12. |Terima Kasih Buat Waktu Satu Bulannya

10 0 0
                                    

Kata orang, di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Tiga hari lagi perpisahan itu akan diselenggarakan. Tapi mereka tidak datang ke sekolah pagi ini. Katanya siang nanti, sekalian mau buat video. Ada perlombaan video terbaik antar kelompok untuk promosi protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penyebaran virus Covid-19.

Aku dapatkan informasi ini dari Dinda, yang belakangan jadi teman perang sticker Whatsapp...hahahaha...Kami jadi akrab gara-gara aku pesan lipbalm ke dia.

Jadi hari ini aku santai-santai aja di kelasku. Saat lapar, ya keluar beli mi tiau goreng daging sapi kesukaanku. Bungkus dan makan di kelasku. Kan malu juga, beli sebungkus, ga cukup untuk bagi-bagi sama yang lain. Saat kuparkirkan motor, kujumpai Arief juga baru datang.

"Katanya siang baru datang.." kataku menyapanya.

"Iya nih ma'am. Saya dipanggil sama kepala sekolah untuk urusan cat lapangan." Sahutnya.

" Eh, bukannya kemaren per telepon aja udah cukup ? " Protesku.

" Iya sih bu, tapi bapak kepsek maunya begitu bu. Ya saya datanglah." Begitu jawabnya.

" Okay. Saya ke kelas dulu ya." Pamitku.

" Silakan bu." Sahutnya.

Sambil melangkah aku berpikir, mungkin dia mau diberi uang oleh kepsek untuk beli cat. Atau apa, aku males mikirnya. Yang penting, aku mau makan dulu.

Di mejaku, di kelas yang minus murid-murid, aku membuka bungkusan mi itu, membuka bungkus plastik sumpitnya, membelah mi menjadi dua porsi, ini kulakukan karena aku takut tak mampu menghabiskan sementara sudah kuaduk dengan perasan jeruk, sambal cair, dan kecap.

Mmmm....kesukaanku ini emang enak sekali. Sesuap demi sesuap masuk mulutku dengan memakai sumpit. Aku memang selalu pakai sumpit kalau makan masakan cina seperti mi tiau goreng, bihun goreng, bakso, juga chai kue atau biasa disebut choi pan. Kebiasaan pakai sumpit ini sudah kupelajari sejak kelas enam sekolah dasar, dari majalah
yang menyertakan artikel tentang penggunaan sumpit.

Seperti yang kuperkirakan, aku sudah kenyang sebelum bisa menghabiskan setengah bagian berikutnya. Ya, sudahlah, kutelepon saja si Arief. Barangkali dia mau bantu menghabiskan. Maka datanglah Arief dan dia mau aja membantu menghabiskan mi tiau itu.
Sambil makan, kami cerita-cerita. Termasuk rencananya untuk melamar di salah satu instansi pemerintah. Dia tanya -tanya juga sih bagaimana menjalani wawancara dalam bahasa Inggris karena dia tau latar belakang pendidikanku yang emang bahasa Inggris. Semampu yang aku bisa, aku memberi ia saran. Bahkan kutawari dia untuk kuajari presentasi besok. Dia sih mau aja. Bahkan kutawari dia untuk mengajak teman-temannya. Katanya sih tanya mereka dulu. Aku ga berharap banyak sih, melihat ada jarak terbentang yang entah kenapa tercipta belakangan ini antara aku dan mereka.

****
Dan esoknya, firasatku emang benar. Dari aku datang hingga jam pulang mendekat, tak ada satupun dari mereka yang datang ke kelasku. Jadi, aku menghabiskan waktu seperti biasanya, memberi tugas daring, mengoreksi tugas yang sudah dikumpulkan, dan menyusun soal untuk tugas-tugas selanjutnya.

Bila aku letih, aku santai sejenak dengan memejamkan mata dan menumpangkan kepala di lenganku di atas meja.

Kubilang pada diriku sendiri, kuatkan dirimu...jangan merasa kecewa hanya karena hal sekecil ini...banyak hal baik yang masih dan belum bisa kau lakukan, jadi, semangatlah !

Lalu aku pulang.
Aku merasa lemah sekali. Hanya bisa berganti pakaian, sholat, dan duduk termenung di tepi ranjang ku. Kamar yang dingin ber-AC ini tentu lebih nyaman daripada udara panas di luar sana. Tapi aku tak merasa nyaman. Aku merasa resah.

Apa ini ? Perasaan aneh yang menyakitkan. Aku ingin sekali pergi meninggalkan suasana yang menyesakkan ini. Tanpa kusadari aku tertidur.

Menjelang malam, kurasakan semakin tak enak rasa badanku. Sepertinya pusing dan badanku panas. Masa aku demam sih ? Perasaan aku tak ada berpanas-panas di bawah sinar matahari terlalu lama, minum es, atau terkena hujan.

Jadi, setelah makan malam, sholat Isya, aku segera minum obat pereda nyeri demam, mematikan lampu, dan berdiam di ranjangku.

Esok paginya tenggorokan terasa nyeri, dan batuk pun mulai datang walau pusingnya belum berkurang. Aku menyerah saja. Kuketik permohonan izin tidak masuk kerja dan mengirimnya via WA.

Seharian aku hanya bolak-balik seputar rumahku tanpa niat menyentuh hape atau laptop sama sekali. Aku cuma pingin minum air hangat dan duduk diam melamunkan nasibku. Saking malasnya masak, aku cuma membuat mi rebus pakai sawi dan telur. Padahal aku tau, itu bakal bikin naik panas dalamku. Tapi gimana, aku ga selera makan sama sekali. Untung saja masih ada cabe rawit untuk membangkitkan rasa.

Dalam kebimbangan, aku pun memutuskan untuk tidak usah masuk saja esok harinya. Hari perpisahan dengan mereka. Aku ga akan sanggup bertemu mereka apalagi Justin. Mengingatnya saja aku langsung mual. Segala macam rasa campur aduk dalam hatiku. Yang sangat kukenali adalah rasa kecewa dan perih seperti habis dicubit.

****
Demikianlah. Aku benar-benar tak ingin masuk hari ini. Demamku sudah turun, hanya batuk yang masih tersisa. Nafsu makanku masih belum kembali. Aku bertahan hanya makan nasi dan abon saja.

Malamnya ada pesan WA masuk. Dari Justin.
Isinya...

"Selamat malam bu, em. Maaf kalau ga bisa ucapin salam perpisahan langsung tadi di sekolah langsung ke ibu nya. Saya ijin pamit bu. Terimakasih buat waktu sebulan nya telah membimbing saya dan teman teman.".....

Kalimat-kalimat selanjutnya buram. Tak mampu kubaca karena airmata sudah mengalir deras.

Aku menyerah...
Aku mengalah...



JustiviaWhere stories live. Discover now