Part 23

2.2K 426 76
                                    


Assalamualaikun wr wb apa kabar temen-temennya Bagas,Arimbi, Tiara sama Nesa???

Maafkeun aku ya lama nggak up, aduh situasi sekarang benar-benar nggak bagus. Semua pada sakit batuk, pilek, panas, demam, tenggorokan gatal, badan ngilu-ngilu atau nyeri🤧

Bukan keluargaku aja, sekampung, sekecamatan, sekabupaten, sepropinsi seindonesia sama sepertinya, jaga kesehatan ya semua, minum vitamin, makan yang banyak, istirahat yang cukup, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah swt aamiin yra 🤲🤲🤲
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sore yang mendung membuat Arimbi sedikit ketar-ketir, pasalnya saat ini ia sedang berada tepat 10 meter di depan kafe Bagas. Perasaannya maju mundur, ia ingin menemui Bagas, menanyakan perubahan sikapnya belakangan ini, ingin memastikan apakah itu hanya perasaannya saja atau bukan. Apapun itu, ia harus memastikannya. Hujan juga sepertinya akan segera turun, kalau ia membatalkan niatnya ia pasti akan kehujana, ia lupa menaruh jas hujannya kembali ke jok motor.

"Bismillah." ucap Arimbi memantapkan langkahnya ke dalam kafe, semoga Bagas tidak menolak kedatangannya.

Arimbi mendapat sambutan ramah dari karyawan kafe. Arimbi langsung mengutarakan niatnya, ia ingin bertemu dengan Bagas.

Karyawan kafe itu tentu saja sedikit terkejut, karena jarang sekali bosnya kedatangan tamu wanita. Setelah menanyakan nama Arimbi, pelayan itu menuju belakang meja kasir, sepertinya ia tengah memberitahu Bagas perihal kedatangannya. Karyawan itu terlihat mengangguk lalu meletakkan telponnya.

"Mbak Arimbi mari saya antar ke ruangan pak Bagas di atas." kata karyawan itu.

"Terima kasih." ucap Arimbi sopan.

Arimbi memperhatikan kafe sore itu, pengunjungnya tidak terlalu ramai, suasana kafe terasa sangat menenangkan, nyaman dan berkelas. Pandangan Arimbi beralih ke arah tangga yang dinaikinya.

"Silahkan masuk, Mbak." karyawan itu membuka pintu dan mempersilahkan Arimbi masuk. Arimbi mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan kerja Bagas. Ruangan kerja yang sangat maskulin, barang-barang tertata rapi dan aroma terapinya membuat suasana hati tenang.

"Selamat sore, Arimbi, ya, perkenalkan aku Kresna. Sahabat sekaligus rekan kerja Bagas dalam menjalankan bisnis kafe ini." Kresna memperkenalkan diri pada Arimbi.

"Sore, aku Arimbi. Senang berkenalan denganmu." balas Arimbi.

"Nah ini, baru mantap bro, baru ketemu aja udah bilang senang berkenalan denganmu, beda sama yang kemaren." ujar Kresna.

"Sudah cukup kenalannya." ucap Bagas. Ia menghampiri Arimbi, ia meraih pinggang Arimbi lalu memberi kecupan ringan di kepala Arimbi.

Arimbi terkejut dengan sikap Bagas, sikap Bagas membuatnya bingung, apakah ia akan mengutarakan keresahannya selama ini atau tidak.

"Harusnya kamu berterima kasih padaku." kata Kresna.

"Iya, terima kasih." balas Bagas.

"Terima kasih atas apa ya?" tanya Arimbi bingung.

"Atas sesuatu yang indah." Balas Kresna sembari mengedipkan mata ke arah Bagas. "Baiklah, aku nggak mau jadi obat nyamuk jadi ... silahkan waktu dan tempat aku persilahkan."

Arimbi tertawa mendengar ucapan Kresna sedangkan Bagas meninju bahunya pelan.

"Selow bro," ucap Kresna sembari tertawa lalu mengambil kunci mobilnya dan keluar dari ruangan.

"Dia memang agak gila, jangan di dengerin." Kata Bagas.

"Dia ... menyenangkan." ucap Arimbi.

"Kamu bilang apa?"

"Menyenangkan." ulang Arimbi.

"No, no ... hanya aku yang boleh menyenangkanmu." ucap Bagas sembari mengajak Arimbi duduk.

"Oh ... ya?"

"Iya, dong." balas Bagas dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Arimbi berdehem, "kalau begitu, sikapmu ... belakangan ini tidak menyenangkanku."

Suasana hangat berubah menjadi tegang, terlihat dari gerakan yang dilakukan Bagas. Lalu Bagas menarik napas pelan.

"Maafkan, kalau sikapku belakangan ini membuatmu bingung." ucap Bagas. "Keadaan nenek membuatku kacau."

"Apa nenek baik-baik saja?" tanya Arimbi khawatir.

Bagas tersenyum, perhatian Arimbi kepada neneknya membuatnya terkesan. Ia senang dengan kepedulian Arimbi.

"Kesehatan nenek naik turun. Jantung nenek bisa tiba-tiba kambuh kalau berpikir terlalu keras." jelas Bagas.

"Apa karena aku?" tanya Arimbi.

Bagas terdiam beberapa lama. Sikap diam Bagas membuat Arimbi mengalihkan pandangannya ke jendela.

Arimbi menatap ke luar jendela, rintik-rintik hujan mulai turun, awalnya pelan lalu tiba-tiba mengalir begitu deras, tirai jendela terbang ditiup angin kencang.

"Hujannya lebat." ucap Bagas sembari mengikuti arah pandang Arimbi.

"Semoga hujannya nggak lama." ucap Arimbi. Suaranya yang kecil hampir terdengar seperti gumaman.

"Aku nggak suka hujan." lanjut Arimbi.

"Kenapa? bukannya rata-rata perempuan menyukai hujan?" tanya Bagas. Sebagian besar teman perempuan Bagas di sekolah dan kampus dulu katanya menyukai hujan.

"Entahlah, aku tidak menyukai hujan sejak kakekku meninggal waktu aku berumur 9 tahun."

"Lalu?"

"Waktu itu hujan sangat deras, disertai petir. Aku dan kedua orang tuaku sedang makan malam sederhana di rumah. Malam perayaan ulang tahunku. Di tengah acara, nenek menelpon, entah apa yang dibicarakan mereka tapi beberapa saat kemudian aku melihat mama menangis, ia tidak bisa berkata apa-apa ketika papa bertanya ada apa?" cerita Arimbi terputus ketika suara petir menggelegar.

Arimbi terkejut dan reflek menutup mata dan menutup kedua telinganya menggunakan tangan.

Bagas mendekap Arimbi, tubuh mungil itu bergetar dalam pelukannya. Bagas bisa merasakan ketakutan Arimbi. "Jangan takut, ada aku." ucapnya sembari mengelus lembut rambut Arimbi.

***

Boom voment dong biar jadi vitaminku 😍😅😘😘😘😘

Blind DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang