|MSH 6| Penolong Mentari

Começar do início
                                    

"Ternyata Lo anak bunda, ya," tutur Yuda seolah menghina Mentari yang begitu lemah.

"Emang kakak anaknya siapa? Anaknya ayah?"

"Gak mungkin kakak di lahirkan dari ayah kakak. Pasti dari bunda kakak," sambung Mentari di sela-sela tangisannya.

"Bukan itu maksud gue," tutur Yuda pada Mentari.

"Ini semua salah kakak. Kalau kakak gak paksa Mentari, mungkin Mentari bisa lanjut sekolah lagi," ucap Mentari menatap Yuda dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Emang gue salah apa?"

"Kakak paksa Mentari bicara di depan orang banyak. Padahal Mentari udah bilang gak mau, tapi tetap aja di paksa."

"Lo terlalu alay. Orang dimana-mana di kasih kesempatan bicara banyak mah hitung-hitung biar terkenal. Lah Lo? Malah pingsan. Lo sehat?" tanya Yuda mampu membuat Mentari terdiam.

Mungkin jika kehidupan dirinya normal saat kecil hingga menuju remaja, ia akan mempunyai pikiran yang sama. Tapi mau bagaimana pun orang lain menilai dirinya, yang tetap mengerti dirinya hanyalah ia. Bagaimana menderitanya, bagaimana ia bisa sampai di titik ini, semua itu adalah proses yang begitu berat baginya. Mungkin orang lain akan mengira bahwa ia lebay dan alay, tapi baginya ini adalah respon dari dirinya yang tak pernah bergaul dengan orang lain selain keluarga dan orang tuanya. Memang hidupnya sangat jauh berbeda. Seharusnya ia mendengarkan perkataan sang ayah untuk tetap sekolah di rumah.

Saat mereka sama-sama terdiam, tentu saja Dina dengan pakaian kerjanya datang dan memeluk Mentari erat di sana. Ia berusaha untuk menenangkan Mentari yang kembali menangis. Sementara Yuda yang melihat itu tetap saja bingung atas apa yang ia lihat di hadapannya.

"Mentari punya gangguan kecemasan. Dari kecil hingga sekarang, ini pengalaman pertama kalinya ia masuk ke sekolah. Mohon di maklumi, ya."

Yuda termenung. Apa yang ia dengar barusan benar? Pantas saja ia melihat tubuhnya bergetar ketika ingin menjawab pertanyaan.

"Maaf, ya, Tante. Saya gak tahu, makanya saya paksa dia bicara di depan untuk memperkenalkan diri," balas Yuda tentu saja merasa bersalah. Ia juga merubah kata-kata yang mengatakan bahwa Mentari begitu lebay.

Dina yang mendengar itu pun hanya mengangguk saja. Wajar saja mereka tak tahu, karena mereka tak mengenal Mentari secara dalam. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berusaha untuk menenangkan itu saja.

"Mentari mau sekolah di rumah aja. Mentari gak mau lagi di sini. Mentari takut," tutur Mentari membuat Dina mengangguk.

"Setelah ini kita menghadap kepala sekolah, ya. Bunda akan bilang kalau kamu gak bisa lagi sekolah di sini," jelas Dina membuat Mentari terhenti.

"Makasih, bunda."

"Ayo kita pergi sekarang," ajak Dina membuat Mentari bangun dan terus memegang lengan bundanya.

"Tunggu, Tante." Perkataan Yuda mampu membuat Mentari dan Dina terhenti.

"Ada apa, ya?" tanya Dina menatap Yuda.

"Saya akan bantu anak Tante keluar dari gangguan ini. Kalau kita gak kasih stimulus yang baik, sampai kapan pun dia akan anti sosial," jelas Yuda dengan tatapan percaya diri.

"Tidak perlu, nak Yuda. Biarkan anak saya kembali sekolah di rumah."

"Saya merasa bersalah. Saya yakin, saya akan membantu Mentari keluar. Kebetulan adik saya juga baru masuk, mungkin bisa berteman baik. Bagaimana Tante?" tanya Yuda pada Dina yang kemudian menatap Mentari yang menganggukkan kepalanya.

"Baik, saya percaya sama kamu. Kalau begitu saya permisi dulu."

Yuda pun hanya menganggukkan kepalanya. Ia yakin ia bisa membantu Mentari.

#TBC

Gimana pendapat kalian guys?

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian.

Follow akun ini

Give me 50 komen 🌼

Sampai bertemu di part selanjutnya.

Mentari Sebelum Hujan (SQUEL RAINA HUJAN TELAH DATANG) Onde as histórias ganham vida. Descobre agora