𝑻𝒆𝒂𝒓𝒔 𝒇𝒐𝒓 𝒂 𝒏𝒆𝒘 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒏𝒏𝒊𝒏𝒈☼︎

212 51 182
                                    

"Lagi dan lagi, don't judge book by it's cover. Karena setiap manusia pandai menggunakan topeng mereka masing-masing."

Masuk Ledi ke dalam kamar yang berisikan istri dan kedua anaknya. Tanpa menoleh pada ketiga pasang mata yang kini tengah menatapnya, Ledi bergegas membuka lemari.

Maju Liona, ia pelankan langkahnya kala ia telah berdiri lebih dekat dengan sang ayah. Bayangan saat Ledi menepuk bibir Lova hingga kontan mengeluarkan darah membuat Liona mengerjap takut.

Kembali ia dudukkan bokongnya di samping Caramel yang tengah menyuapi Lova. "Mau kulit ayamnya, Kak." Ia tunjuk kulit ayam goreng yang belum terpisah dari dagingnya.

Terbuka lebar mulut Liona. Sesuap nasi serta kulit ayam masuk ke mulutnya. Sesuai permintaan.

"Mel, selesai itu, beresin semua barang kamu," uja Ledi, terlalu tiba-tiba.

Bingung. Mengernyit tipis dahi Caramel, "Kenapa, Yah?"

Ledi keluarkan dua buah tas besar serta sebuah koper dari dalam lemari. Terdengar kasar seperti orang tak sabar.

"Kita cari tempat baru, tempat di mana kita bisa dihargai." Sibuk Ledi dengan segala pakaiannya, ia pindahkan dari lemari ke dalam tas.

Liona menatap sang kakak bingung, ia genggam tangan Lova, sebelah tangannya lagi terulur menarik ujung baju Caramel.

"Ayah kenapa, sih? Bunda sakit, Yah. Apa pernah bunda ninggalin Ayah saat Ayah dalam keadaan lagi nggak baik-baik aja?"

Caramel rasa, bukan hati bundanya yang sekeras batu, tapi hati ayahnya yang membeku. Begini kah cara Tuhan menunjukkan sebuah rasa yang tak bisa di jelaskan? Lova menderita. Caramel faham, Ledi tak lagi mau menerima orang baru. Membeku hatinya, agar tak seorangpun dapat menembus kebekuan itu.

"Kamu mau ikut Ayah atau Bunda?"

Pertanyaan paling menyakitkan yang hampir semua anak broken home takutkan. Akhirnya. Dua pilihan ditodong paksa pada Caramel.

"Mel, kamu mau ikut Ayah, atau Bunda kamu yang rela menjual diri demi hidup berkecukupan?" Sekali lagi. Ledi desak anaknya untuk memilih.

*****

"Dua bulan yang lalu, hati Bunda sakit sesakit-sakitnya saat Bunda harus menerima kenyataan bahwa anak gadis Bunda terpaksa harus kerja." Lova dengan mata berairnya.

"Waktu itu, sengaja Bunda bolehin. Bukan karena Bunda nggak sayang kamu, Mel. Fikir Bunda, nggak apa-apa sesekali kerja buat dapet pengalaman. Suapaya kamu tau, se-nggak enaknya hidup di rumah, lebih nggak enak lagi hidup di luar. Tapi, Bunda yang jahat ini justru membuat kamu merasakan rumah adalah neraka."

Berusaha Caramel atur dengan baik nafasnya agar tak meloloskan sebuah isakan. Tak sanggup ia tatap wajah lelah Bundanya.

"Selama kamu kerja, Bunda juga kerj-"

"Kerja apa, Bun?" Caramel menyela.

"Apa aja. Di pasar. Sekali dua kali Bunda coba jadi kuli panggul, tapi berakhir dengan punggung Bunda yang sakit-sakit."

Caramel jadi teringat saat ia dipulangkan lebih cepat dari sekolah. Saat itu ia melihat Lova baru saja membuka rumah, dengan banyak peluh di leher dan dahi Lova serta posisi Lova berbaring di lantai.

"Beberapa kali Bunda nebeng pulang sama bos Bunda, meski dalem mobil itu ada istrinya juga, namanya mobil nggak semua orang bisa melihat apa isi dalemnya. Membuat orang-orang di sekitar kita ngira kalo Bunda menjual diri demi mencukupi kebutuhan hidup."

I'm okay (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant