𝒊'𝒎 𝑪𝒂𝒓𝒂𝒎𝒆𝒍, 𝒏𝒐𝒕 𝑽𝒊𝒗𝒊☼︎

206 45 176
                                    

"Ayah, Ayah kapan pulang?" Caramel bertanya melalui sambungan telpon yang sudah terhubung.

"Kenapa? Uang jajan Amel udah habis?" Terdengar suara sendok dan gelas yang saling bergesekan di seberang sana, sepertinya Ledi tengah membuat kopi.

"Bukan gitu, setiap orang pasti pulang ke rumah. Jadi, selama seminggu ini Ayah pulang ke mana?"

Ayahnya tak bergeming. Caramel hembuskan nafas perlahan, sedih sekali rasanya. Setiap orang selalu memiliki rumah untuk berpulang, jika ayahnya tak pulang, apa mungkin ayahnya sudah menemukan tempat pulang yang baru?

"Apa Ayah sekarang udah punya seseorang yang Ayah jadiin tempat pulang sekalin kami?"

Terdengar helaan nafas berat. "Percaya sama Ayah, kamu dan Liona udah lebih dari cukup."

"Terus kenapa Ayah nggak pulang-pulang?"

"Ayah butuh waktu."

Caramel akhiri panggilan singkat di pagi hari itu. Ia harus lebih bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, setiap orang butuh waktu untuk menenangkan diri, mendesak sang ayah hanya akan mempersulit keadaan sang ayah.

Bergegas Caramel keluar dari kamarnya. Terlihat Liona yang sama dengan dirinya, sudah rapi dan siap berangkat ke sekolah.

Di antar hingga depan pekarangan rumah kedua anak tersebut oleh Lova. Setiap berangkat dan pulang sekolah Liona dan Caramel akan berangkat ke sekolah dengan menaiki angkot, begitupun dengan pulang. Namun, Caramel lebih memilih berjalan kaki saat pulang, agar lebih hemat tentunya.

*****


Caramel menyusuri jalan menuju perpustakaan dengan tangan kanan menggenggam sebuah buku serta dompet pena, tangan kiri menggenggam sebungkus roti serta sebotol air minum.

Masuk ia ke dalam ruang perpustakaan, hawa dingin menyeruak, sepi tak berpenghuni kecuali seorang guru yang memang tugasnya mengurus segala macam buku dan duduk menunggu perpustakaan.

Caramel sodorkan sebuah kartu berwarna biru, kartu perpustakaan. Setiap siswa di sekolah ini wajib memiliki kartu biru agar dapat memasuki ruangan berisi berbagai macam buku itu.

Setelah guru tersebut mencatat nama, kelas, serta tanggal dan hari, Caramel di perbolehkan masuk.

Duduk ia di paling belakang, dekat dengan jendela yang terbuka. Sebenarnya Caramel sama dengan kebanyakan murid di sini, paling anti masuk perpustakaan. Tapi, karena tugas seni budaya yang mengharuskan setiap siswa membaca buku guna mencari referensi, Caramel fikir ada baiknya ia ke perpus sebelum yang lain berfikiran yang sama.

Caramel menarik sembarang buku, tak pilih judul. Duduk ia dengan wajah menengadah menatap lembaran pertama yang dipenuhi dengan rangkaian kata.

Sepi sekali. Ia keluarkan sebuah earphone serta ponsel dari saku rok abu-abunya. Tak lama, alunan musik memenuhi gendang telinga Caramel. Sudah kepalang memegang ponsel, rasanya tidak afdol jika tak membuka media sosial sekalian.

Mata Caramel membulat, terkejut dirinya saat membuka status whatsapp Vivi yang menunjukkan sebuah foto dua tangan yang saling bertaut, dengan caption 'healing bareng ayankkk♡'

"Ih! Pacaran mulu kerjaannya," cibir Caramel menatap kesal status Vivi.

Masalahnya, tadi Vivi mengabarkan bahwa dirinya sedang tidak enak badan. Ternyata hanya alasan saja.

Mulai Caramel buka-buka buku yang tadi ia ambil, tangannya sesekali menjejal mulutnya dengan roti yang tadi ia bawa.

"Tinggalkan semua di sini..."

Gadis itu mengikuti alunan musik yang sedang ia dengar dengan mata terpejam, membayangkan betapa tambah merdunya lagu tak ingin usai bila ia bisa berduet dengan Keisya Levronka.

Caramel terperanjat. Kunyahannya terhenti, matanya seketika terbuka kembali. Earphone sebelah kirinya di lepas oleh seseorang. "Di mana?"

"Hah?" Caramel melongo. "Di sini."

Bodoh. Malah Caramel lontarkan jawaban begitu.

"Kamu baca buku atau denger lagu?"

Sejak kapan ada manusia yang duduk di sebelah kursi Caramel? Sejak kapan? Cepat beri tahu!!

Bingung. Ingatan Caramel langsung tertuju pada kejadian kemarin siang.

"Vivi?"

Baik Caramel maupun Vivi sama-sama terbelalak kaget, tak menyangka surat salah alamat itu di tenteng oleh orang asing.

Cepat-cepat Vivi tarik pergelangan tangan Caramel, Caramel sendiri pasrah saja, Vivi menariknya hingga melewati Fajar begitu saja. Keduanya berjalan cepat dengan tergesa.

"Hei!"

"Vivi!"

"Kok kabur, sih? Ini surat cinta beneran buat saya?" Fajar bertanya dengan suara agak berteriak karena Vivi dan Caramel yang semakin jauh. Terlihat konyol sekali.

Menghilang dua gadis itu di perempatan. Lagi-lagi mengundang tawa serta gelengan kepala bagi Fajar, benar-benar bocah labil.

Malu. Caramel lirik Fajar yang masih menatapnya seolah menantikan jawaban atas pertanyaannya tadi.

"Baca buku," jawab Caramel. Tapi earphonenya juga mengeluarkan suara musik. "Sama dengerin musik," sambungnya. Mengangguk, Fajar kembali menghadap buku, tangannya meraih kembali pena yang sempat ia letakkan.

Ya tuhan, Caramel seperti orang salah kaprah, membaca buku lah, mendengarkan musik lah, makan roti lah. Haduh! Turun pasti imagenya di depan Fajar. Ia sudahi acara mendengarkan musik. Gadis itu melanjutkan bacaannya yang tadi sempat terbengkalai.

"Nama kamu Caramel?" Entah tau dari mana Fajar, mungkin dari nama yang tertera di buku seni budayanya, atau dari name tag.

Baguslah, Caramel tak perlu susah-susah mengklarifikasi bahwa namanya bukan Vivi. "Iya."

"Terus Vivi?"

Caramel jadi tak enak hati. Bagaimanapun, ini juga salahnya yang tak memperhatikan Vivi saat berbicara. Caramel tarik nafas dalam-dalam.

"Maaf ya, Kak. Sebenernya surat itu punya temen aku, nah dia nyuruh aku ngasih ke selingkuhan dia, namanya Fajar juga." Enteng Caramel berujar. Mimik Caramel berubah cemas, bukannya apa, hanya cemas karena kini ia berada di situasi yang menyebalkan.

Sedangkan Fajar tiba-tiba terturun rahangnya. Jadi... "Salah alamat?" terkanya.

Bingung harus merespon apa, akhirnya Caramel menyengir tak enak, ingin tertawa pula saat Fajar menerka tepat sasaran.

Fajar tergelak, fakta yang ada, raut Caramel, perpaduan unik yang mengundang tawa. Bergejolak punggung lelaki itu, kian kencang ketawanya kala teringat isi surat salah alamat tersebut. Membuat Caramel ikut tertawa, terseret dalam kelucuan kala teringat kemarin Fajar meneriaki ia dengan nama Vivi. Terbahak-bahak kedua orang itu dalam ruangan perpustakaan.

"Seriusan?" tanya Fajar memastikan saat tawanya mulai mereda. Menatap wajah merah Caramel yang masih terbahak-bahak, dengan mata yang kian menyipit seperti bulan sabit.

"Iya!" Caramel dengan antusiasnya yang melambung tinggi. "Pasti Kakak udah kegeeran, ya?" Terbahak lagi Caramel, humornya anjlok seketika membayangkan Fajar yang mungkin sudah blushing membaca surat cinta dari Vivi.

Terkekeh ringan Fajar menanggapi pertanyaan Caramel.

"Maafin Vivi, ya, Kak? Dia memang orangnya suka pacaran."

Menggeleng singkat Fajar. Masih dengan sisa-sisa tawa yang belum reda sepenuhnya.

"Nggak apa-apa. Aku Fajar," katanya sembari menyodorkan tangan kanannya untuk di jabat oleh Caramel. Tak lupa ia ganti kata 'saya' menjadi kata 'aku' supaya tak kaku.

Tersenyum Caramel menatap sodoran tangan Fajar. Ia raih pula telapak tangan Fajar hingga keduanya kini berjabatan.

"Aku Caramel, bukan Vivi."

Tbc!

I'm okay (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang