4.| Hari Kedua

6 0 0
                                    

Pagi menjelang, dan seperti biasa aku sudah tiba di sekolah saat jarum jam menunjukkan angka tujuh tepat. Aku menyiapkan materi tulisan tegak bersambung untuk pengayaan materi pelajaran bahasa Indonesia sambil menyetel playlist di hapeku dengan volume agak keras. Cukup untuk mengisi kekosongan kelas.

Saat aku membuat enam garis lurus di papan tulis, aku mendapati tinta spidol hampir habis. Jadi aku berhenti dulu untuk mengisi ulang tintanya. Aku punya cara praktis tersendiri untuk mengisi ulang tinta spidol tanpa resiko tumpah dan mengotori sekeliling. Cara ini kupelajari saat memperhatikan mbak-mbak front office mengisi ulang tinta. Waktu itu aku masih berstatus dosen di sebuah akademi bahasa asing.

Nanti kapan-kapan kubuatkan video tutorialnya di tik tok. Kuraih botol tinta, mengisi satu batang spidol lalu beranjak berdiri dan mulai menuliskan satu peribahasa yang berbunyi ," Seperti mencari jarum dalam jerami. " Perlahan aku menggoreskan tinta dalam bentuk tulisan tegak bersambung. Aku ingin hasilnya serapi mungkin sebelum aku memotretnya dan mengirimnya sebagai tugas di grup wa paguyuban orangtua murid kelasku.

Setengah jalan proses penulisan, aku merasakan ada suara langkah kaki di koridor depan kelasku lalu ada seseorang di ambang pintu. Aku melirik, dan ada Justin di sana. Berbalut sweater tipis warna abu-abu dan jins biru. Senyum menghiasi bibir ditambah lagi mata yang bersinar cerah.

"Pagi bu," sapanya. Aku membalas senyumannya dan berkata, " Masuk."

Lalu dia melangkah masuk. Meletakkan ransel hitamnya di atas sebuah kursi dari deretan terdekat dengan pintu. Aku memang meletakkan barang-barangku di meja paling depan di deret kedua dari pintu. Aku lebih suka bekerja di meja siswa daripada di mejaku sendiri yang ada di pojok depan dekat jendela.

"Duduklah." Ujarku menyilakan dia yang masih saja bersikap sungkan. Aku duduk juga demi menemaninya dan ingin tahu apa keperluannya. Dia duduk di seberangku.

"Bisa isi tinta ?" Tanyaku. Kupikir aku bisa menawar waktu dengan menyuruhnya isi tinta sementara aku menyelesaikan tulisanku di papan tulis itu.

Dia tersenyum gugup dan bilang, " Terakhir isi tinta sih waktu SMP." Dia lalu meraih sebatang spidol. Aku mendorong botol tinta yang tutupnya belum kurapatkan tadi ke arahnya. Kulihat dia sepertinya tidak tahu caranya. Jadi aku berinisiatif mengambil kembali spidol itu untuk aku kerjakan sendiri.

"Sini, saya aja." Kataku. Lalu... Oh my God ! Tangan kami bersentuhan dan kurasakan tangannya sungguh dingin. Aku terkesiap sedikit dan langsung berpura-pura sibuk mengisi tinta. Lalu aku berdiri dan bermaksud menyelesaikan tulisan yang tertunda tadi.

Belum juga selesai pada kata "jarum", kudengar dia bicara.

" Bu, mau curhat."

Degg...aku yang langsung deg-degan dan ingin kabur sejauh-jauhnya. Entah kenapa aku agak ragu untuk berakrab ria dengan Justin. Semacam ada tameng pelindung yang otomatis ada menutupi perasaanku.

Tapi aku bisa apa ? Dengan papan tulis di depanku dan dia di belakangku, aku tak punya banyak pilihan selain duduk kembali dan mendengar curhatnya.

"Ada masalah apa ?" Tanyaku.

"Gini bu, saya kan udah semester 7. Mata kuliah juga sudah banyak yang habis. Jadi setelah KKN ini saya mau persiapan ngajuin judul untuk skripsi."

" Terus...masalahnya apa ? Kamu kerja ?" Tanyaku. Dia menggeleng.

" Masalah uang ?" Tanyaku lagi. Dia menggeleng.

" Pacar ?"

Dia menggeleng agak kuat dan bilang, " Saya nggak ada pacar."

Hmm...
Anganku melayang.

" Lalu apa ?"

" Saya nggak pede, bu." Jawabnya yang seketika membuatku ingin jatuh memingsankan diri ke lantai. Sereceh itu alasannya ?

Aku tersenyum.
"Kenapa kok enggak pede ?"

"Kata kakak saya sih, saya harus keluar dari zona nyaman baru bisa pede."

Oh..oh..oh..such a baby...
Aku bisa apa ? Anak ini ternyata manja banget.

" Hmm..kalo saya sih, buat apa keluar dari zona nyaman kalo kita susah payah menciptakan zona nyaman itu. Justru kita harus memanfaatkannya untuk mencapai apa yang kita inginkan."

Dia menyimak dalam diam. Kuperhatikan betapa rambutnya kering dan seperti belum kena sisir.
Tapi wajahnya begitu segar.
Apa dia belum mandi ? Begitu saja terbersit pikiran itu.

"Saya pernah baca sebuah kalimat pertanyaan kayak gini, 'bagaimana kamu melihat hidupmu lima tahun ke depan ?' ...kalo saya bilang sih, sama aja, makan juga masih di depan TV."

Justin tertawa kecil.

"Yang berbeda adalah bagaimana kamu mencapai apa yang kamu inginkan lima tahun ke depan itu. Ada target. Ada rencana. Ada keinginan. Misalnya kamu mau pekerjaan yang kayak apa, mau rumah yang kayak apa, istri dan anak-anak yang seperti apa. Itu semua kan keinginan. Nggak akan sampai ke sana kalau kamu enggak mulai bergerak. Emangnya kamu mau minta ibumu yang bawa kamu ke sana ? "

Justin menggeleng.

" Ya kamu harus berusaha dong. Kenapa harus berusaha ? Ya kan karena kamu cowok, kamu bakal jadi pemimpin yang mewujudkan semua itu. Salahmu sendiri kan, kenapa jadi cowok ? "

Justin senyum lebar hampir tertawa.

" Tapi rasanya saya belum siap, bu."

" Sebenarnya kita enggak pernah siap untuk segala sesuatu. Yang bisa kita lakukan hanya menghadapinya. Seperti kehujanan. Pilihannya kan antara berteduh atau jalan terus. Kalau jalan terus dan kamu ga pakai mantel, resikonya basah, kan ? Kita ga pernah tau kapan hujan atau masalah itu datang, kita ga pernah siap. Yang bisa kita lakukan hanya menghadapinya."

Dia manggut-manggut.
Lalu matanya terarah ke luar pintu.

" Kita mau difoto, bu. " Katanya. Aku menoleh ke luar pintu. Di situ ada seorang cowok bertubuh tinggi besar dan kulit agak gelap. Rambutnya tersisir sangat rapi dengan pemakaian styling gel secara maksimal. Dia tersenyum pada kami dan mengarahkan kamera hapenya pada kami.

Aku tersenyum padanya. Kemudian aku dan Justin tahan pose sejenak sebelum akhirnya temannya pergi.

"Siapa namanya tadi tu ? " Tanyaku.

"Arief, bu."

" Lanjut ?" Tanyaku. Justin mengangguk.

" Kita juga sebaiknya belajar dari apa yang sudah kita lakukan. Kemarin katamu ada ikut kejuaraan nasional ? Olahraga apa tuh ?"

" Futsal."

" Menang ?"

" Enggak." Justin tersenyum lebar seolah kekalahan itu terasa lucu.

" Biarpun kalah, kamu kan tetap udah lebih maju daripada teman-teman kamu yang lain. Kamu udah sampai di titik itu, yang lain belum. Begitu juga dengan pengalaman. Pasti ada yang bisa dipelajari dari kekalahan itu kan ?"

Justin menggangguk lagi.

Kemudian matanya terarah ke luar pintu lagi. Rupanya ada lagi temannya. Aku menoleh dan mendapati ada beberapa temannya di situ. Cewek semua.

" Masuklah. Kita kenalan dulu." Undangku.
Lalu aku melihat nama yang ada di nametag mereka. Ada Dinda, Fil, Tini, Selly.

" Kok kamu enggak pakai nametag ?" Tanyaku pada Justin.

" Ada bu, di baju dalam sweater ini." Jawabnya.

Tak lama ada bu Rut yang menghampiri kami semua dan menyampaikan kalau kami semua akan berfoto bersama di lapangan.

Kerumunan pun bubar dan mereka pamit keluar duluan.

Aku menghela napas lega entah untuk yang keberapa kalinya.

Lega bila harus jauh dari Justin.

Sesak bila harus berdekatan dengannya.

Dan hari itu kami berfoto bersama.

Gayaku dan gaya Justin ternyata sama.

"Ga apa bu, biar kompak." Gitu komentarnya saat kukirim foto tersebut yang diambil dengan kamera hapeku selain dengan kamera hape milik kelompok mereka. Kan tadi kukomentari, "kenapa gaya kita bisa sama begitu." Pakai dua jari penanda huruf "v" yang berarti victory.

Ah, semua kebetulan ini membuatku gigit-gigit bibir untuk meredakan rasa merinding yang tiba-tiba hadir.

JustiviaWhere stories live. Discover now