𝑾𝒉𝒂𝒕 𝒉𝒂𝒑𝒑𝒆𝒏𝒆𝒅 𝒕𝒐 𝑽𝒊𝒗𝒊?☼︎

Start from the beginning
                                        

Amazing! Tunggu, akan aku selami kehidupanmu. Kita tatap dunia dari sisi menyenangkan, cinta juga kebahagiaan.

*****

"Kak Amel, pinjem hp dong..." Beringsut duduk. Liona tempelkan bibirnya pada pipi Caramel. Biasalah, ada maunya.

Mengembang senyum Caramel yang tengah memetik bayam. "Lagi dong... Lagi... " Caramel maju-majukan pipinya ke wajah Liona.

Sekali lagi. Sebuah kecupan mendarat di pipi Caramel. Dengan raut girangnya, Liona tadahkan tangan seperti meminta uang.

Berdiri Caramel dari duduknya, kamar adalah tujuannya. Ia raih tas sekolahnya yang sama sekali belum ia jamah sejak tadi. Meraba ponsel yang seingatnya ia masukkan kedalam tas.

Tapi, ternyata tidak ada. Matilah ia. Baru ingat, sepertinya ponselnya tadi ia dorong kedalam kolong meja.

Cepat-cepat Caramel ambil sisa-sisa uang jajannya yang ia masukkan kedalam dompet pensil. Ini sudah jam empat, masih adakah angkot?

Soal sekolah, Caramel tak ambil pusing. Sekolahnya selalu buka hingga malam, sebab anak-anak futsal, basket, paskibra, mereka selalu latihan bergilir setiap hari.

Lari Caramel keluar rumah, ia ambil langkah besar kala dirasa menyusuri gang rumahnya yang tak begitu jauh tapi kali ini terasa lama. Sampai ia di jalan besar, sebuah ojek lewat. Tepat sekali.

Caramel dengan sandal jepitnya, kaos hitam kebesarannya, serta celana rumahan yang mencetak ramping lekuk bagian pinggang kebawah berwarna dusty pink, berdiri tegak di depan gerbang sekolah.

Melangkah lincah sepasang kaki Caramel, melewati tepian lapangan, lebih cepat lagi langkahnya kala anak-anak futsal memandangnya asing.

Sampai ia di kelasnya, agak horor rasanya sebab kelasnya yang terletak di pojok. Padahal tadi masih terdengar suara riuh anak-anak futsal, tapi kini suara itu terasa sangat jauh.

"Terserah kamu, Kak ..." Melirih.

Terhenti seketika kaki Caramel kala akan mendorong pintu kelasnya yang agak tertutup.

Siapakah gerangan manusia yang masih menghuni kelas padahal waktu pulang sudah dari dua jam yang lalu?

Baru Caramel akan mengintip, pintu kelasnya terbuka dari dalam. Menegak tubuh Caramel yang barusan sempat membungkuk, mata yang tadi nyaris menyipit kini membulat kaget. Sangat kaget. Kesialan lagi-lagi mendatangi gadis itu.

Mundur Caramel, tubuhnya seketika bergetar tanpa diperintah, pun dengan lingkarang matanya yang dengan cepat memerah.

Menyilang kedua tangan Caramel di depan dada. Takut-takut Caramel tatap dengan mata berairnya lelaki yang kini berdiri menatapnya sedikit sinis dengan senyum menukik seram.

Maju selangkah lelaki dewasa itu. Seketika saja pecah langsung tangis Caramel, tubuhnya makin bergetar hebat.

Terangkat tangan besar lelaki itu, mengusap pelan puncak kepala gadis yang sepertinya takut dengannya. "Makin cantik aja." Berat suaranya berucap, pergi lelaki tersebut dengan langkah gontai.

Cepat-cepat Caramel masuk kedalam kelas. Ia kunci pintu tersebut dari dalam, takut orang tadi kembali lagi.

"Mel?"

"Vi?"

Baik yang baru masuk, pun dengan manusia yang sejak tadi memang berada di kelas itu, mereka berdua sama-sama terkejut. Sama dengan Caramel yang menangis, Vivi juga seperti itu keadaannya.

Cepat-cepat Caramel hampiri Vivi. "Siapa orang tadi, Vi?" Cepat Caramel menyela sebelum Vivi bertanya akan kehadirannya.

Vivi tarik nafas panjang. Dua gadis itu kini terlihat sama hancurnya, dengan luka mereka masing-masing, tercipta dari orang yang sama.

"Lio," katanya tertunduk. Lalu beringsut menelungkupkan kepala di lipatan tangan yang bertumpu di meja. Menyembunyikan kehancurannya di bawah sana.

"Pacar lo?" Caramel membeo dengan mata membola. Ia sugar singkat anak rambutnya yang mengganggu.

Duduk Caramel di bangkunya. "Kenapa nangis, Vi?" Caramel sentuh pelan bahu bergetar Vivi.

"Dari tadi lo belum pulang, belum ganti baju, apa lo nggak laper?"

Vivi angkat kepalanya, nampak sudah pipi kanannya yang memerah dengan cap tangan. Pun dengan matanya yang sembab, sudah lama menangis. Merengek tersedu-sedu gadis itu di hadapan sahabatnya. Takut bukan main kini ia rasakan. Tangan bergetar Vivi menyentuh telapak tangan Caramel. Ia bawa pada perut ratanya.

"Katanya Lio nggak bakal hamil, tapi sekarang... G-gimana, Mel?"

Kacau sudah raut wanita itu. Jatuh terlungkup lagi kepalanya di paha Caramel. Masih dengan tangannya yang menahan tangan Caramel di perutnya.

Meski sudah Caramel duga, sungguh kenyataan seperti ini sangat menyakitkan baginya. Sejak awal, Vivi memang sudah salah pergaulan. Berpacaran berlebihan. Nafsu besar yang mengantarkannya pada hasil positif yang berdampak negatif. Dan kini, yang ia tuai adalah kehancuran serta penyesalan.

"Vi..." lirih Caramel memeluk sahabatnya. Hilang sudah suara keduanya, hanya isak tangis hebat yang mereka suarai, pilu penuh penyesalan.

"Andai gue tau sejak awal... " Caramel yang masih tersedu-sedu. Terpukul pilu oleh kenyataan, dirinya yang lambat mengetahui siapa kekasih sahabatnya. "Pacar lo orang nggak bener, Vi, dia- dia pemakai juga pemabuk..."

Jheriyan Kalio.

Kekasih Vivi yang ia panggil Lio. Sedang Caramel mengenalnya dengan nama Iyan. (Iyan adalah pokok dari permasalahan di part 14:tragedi)

Cepat-cepat Caramel urai mereka yang saling mendekap, ia hapus air mata Vivi. Ada yang lebih penting dari meratapi nasi yang kini sudah menjadi bubur.

"Nggak apa-apa. It's okey. Semuanya bakal baik-baik aja."

Tbc!

Guys, aku sertain chapter yang isinya tentang anak remaja yang salah pergaulan gini bukan karena apa, bukan karena aku nggak bisa menempatkan dengan benar mana yang cerita adult, mana yang cerita broken home.
Tapi, ngeliat makin marak remaja salah pergaulan di sekitar kita, lewat kisah Vivi yang salah jalan ini, aku pingin kasih gambaran ke kalian, pembacaku yang mungkin cuma 4-5 orang ini bahwa, PACARAN SEWAJARNYA AJA. Karena, hidup bisa hancur lewat celah mana aja. Pinter-pinter kita memilah mana yang baik dan buruk buat diri kita. Oke, bisa kita terima takdir kita yang udh trlanjur hancur, tapi org tua kita? Ada mereka yg lebih hancur.

I'm okay (END)Where stories live. Discover now