19. Dewi Keberuntungan

57 19 6
                                    

Saat membuka mata aku mendapati diriku berada di sebuah ruangan serba putih. Tidak ada dinding, pintu, jendela, langit-langit, bahkan lantai juga?

Tidak, jika kuperhatikan baik-baik ini bukanlah ruangan tetapi sebuah lapangan? Semua warna putih ini membuat otakku mengalami sedikit kendala sampai menyalahpahami aku berada di ruangan.

Aku juga bisa merasakan berat badan serta sensasi tertekan pada kakiku jadi tak salah lagi tempat ini memiliki lantai, tapi.....

"Di mana sebenarnya aku berada?" tanyaku kepada diriku sendiri.

Semenjak aku datang ke dunia ini tempat yang pernah kukunjungi hanyalah istana, gedung serikat, Penginapan Taring Busuk Goblin, Toko Perlengkapan Apel Emas, dan rumah Lawrance.

Aku belum pernah pergi dari Arspite dan seingatku istana sekalipun tidak mempunyai tempat serba putih seperti ini.

Kalau tak salah aku baru saja menawarkan doa kepada seorang dewi melalui patungnya 'kan? Lalu, tanpa disadari aku tiba ruangan serba putih—

Eh.... Tunggu sebentar.... Jangan-jangan pola ini.....

"Oh, ada makhluk fana yang berhasil kemari?"

Saat aku mulai berasumsi tiba-tiba terdengar sebuah suara lembut tertangkap oleh telingaku.

Aku menoleh ke sumber suara tersebut dan menemukan sesosok wanita berambut pirang cantik nan elegan, berpakaian serba putih yang tipis serta memiliki dua pasang sayap putih pada punggungnya, diikuti aura putih keemasan terpancar dari seluruh tubuhnya.

Penampilan sosok tersebut begitu indah dan nikmat dipandang, begitu elegan nan mulia—atau tidak.

Aku memandang wanita bersayap itu dengan mata memicing merasa ragu, ".... Anda ini dewi, 'kan?"

"Tentu saja. Kau berdoa di depan patungku, bukan? Kenapa kau malah terlihat begitu heran dan curiga?" tanya sosok yang kupanggil dan mengaku sebagai dewi.

Tidak, bagaimanapun juga siapapun akan sulit menganggapmu sebagai dewi jika perilakumu seperti itu?

Dia—wanita yang kupanggil dan mengaku sebagai dewi—memanglah teramat cantik hingga aku dapat dengan yakin mengatakan dia merupakan wanita tercantik yang pernah kutemui dan auranya terasa begitu lain dari orang biasa, namun satu hal yang menghancurkan semua kesanku terhadap makhluk ini adalah....

"Seingatku, aku berdoa di depan patung Dewi Keberuntungan, Fortuna." Aku berkata sambil mengusap dagu, "Kenapa aku malah bertemu Dewi Kemalasan, Saleth?"

"Oh, kau berani menyamakan dewi cantik nan anggun sepertiku dengan dewi suram seperti Saleth?" Sosok tersebut bangkit dan menatapku dingin, "Kau sudah bosan hidup, makhluk fana kurang ajar?"

"Eh? Dilihat dari manapun juga anda sedang bermalas-malasan, bukan?" Aku sekali lagi bertanya, "Jika bukan Dewi Kemalasan Saleth lalu siapa lagi?"

Pertanyaanku tidak aneh, 'kan? Dia sendiri tengah berbaring di atas kasur tipis menghadap sebuah benda yang nampaknya televisi sambil memakan sejenis makanan ringan—terlebih lagi terdapat banyak sampah bungkusan makanan ringan berceceran di sekitarnya.

Kalau tak salah menurut istilah di Jepang orang yang bersikap seperti ini adalah NEET—sebutan bagi orang tak terpelajar, bekerja, ataupun terlatih. Bagiku dia tidak terlihat seperti orang terisolasi atau anti-sosial sehingga istilah tersebut langsung muncul di kepalaku.

Bukankah wajar jika aku memiliki kesan demikian saat melihat pemandangan aneh ini?

Sosok dewi berambut pirang tersebut tersenyum kecil dan membusungkan dadanya, "Huh, asal kau tahu saja, posisiku sebagai dewi keberuntungan tidak memerlukan banyak pekerjaan sehingga aku memiliki banyak waktu menganggur."

Rais der MisfortunasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang