Bab. 7. ketika tak lagi berharap.

26 2 0
                                    

"Kebahagiaan bukan milik mereka yang masih berharap." - Biru

T U J U H—————

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

T U J U H
—————

Sudah berminggu-minggu aku memikirkan orang yang sama. Padahal aku tau, dia peduli padaku pun tidak. Aku dengan ambisiku memilikimu. Dengan usahaku jungkir balik mengejarmu. Tak ada satupun yang berhasil menarik simpatimu. Bodohnya aku masih setia menunggumu. Menikmati khayalan tinggiku mendapatkanmu.

Bagaimanapun ku mengejarmu. Kamu tetaplah Langit. Terlalu tinggi. Jauh tak tergapai.

Aku menghela nafas sejenak. Menyesap susu coklat hangat yang ku buat untuk sekedar menenangkan.

Hidup itu seharusnya penuh warna. Agar harimu tidak monoton itu-itu saja. Tapi nyatanya, koleksi warnaku telah habis untukmu. Yang tersisa hanya kelabu.

Memang benar, ambisi terkadang membutakan. Hingga membuatku terlalu tega terhadap diriku sendiri. Tak memberi ruang hati untuk riang. Walau sekedar melepas penat.

Bodoh!
Aku mengumpat kesal pada diriku sendiri.

Aku terlalu lemah. Bahkan di saat Langit belum sempat membukakan pintu hatinya untukku. Tapi aku sudah lebih dulu hanyut dalam hasratku sendiri. Cih, konyol.

Mungkin kau telah memaki ku berulang kali, atas kebodohan yang ku perbuat ini. Ngaku saja. Tak akan ada yang marah.

Atau malah kita sama?

Kau membaca tulisan ini karena merasa senasib denganku? Apa itu bahasa gaulnya? Re- rel- relate? RELATE.

Ngaku saja, tak akan ada yang kecewa atas kebodohanmu itu.

Nanti kita bisa sharing-sharing bareng, untuk adu kebodohan, mungkin?

Ah, sudahlah.

Aku coba kasih motivasi untuk kita ya?

Masih ingat kata mutiara di bawah judul novel ini?

"Kebahagiaan bukan milik mereka yang masih berharap."

Nah, udah yuk cukup berharapnya. Kasian, dirimu sudah sangat lelah. Kantung matamu sudah sangat berat. Mari kita istirahatkan barang sejenak.

***

Setelah patah hatiku di kampus siang itu, aku lebih memilih untuk tak lagi memikirkan Langit. Meski bayang-bayangnya selalu menyelinap diam-diam. Bahkan karena aku tinggal di kos milik keluarganya, membuatku tak bisa menghindarinya. Meski tak sering bertemu. Tapi tetap saja kerap membuat pertahananku goyah.

Seperti saat ini. Tante Rosa memintaku untuk mendampingi Langit pergi mengambil pesanan katering untuk acara di rumahnya nanti malam. Lebih tepatnya memaksa. Karena sudah beberapa kali ku tolak. Tapi Tante Rosa tak menerima penolakan.

Kini, Langit sudah berada di sampingku. Mengendarai mobil yang sudah jauh berlalu dari rumahnya.

Langit fokus menatap ke depan. Kesempatan ini membuat mataku tak bisa berhenti meliriknya. Sesekali mencuri pandang ke arahnya. Dari samping, terlihat jelas detail wajahnya. Hidung, dagu dan tulang rahangnya yang tegas. Mengagumkan.

LANGIT BIRUحيث تعيش القصص. اكتشف الآن