20.| FYI

7 0 0
                                    

Tak ada hal serius terjadi malam itu walau hujan turun sangat lebat di luar sana. Kami hanya bergulingan di ranjang sampai akhirnya tertawa-tawa. Kecanggungan itu sudah lenyap berganti kedekatan yang hangat dan menentramkan. Sepersekian persen isi hatiku tetap bertanya, "Ini semu kan ?"
Betapa aku sulit diyakinkan bahkan oleh logikaku sendiri.

Saat hujan reda sekitar pukul 10 malam, Justin pun pamit pulang. Dia benar-benar tak ingin cari gara-gara dengan pak erte. Yang pastinya akan merembet pada bu Raudah, ibuku di panti.

Malam itu aku tak dapat tidur. Senyum enggan lepas dari bibirku. Jemariku tak henti mengelus lembut sprei marun ini.

"He was here." Bisikku sendiri. Ah, rasanya aku sudah jadi gila. Menuruti nafsu dan segala keinginan. Walau aku dan dia tahu, di depan sana masih gelap gulita.

Esok paginya adalah hari minggu tercerah dalam periode 10 tahun terakhir. Entah apa yang menyemangati aku hingga semua pekerjaan rumah cepat terselesaikan dan menyisakan aku yang duduk termenung menatap cermin rias di seberang ranjangku. Wajah yang terlalu ceria. Dari mana pipi bersemu merah itu ? Aku kan tak pakai blush on tadi. Dari mana bibir yang dihiasi senyum malu-malu itu ?
Aku hanya memoles pelembab bibir tanpa lipstik, tapi entah kenapa bisa terlihat cerah.

Ingin sih rasanya Justin datang lagi. Tapi sepertinya tak mungkin, ini hari Minggu. Hari dia beribadah. Juga mungkin hari kumpul bersama keluarga. Atau hari dia main futsal. Aku tak tahu. Aku tak pernah diberitahu soal jadwal kegiatannya.

Sedikit sekali yang aku ketahui tentang dia. Aku bahkan tak tahu dimana persisnya dia tinggal. Eh, bagaimana kalau dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar seperti yang pernah terjadi pada hubunganku dulu, yang berakhir 10 tahun lalu.

Aku menggigit bibir. Ya mau gimana lagi... Kalau mesti merasakan perih lagi, ya aku bisa apa selain menerima ?

Kulirik jam di dinding. Sudah jam 10 pagi. Mau makan aku masih malas walaupun masakan sudah siap dari tadi. Jemuran pun sudah tergantung rapi di teras belakang. Lantai sudah disapu dan pel hingga bersih. Aku terdiam sambil berbaring. Memejamkan mata hingga terlelap.

Lelah juga merasakan emosi yang bermain seperti rollercoaster ini. Aku lepaskan diriku hanyut pada rasa kantuk yang mulai bergelayut.

Aku terbangun saat aku merasakan sebuah belaian pada rambutku. Terkejut itu pasti. Selama ini tak pernah ada hal semacam itu dalam hidupku.

Ada Justin. Dia wangi. Parfumnya enak. Bajunya batik dan celananya kain warna hitam. Dia formal sekali. Seperti dari undangan. Senyumnya membuatku malu. Aku ketiduran dalam balutan daster rumah.

"Kamu nggak kunci pintu depan. Jadi aku masuk. Aku tadi ngetuk dulu tapi nggak dijawab. Eh, taunya lagi tidur." Kata Justin menjelaskan.

"Kan ngantuk." Balasku singkat. Aku sedang suka memandanginya. Dia ganteng dan baunya enak.

"Jam 12 lewat !" Kataku dan bergegas duduk. Justin tertawa melihat kepanikanku.

"Kenapa sih ? Kamu enggak ninggalin kompor nyala kan ?" Tanyanya.

Aku langsung loncat ke dapur. Khawatir kalau aku lupa mematikan kompor habis masak tadi. Ah, ternyata semua aman. Aku mengelus dada.

Justin yang mengikuti aku tiba-tiba memelukku dari belakang. Dengan gemas dia mencium pipiku.

Aku deg-degan dong...

"Apa ?" Tanyaku.

"Kangen." Jawabnya singkat. Masa iya udah kangen padahal baru semalam ketemu.

Aku berbalik hingga kami berhadapan. Ah, ya ampun! Jantungku seperti mau copot. Kenapa bisa Justin terlihat begitu tampan ? Aku merinding.

"Kamu cantik banget." Bisik Justin. Ah, bohong ini pasti. Mana ada aku cantik. Apalagi di rumah. Serba polosan.

JustiviaOnde histórias criam vida. Descubra agora