lima belas

3.2K 310 101
                                    



* untuk mereka yang telah sabar menanti *

SEBASTIAN

Sebastian menatap pintu kantornya selama beberapa menit setelah ia mendengar bunyi klik yang menandakan bahwa pintu itu telah tertutup rapat. Jujur, pengunduran diri Andin mengejutkannya. Pria itu tidak pernah berpikir bahwa Andin akan minta berhenti dari pekerjaannya.

"Sialan," desisnya pelan sehingga satu-satunya orang yang baru saja mengguncang dunianya di sisi lain ruangan itu tidak akan mendengar umpatannya. Pria itu telah mencoba yang terbaik untuk tetap tenang dan santai dalam menyampaikan tanggapannya akan pengunduran diri Andin karena hal terakhir yang ia inginkan adalah Andin menyadari betapa pentingnya peran gadis itu sebenarnya di perusahaan ini. Jika Andin tahu betapa takutnya pria itu kehilangan dirinya, gadis itu akan cenderung menilai dirinya sendiri terlalu tinggi.

Sebastian berkedip ketika sebuah pikiran datang di benaknya. Mungkin Andin ingin berhenti karena gajinya kurang besar. Mungkin alasan mengapa Andin menyerahkan pengunduran dirinya karena gadis itu ingin meminta promosi. Pikiran ini hanya berlangsung selama beberapa menit sebelum Sebastian sendiri menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Andin memiliki gaji tertinggi yang bisa dimiliki sekretaris mana pun. Ponsel Sebastian berbunyi dan pria itu segera mengecek inbox-nya. Ia baru saja mengirimkan teks pada kakak tertuanya, Thornton, dan balasan kakaknya telah datang. Gaji Andin hampir dua kali lipat gaji sekretaris kakaknya. Uang jelas bukan alasannya. Andin tidak akan dapat menemukan perusahaan lain yang akan membayar lebih tinggi dari Sebastian telah membayarnya.

Maka itu pasti ada hal lain. Selama satu jam berikutnya, meskipun Sebastian memegang kontrak di satu tangan dan pena di tangan yang lain, pria itu tidak bisa memikirkan apa pun selain alasan di balik pengunduran diri Andin Williams. Ia harus tahu. Jika ia akan kehilangan sekretarisnya yang berharga, ia harus tahu alasan di baliknya.

Teleponnya berdering dan Sebastian segera meletakkan pulpen dan mengangkat gagang telepon.

"London Star menelepon Bapak di saluran satu, Sir," kata sumber sakit kepala laki-laki itu.

"Terima kasih, Miss Williams." Sebastian menekan tombol untuk menerima panggilan. "London," sapanya.

"Kalau kau harus tahu, Sebastian sayang, saat ini aku tidak mengenakan apa-apa di tubuhku," kata London dengan nada menggoda. "Jadi, beri tahu aku, seberapa jauh kau dari Suite Lacoste di lantai tiga puluh?"

"Saat ini aku masih di kantorku," jawab pria itu terus terang lalu menambahkan, "tapi tidak lama lagi aku akan sampai."

* * * * * * *

Sebastian sedang duduk di restoran di lantai dasar hotel bintang lima yang lumayan terkenal di Washington D.C. dan pastinya, hotel ini bukan salah satu hotel chain milik adiknya, Declan. Terdapat kerutan di dahi pria itu tatkala ia gagal menemukan alasan mengapa dirinya justru memutuskan untuk bertemu London di sini dan bukan di Lacoste Suite yang telah di-book olehnya sebelumnya. Pria itu mengangkat cangkir dari tatakan cangkir dan menyesap. Pahitnya kopi membangunkan indranya namun tetap tidak bisa membantunya menyelesaikan beban di pikirannya itu.

Undangan itu sudah jelas ada di sana dan yang harus Sebastian lakukan hanyalah naik ke atas dan akhirnya memuaskan rasa laparnya, namun tiba-tiba ia kehilangan keinginan untuk melakukan itu. Ini semakin konyol, katanya pada dirinya sendiri sembari menggelengkan kepalanya. London Star adalah salah satu wanita paling cantik di seluruh Washington D.C. dan mungkin bahkan di Amerika Serikat, namun ketertarikannya terhadap London telah dihilangkan oleh obsesinya yang tak tertahankan dengan sekretaris kecilnya, Miss Andin Williams. Mungkin ia sudah gila. Ya, mungkin itulah satu-satunya alasan yang bisa menjelaskan keadaannya yang tidak masuk di akal ini.

dear mister summersWhere stories live. Discover now