Part 28

1.5K 383 69
                                    

Sisa rasa by Mahalini

*
*
*

Suasana di rumah Arimbi sudah ramai, kerabat, tetangga dan rekan kerja datang, tak peduli dengan malam yang semakin larut, mereka terlihat bersama-sama mempersiapkan segala sesuatu untuk urusan pemakaman.

Arimbi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, pikirannya kosong, ia berjalan perlahan menuju keramaian itu, semakin dekat penglihatannya semakin kabur, ia bahkan tidak merasakan kakinya berpijak.

Di tengah ruangan nampak sang mama yang tengah membaca lantunan ayat suci di samping jenazah papanya. Iya, di sana papanya terbaring kaku, tubuhnya diselimuti kain batik panjang berwarna coklat. Seketika tubuh Arimbi lunglai, hampir saja ia terjatuh, beruntung seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat.

Arimbi tidak bisa melangkahkan kakinya lagi, pria itu membantu Arimbi duduk di samping mamanya.

"Rimbi," panggil mamanya dengan suara parau.

Arimbi mengulurkan tangannya perlahan, menyentuh kain dingin yang menyelimuti papanya, lalu matanya menatap wajah papanya. Wajah yang senantiasa menatapnya penuh kasih, kini terpejam selamanya.

"Pa, bangun. Bangun pa." kata Arimbi. Mamanya memeluk Arimbi. Mereka menangis bersama, tangisan yang sangat menyayat hati.

"Bangun, Pa. Papa nggak boleh ninggalin Rimbi, papa nggak boleh pergi. Bangun, pa." jerit Arimbi.

"Rimbi, sayang, istighfar nak."

Tangis Arimbi semakin pecah mendengar kata-kata mamanya. "Biarkan papa pergi dengan tenang, sayang."

Arimbi tidak percaya, bahwa dalam 1 malam ia akan sehancur ini. Hidupnya seperti terlempar dari roler coaster, ternyata ia tidak sekuat yang ia bayangkan, akhirnya ia jatuh pingsan di samping jenazah sang papa yang tidak akan pernah memeluknya lagi.

"Tante, biar aku yang jaga Arimbi, tante selesaikan saja dulu yang lain." ucap Marissa.

"Baiklah, tante titip Rimbi ya, Nak. Tolong, hibur dia." ucap Mamanya dengan suara tercekat.

"Pasti, Tante."

Setelah mamanya Arimbi keluar, Marissa membalurkan minyak kayu putih ke tangan dan kaki Arimbi, ia juga meletakkan minyak kayu putih di hidung Arimbi.

"Rimbi, bangun dong, please," kata Marissa. Ia tak kuasa menahan tangis, sungguh berat ujian yang menimpa Arimbi. Ia tahu bagaimana kedekatan Arimbi dengan sang papa, ia tahu bagaimana cinta kasih seorang ayah kepada putrinya begitu juga sebaliknya.

Keesokan paginya, rumah Arimbi semakin ramai, para pelayat tak henti datang ke rumah duka. Almarhum terkenal sangat baik, ramah, royal dan jenaka. Jadi, banyak orang yang merasa kehilangan beliau.

Kondisi Arimbi sudah lebih tenang, meski belum bisa menerima semuanya ia berusaha melakukan yang terbaik untuk almarhum papanya.

Di tengah kesibukan itu, Arimbi kembali menanyakan kronologis kematian sang papa.

"Papa baru pulang shalat isya di masjid, setelah itu seperti biasa papa menonton televisi, mama mengantarkan teh hangat tapi," mamanya Arimbi berusaha menahan tangis, ia menarik napas sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Mama pikir papa tertidur di sofa, mama membangunkan papa tapi ternyata papa sudah nggak ada." jelas mamanya.

"Kenapa mama nggak bawa papa ke rumah sakit? siapa tahu papa masih bisa diselamatkan." tanya Arimbi.

Mama Arimbi menghela napas, "Dokter Haikal sudah memeriksa kondisi papa, sayang. Dokter bilang papa terkena serang jantung."

"Dokter Haikal? Siapa, Ma?" tanya Arimbi heran.

Blind DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang