18. Common Mage

59 20 13
                                    

"Baik, totalnya 12.000 Ars," ujar resepsionis serikat menyodorkan sekeping koin platinum dan dua koin emas kepadaku, "Terima kasih atas partisipasi dan jasamu kali ini, Petualang Chandra."

Aku mengangguk pelan sebelum mengambil koin-koin tersebut dan memasukkannya ke dalam saku.

Imbalanku kali ini besar juga rupanya. Kupikir totalnya paling tinggi hanya sekitar tujuh atau delapan ribu Ars, ternyata dugaanku meleset hingga hampir dua kali lipatnya.

Sang resepsionis menjelaskan bahwa semua petualang yang berpartisipasi dalam Dungeon Break akan dihadiahi imbalan sebesar 5.000 Ars, baik itu petualang di garis depan maupun garis belakang.

Dalam kasusku 7.000 Ars lainnya adalah imbalan tambahan dari hasilku membunuh Redspike Hedgehog yang tanpa diduga muncul di garis belakang. Petualang lain juga diberi imbalan tambahan berdasarkan Magical Beast yang mereka basmi selama periode Dungeon Break berlangsung.

Inilah alasan mengapa banyak petualang pemula mengutarakan protes saat mendengar mereka diposisikan pada garis belakang. Mereka mengincar imbalan bonus sesuai makhluk yang mereka kalahkan.

Omong-omong karena aku kehilangan kesadaran setelah melancarkan serangan penghabisan pada Redspike Hedgehog, aku tak bisa memburu Magical Beast lain yang muncul di garis belakang sehingga imbalan bonusku hanya berasal dari landak berduri merah tersebut.

Dan sebagai tambahan peringkat petualangku juga naik menjadi D-.

Hal ini berhasil membuatku merasa dilema. Apa aku harus mengutuk atau memuji dewi kesialan jika begini?

Di satu sisi aku mendapat pengalaman mendekati kematian yang tak terduga tetapi di sisi lain, aku memperoleh berkah berupa uang dalam jumlah luar biasa disertai kenaikan peringkat.

Ini termasuk kesialan atau keberuntungan? Atau malah keduanya? 'Keberuntungan di balik kemalangan', begitu?

"Terima kasih." Aku berucap sebelum meninggalkan gedung serikat.

Baik, budgetku saat ini 25.000 Ars. Jumlah yang tergolong banyak dan lebih dari cukup jika diperuntukkan membeli budak paling murah.

Ah, tidak, aku harus menyelesaikan urusanku dulu sebelum membeli budak. Bagaimana jika aku membeli budak lebih dulu dan urusanku yang satu ini malah terbelangkai karena kekurangan uang? Tidak lucu jika demikian.

Bersama niat tersebut aku pun melangkah santai menuju suatu arah—lebih tepatnya ke arah gereja terbesar di Arspite.

"Oh, jadi seperti inikah gereja dewa-dewi?" Aku bergumam pelan menahan kekaguman terhadap bangunan raksasa nan megah di hadapanku.

Sejujurnya aku sempat beberapa kali melihat gereja ini dari titik tertinggi istana namun aku tak menyangka akan sebesar ini. Kalau harus dibandingkan mungkin bangunan ini sebanding dengan gedung DPR di ibukota Indonesia sana.

Daripada gereja bukankah ini lebih mirip katedral? Rasanya mustahil bangunan keagamaan sebesar ini hanya disebut sebagai gereja biasa.

Saat aku tengah mengagumi kemegahan gereja tersebut, seseorang berpakaian ala pendeta mendatangiku, "Permisi, tuan. Aku lihat nampaknya anda baru pertama kali mengunjungi Gereja Delapan Jalan. Apakah ada yang bisa dibantu?"

"Ah, sebenarnya aku datang kemari untuk berdoa dan berharap mendapatkan skill," jawabku sedikit gugup, "Apa tak masalah?"

Pendeta tersebut tertawa kecil menanggapi kata-kataku, "Tidak masalah. Banyak orang yang datang kemari agar mendapat berkah dari dewa tanpa niat tulus ingin berdoa kepada para dewa."

Oh, jadi datang ke gereja tanpa tujuan religius sepertiku cukup wajar, ya? Aku pikir mereka akan langsung mengusirku jika mengetahui tujuanku kemari hanya ingin mendapatkan skill. Kurasa tidak masalah.

Rais der MisfortunasDove le storie prendono vita. Scoprilo ora