23. | Wanna talk about it ?

2 0 0
                                    

"Makasih Yan," ucapku pada Yana yang menyajikan secangkir kopi pahit favoritku. Dia tersenyum dan balik ke belakang counter. Cafe ini miliknya.
Kadang aku nongkrong di sini sekedar ngobrol ringan dengannya kalau Yana tidak begitu sibuk. Hari ini lagi ramai cafenya, jadi aku duduk saja menikmati tetes hujan lewat kaca jendela ini.

Justin, kamu belum pernah ke sini, apalagi bertemu sahabatku ini...anganku melayang.

Kurenungi apa saja yang sudah kulewati bersama Justin. Tentang pribadinya yang kukenali hasil analisa yang 100% akurat karena pengalaman bertahun-tahun mengenali murid dengan beragam karakter. Seorang perfeksionis yang menyukai statistik dan fakta. Dan mengabaikan rasa, romansa, apalagi cinta.

Kelak kau akan tunduk takluk pada seorang perempuan berlabel istri, yang akan mengajarimu menghargai rasa, menikmati romansa, dan memupuk cinta.

Hmm.. aku menggigit bibir. Tiba-tiba saja tumbuh rasa cemburuku pada perempuan itu, yang bahkan tidak kuketahui eksistensinya. Bahkan mungkin belum hadir sama sekali dalam lintasan waktu milik Justin.
Dan aku sudah mencemburuinya. Betapa posesifnya aku.

Kuhela napas panjang, mencoba mengenyahkan rasa tak nyaman ini dan juga prasangka yang bukan-bukan. Justin adalah dirinya sendiri. Seorang lelaki yang tak mungkin kusetir ibarat mobil. Dia punya irama sendiri. Dia punya cara kerja sendiri. Perempuan yang terpilih jadi pendampingnya kelak adalah pilihan terbaik yang pernah dibuat seumur hidupnya.

Kuhirup kopiku, pahit. Tanpa gula sama sekali, hanya aroma dan hangatnya yang memelukku.
Kau ada di mana, Justin ?

Ini hari Sabtu pada pekan berikutnya. Belakangan Justin bilang kalau dia dan timnya lagi sibuk latihan. Mau ada pertandingan besar katanya. Kalau sudah begitu, lupakan saja chat atau telepon darinya. Mana mungkin kan lagi main bola tapi sibuk dengan hape juga..

Dan hari Minggu pun sama. Tetap tak ada kabar. Separuh hatiku merasa dongkol. Jelas aku posesif karena Justin sendiri yang kemarin proklamasi. Kalo udah begitu, kan pastinya aku ingin diberi porsi perhatian yang lebih.

Aku bimbang untuk ambil keputusan apakah akan mengirimnya chat duluan atau meneleponnya duluan. Telepon sih a big no no buatku. Kan ga enak di Justinnya kalo terima teleponku saat dia sedang bersama teman-temannya. Menurutku, dia bisa malu. Ah, aku minder sekali ya.

Inferiority complex emang sudah jadi cap permanen bagiku. Mungkin karena latar belakang hidupku ini. Sulit bagiku untuk merasa percaya diri karena memang sungguh aku tak punya keluarga dalam arti sesungguhnya yang bisa kuharapkan dukungan materi maupun moril.

Senin siang saat aku pulang sekolah, Justin sudah menunggu di teras rumahku. Mukanya kusut. Senyum pun dipaksakan saat menyapaku.

"Masuk yuk. " Ajakku. Aku membuka pintu, melepas sepatu, dan Justin mengikuti masuk. Dia lalu membaringkan diri di sofa. Kuhidupkan kipas angin.

"Udah makan ?" Tanyaku.
Dia menggeleng. Baiklah. Aku punya stok apa di kulkas ya ? Rasanya udah lelah badan ini tapi mesti masak.

Telur dadar dan sayur bening timun dalam waktu singkat sudah tersedia. Kususun piring, nasi, dan lauk untuk kami berdua.

"Justin, ayo makan." Panggilku. Tak lama muncullah Justin. Dia lalu duduk. Aku yang sudah duduk duluan merasa perlu bertanya.

"Kamu kenapa, sayang ? Kok mukanya jutek gitu ?

Justin menghela napas dan menatapku.

" Kemarin masuk final, tapi runner up. " Jawabnya.

"Gapapa lah... Yang penting kan udah berusaha. Kamu kapten ? Tanyaku ?

Ia mengangguk. Pantas kesal. Tapi sungguh kekesalan itu menular. Bikin aku badmood juga.

"Makan dulu yuk. Nanti dibicarakan lagi." Ajakku.

Dan seperti biasa kami makan dalam keheningan dan ritme yang cepat.

Selesai makan, aku membuat teh hangat satu ceret kecil. Kuletakkan di ruang tamu, Justin pun sudah kembali duduk di sofa dengan hape dalam genggaman. Aku memilih berganti baju dulu. Kupakai kaus bergambar kepala singa dan celana pendek selutut.

"Wanna talk about it ? " Tawarku untuk menjadi ember curhatnya.

Dia menatapku. Tak lama meluncurlah segala unek-uneknya. Aku mendengarkan dengan seksama walau cuma 10 persen saja yang aku mengerti istilah-istilahnya. Aku enggak ngerti bola sama sekali. Garis besar ceritanya aku paham. Jadi aku berusaha merespon dengan mimik wajah saja.

"Jadi kek gitulah ceritanya." Katanya sambil menghela napas.

" Oooh gitu.. gapapa lah... Kan udah berlalu juga. Jadi runner up juga udah bagus banget itu. Kan masuk final aja udah perjuangan bukan main. Apalagi kamu kapten. Tanggung jawab yang besar buat tetap kompak." Kataku berusaha membesarkan hatinya.

" Boleh enggak baring di pangkuanmu ? " Tanyaku. Aku sungguh-sungguh lelah. Ingin sekali merem walau cuma 15 menit aja. Tambahan lagi ntar sore aku harus ngajar les di panti.

" Sini... Kamu pasti capek. Nanti sore mau ngajar les juga kan ? " Tanya Justin. Aku mengangguk lalu membaringkan diri di pangkuannya. Angin sepoi yang bertiup dari kipas angin dan belaian jemarinya yang lembut memanjakan di kepalaku membuatku terlelap.

Sebuah kecupan di pipiku membangunkan aku.

"Bangun Via, udah azan." Suara lirih nan lembut itu membuatku membuka mata.
Memang sudah masuk waktu Ashar. Sudah waktunya sholat dan bersiap-siap pergi mengajar les.

"Kamu siap-siap sana. Aku anterin." Kata Justin.

Demikianlah, sore itu aku sampai di panti yang cuma di gang sebelah dengan dibonceng Justin naik motor KLXnya. Aneh, malu, dan senang campur jadi satu. Kami bertukar kata "Bye." Tanpa cium atau peluk.. Cari mati apa ? Bisa disidang aku sama bu Raudah. Disuruh kawin cepat-cepat lalu dia shock karena Justin beda agama juga beda usia. Hahahaha.. aku tertawa dalam hati.

"Aku tunggu di Indomaret depan." Justin berbisik dekat di telingaku. Darahku berdesir. Rasanya hangat. Aku tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia pergi dan aku memasuki halaman panti dengan senyum riang.

Kuamati anak-anak panti, mereka tak bereaksi macam-macam seperti menggodaku atau bergurau. Bu Raudah dan suaminya pun tenang-tenang saja. Mungkin mereka tidak melihat kedatanganku tadi. Ya memang, kedatanganku setiap sore untuk memberi les adalah hal yang biasa. Aku bersyukur dalam hati, mereka tak mengetahui aku diantar Justin tadi.

Jam pulang menjadi terasa lama. Berulang kali aku melirik jam dinding, hingga tiba juga saatku mengakhiri kelas. Bu Raudah memintaku makan malam bersama, tapi aku menolak dengan halus. Kubilang, aku ada koreksian menumpuk.

Akhirnya dengan langkah riang bercampur gugup aku berjalan. Saat mendekati minimarket itu aku semakin gugup. Ah, betapa cinta itu mengubah ritme hidup dan langit pun menjadi pink !

Di sana, di salah satu kursi teras yang terlindung dari matahari sore, Justin duduk sambil memegang hape. Perlahan kudekati dan menarik kursi di hadapannya. Justin mengangkat kepala dan tersenyum menatapku.

"Udah ?" Tanyanya. Aku mengangguk. Justin mendorong satu botol teh kemasan ke arahku. Dinginnya sudah berkurang. Tapi masih terasa segar. Sebenarnya aku lebih suka air putih saja. Minuman manis bukanlah favoritku.

"Justin, ntar makan malam di rumahku ya ?" Pintaku.

"Kenapa ?" Tanya Justin.

"Aku mau bicarakan sesuatu." Jawabku.

"Nggak makan di luar aja ?" Tawarnya.

"Nggak, Justin. Belum siap. Kasian kamunya, nanti malu."

"Malu apa ?"

"Nanti dikira kencan sama ibu-ibu."

" Kan emang benar kamu ibu-ibu."

"Justin, ah ! Jujur amat !" Aku misuh-misuh.

Justin tertawa. Aku juga. Becandanya jelek sih Justin.

"Jujur nih, kamu ga ada potongan ibu-ibu. Adanya kakak cantik yang menggemaskan." Kata Justin.

"Terima kasih. Ga ada receh !" Kataku. Justin tersenyum sambil berdiri dan menggaet tanganku.

"Yuk, pulang." Ajaknya. Seolah kami akan pulang ke rumah kami berdua.

Dan aku bisa apa selain mengikutinya.

JustiviaWhere stories live. Discover now