Part 38

1.7K 280 27
                                    

"Aw, pelan-pelan." Haikal meringis saat Arimbi mengobati luka di sudut bibirnya.

"Dokter kok cemen sih." Ejek Arimbi.

"Dokter juga manusia." Bela Haikal. "Awas ya orang itu, lain kali akan kuhajar sampai babak belur, kalau pasien-pasienku lihat nanti gimana?"

Arimbi mencebik, "itu pasien apa fans? Segitunya." Kata Arimbi sambil menutup luka dengan plester.

"Cemburu ya?" Mata Haikal berbinar.

"Enggaklah." Balas Arimbi. Arimbi menghela napas, "maaf ya, gara-gara aku kamu jadi berkelahi."

"Nggak apa-apa, aku nggak rela kamu diperlakukan seperti tadi. Oya, bukannya orang itu pemilik kafe yang kita datangi waktu itu kan?"

Arimbi mengangguk, "sebenarnya dia itu ..."

"Astaga aku lupa, aku ada janji dengan salah satu dokter spesialis jantung lainnya, aku harus bergegas." Potong Haikal.

"Kamu nggak ada bilang ada janji apapun." Kata Arimbi.

"Aku lupa, aku pamit dulu." Haikal keluar dari rumah Arimbi diikuti Arimbi dibelakangnya. "Jangan terlalu banyak berpikir, kamu istirahat aja. Besok pagi aku akan menjemputmu, nggak boleh nolak." kata Haikal cepat begitu melihat Arimbi yang hendak bicara.

"Assalamualaikum." Kata Haikal sambil mengacak rambut Arimbi lembut.

"Waalaikumsalam." Kata Arimbi.

Haikal berbalik meninggalkan rumah Arimbi. Wajahnya berubah, yang tadinya lembut kini menjadi penuh amarah. Ia mengepalkan kedua tangannya, tatapannya tajam.

***

Bagas tengah meringis dikantornya, ia sedang mengobati lukanya sendiri. "Apa hubungan Arimbi dengan dokter itu?" Katanya pada dirinya sendiri. "Yang jelas laki-laki itu menyimpan perasaan untuk Arimbi, ndhak bisa." Kata Bagas lagi, "Arimbi ndhak boleh sama laki-laki lain, Arimbi cuma milikku. Sabar sayang, sebentar lagi kita pasti akan bersama." Kata Bagas.

Setelah mengobati lukanya Bagas segera menghubungi seseorang, "bagaimana?" Tanya Bagas.

Entah apa yamg disampaikan oleh temna bicara Bagas saat ini, wajah Bagas menunjukkan kegelisahan dan ketidaksabaran dalam waktu bersamaan. "Aku ndhak mau tahu, kamu harus menemukannya secepatnya. Waktuku ndhak banyak." Kata Bagas sebelum menutup telepon.

"Sial, sial." Amarah masih menguasai Bagas. Dokter sialan itu harusnya tidak mendekati Arimbi, dia harus mencari tahu sejauh mana hubungan mereka.

Telepon Bagas berdering, nama Tiara tertera di ponselnya. Dengan enggan menjawab panggilan itu. "Ada apa?" Kata Bagas tanpa basa basi.

"Waalaikumsalam calon imamku, apa kamu sudah makan siang?" Tanyanya.

"Ndhak usah basa basi, katakan saja ada apa?"

"Aduh calon suamiku memang to the point ya, baiklah." Kata Tiara senang. "Aku lagi di butik langganan eyang. Kamu cepet kesini ya, kita fitting baju pengantin."

"Pemilik butik sudah tahu ukuran bajuku, kamu tinggal bilang. Aku ndhak perlu repot-repot kesana." Balas Bagas.

"Mas, aku tunggu disini ya, ndhak usah lama-lama." Kata Tiara manja.

Bagas menarik napas pelan, "baiklah aku kesana." Kata Bagas sebelum menutup telepon.

Bagas menarik napas lalu segera menuju butik langganan keluarganya. Tiara langsung menyambutnya dan mengajaknya ke fitting room.

"Jas ini bagus sekali, membuatmu terlihat semakin tampan." Puji Tiara.

Bagas tersenyum sinis ia mendekatkan kepalanya ke telinga Tiara lalu berbisik, "pernikahan itu ndhak akan terlaksana, jangan bermimpi terlalu tinggi."

Blind DateWhere stories live. Discover now