

Namun gadis asisten itu sepertinya tahu siapa di antara mereka berdua yang menjadi bos dan memilih untuk mengabaikan penolakan Andin. Dengan senyum kecil, asisten toko itu pergi hanya untuk kembali dalam sekejap dengan sebuah kotak kecil. Ia kemudian membawa Andin ke kamar pas kecil untuk mencoba bikini secara pribadi.

Ketika Andin tampak enggan mengikuti asisten toko, Sebastian mencondongkan tubuh ke depan, bibirnya sedikit menyentuh telinga gadis itu saat ia berkata dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh Andin. "Atau kau ingin aku yang memakaikannya untukmu?"

Andin merasa pipinya terbakar. "Listen, Sir, saya tidak bisa memakai itu," protes Andin enggan.

"Oh, ayolah. Coba dulu baru kau putuskan," kata pria itu dengan nada bosan sambil mendorongnya ke kamar pas. Begitu Andin berada di dalam, pria itu menyodorkan kotak itu ke tangannya dan menutup tirai tanpa basa-basi.

Andin melihat pantulan dirinya di cermin panjang beberapa saat kemudian dengan rasa tidak percaya. Bahan sutra warna merahnya terlihat seperti bayangan di atas kulit kuning langsat Andin. Tali sutra halus menghubungkan dua cup kecil di bagian atas, memperlihatkan payudaranya yang lembut dan kencang. Celana bikini itu diikatkan di pinggul dengan cara yang sama dan meninggalkan imajinasi yang nyata. Sejujurnya, Andin tidak pernah merasa lebih telanjang daripada sekarang.

"Apakah kau sudah mencobanya?" Ia mendengar suara Sebastian.

"Ya," jawabnya tak lama kemudian.

"Dan?" ucap pria itu lagi.

"Dan keputusannya masih sama. Saya tidak bisa memakai sesuatu seperti ini!"

Ada jeda dua detik sebelum ia mendengar pria itu berbicara lagi. "Tunjukkan kepadaku."

"Absolutely not!" jawab Andin segera, suaranya bergetar karena panik.

Seolah-olah dirinya tidak baru saja mengucapkan protesnya, pria itu menarik tirai dengan suara gemerincing akibat gantungan tirainya, gadis itu mundur dan berharap tanah bisa menelannya tubuhnya saat itu juga. Mata biru pria itu dengan tajam terkunci pada mata Andin sebelum mulai menatap sosok gadis itu.

"Kau benar-benar mempesona," kata pria itu serak. Kata-katanya seperti belaian. Andin gemetar mendengarnya, dan ingin bersembunyi dari tatapan posesif mata pria itu. Sebastian menatapnya perlahan dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Merah sudah pasti warna yang cocok untukmu. Merah terlihat amat bagus padamu."

"Pfft." Gadis itu memutar matanya tidak percaya. "Ya, yang benar."

"Jangan malu dengan tubuhmu," tambah pria itu, tampaknya menyadari bahwa di balik itu semua, gadis itu cukup insecure dengan tubuhnya. Jika Damon bukan orang yang mendorongnya untuk mencoba berbagai gaya yang berbeda sesekali, Andin cukup yakin bahwa dirinya akan mengenakan pakaian kantor dan T-shirt XL hampir sepanjang waktu. "Kau tampak bagus."

"Well, no need to lie now."

"Aku tidak bohong." Alis pria itu menyatu seolah-olah ia sedang mencoba memecahkan pertanyaan matematika yang sulit. "Apakah tidak ada yang pernah memberitahumu bahwa kau cantik?"

Andin dengan gugup menjilat bibirnya dan pria itu memperhatikannya, mengarahkan pandangannya pada gerakan kecil itu dengan cara yang membuat Andin semakin gugup. Sebastian berbalik dan ketika ia akhirnya kembali, pria itu membawa kotak lain di tangannya dan menyerahkannya pada Andin. "Ayo. Coba yang ini juga."

dear mister summersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang