13. | Mudah Saja

4 0 0
                                    

Yakin kalau setelah acara perpisahan itu, kami tak ketemu lagi ? Kalau ketemu gimana ? Ya pahitlah.

Mereka memang masih datang lagi ke sekolah untuk menyelesaikan beberapa proyek, di antaranya membuat video untuk kompetisi di kampus mereka. Jadi, beberapa kali aku mesti ngelihat dia, papasan sama dia, dan memaksakan diri beramah tamah dengan mereka semua. Padahal aku lagi suntuk banget, males banget, bete banget. Kalo bisa milih sih, lebih baik aku work from home aja. Tapi, apa daya, programnya sekarang mesti ngantor tiap hari.

Suatu siang mereka memintaku untuk foto bareng, katanya buat kenang-kenangan. Sialnya, di antara 3 cowok itu, cuma Justin saja yang hadir. Mana fotonya satu-satu pula. Aku merasa sangat enggak nyaman. Pas giliran foto sama dia, aku rasanya mau kabur aja entah kemana, tapi malah dipaksa senyum.
Akhirnya kelar juga sesi foto dan mereka pamit kumpul di kelas lain. Aku melanjutkan kegiatan dengan sholat Zuhur karena sudah azan dari tadi.

Selesai sholat, aku bersiap-siap pulang ketika hapeku berdering, dari Justin. Huh, padahal aku lagi pakai kaus kaki. Rasanya pingin kusambit dia pakai kaus kaki bau.

"Halo.." Sambutku.

"Halo. Bu, saya minta tolong boleh ?"

"Tolong apa ?"

"Tolong ibu lihat di meja tempat tadi saya duduk, ada kunci motor saya nggak ? Saya lagi di luar beli makan sama Dinda."

Dengan wajah cemberut aku beranjak ke meja posisinya tadi. Ada di situ, beberapa kunci terikat dalam satu tali.

"Ada." Kataku.

"Tolong ibu kasi sama Tini ya bu."

"Ih, nyuruh-nyuruh." Aku meluapkan kekesalanku.

Di ujung sana dia tertawa.

"Tolong ya bu."

"Enggak. Ini saya sita aja."

"Nanti saya nggak bisa pulang dong bu."

"Biarin."

"Tolong ya bu. Makasih."

Lalu telepon diputus olehnya.

Enak aja nyuruh-nyuruh. Aku cemberut lagi. Lantas dalam perjalanan ke garasi, aku mampir ke kelas mereka.

"Tini.." Panggilku.
"Iya bu." Tini menoleh. Mereka sedang asyik ngobrol rupanya.

Aku menyerahkan kunci motor Justin padanya. Pasti dong Tini dan teman-temannya saling pandang keheranan.

"Kok bisa sama ibu ?" Tanya Tini.

"Tadi Justin telpon, katanya kuncinya ketinggalan di kelas."

"Oo."

"Trus, suruh titip ke kamu. Dah ya, saya mau pulang dulu."

" Iya bu. Hati-hati di jalan."

Suatu hari yang sungguh membingungkan, pikirku saat tiba di rumah. Masa iya semudah itu ketinggalan kunci. Bukan cuma sebuah. Itu serenceng. Ada kali kunci rumah dan segala kunci lemari di situ. Tak masuk akal. Atau dia memang orang yang teledor ?

Entahlah. Aku tak begitu mengenalnya terlepas dari apa yang pernah dia katakan padaku.

Jadi, siang itu kusempatkan berbaring sejenak merilekskan pikiran sebelum sore nanti mengajar les adik-adikku di panti yang cuma beda satu gang dari rumahku.

Selepas mengajar les sore di panti, dalam perjalanan pulang, aku mampir di sebuah gerai minimarket yang kini sudah menjamur di mana-mana. Aku ingin beli mogu-mogu kelapa.

Pintu minimarket kudorong, serentak udara ac yang dingin menerpa wajah. Kontras dengan cuaca di luar yang panas. Langkahku segera menuju kulkas yang berderet di tepi kiri. Lorong yang sempit membuatku mesti berhenti dulu, membiarkan dua sosok pria jangkung itu keluar lorong melewatiku.

"Eh, ibu." Salah satunya menyapa. Bagaimana bisa segera kukenali kalau mereka sama-sama pakai hoodie dan tutupan masker.
Tapi suara itu aku kenal.

Aku mendongak, ya, dan aku juga kenal mata itu.
Ya, kalian bisa tepuk tangan sekarang. Dia emang Justin yang tersohor itu.

Aku rasa mau menabok kepalaku sendiri.

Tapi aku malah tersenyum. Tapi tertutup masker. Mana dia tau kan ?

"Justin, aku mau telpon dulu ya, di luar. Yuk, ibu. Saya duluan." Temennya pamit meninggalkan kami berdua, sambil menyerahkan botol minumannya pada Justin. Teh pucuk. Justin sebelumnya memegang kopi goodday.

Asem. Pengertian sekali temennya itu. Justin garuk-garuk tengkuknya. Lalu dia menurunkan maskernya.

"Belanja bu ?" Tanyanya berbasa-basi.

"Mau beli minum. Haus." Jawabku.

Dia bergeser memberiku jalan.

"Mau beli apa ?" Dia bertanya.

"Mogu-mogu kelapa." Jawabku. Justin bengong sesaat. Sepertinya dia tidak pernah mendengar ada minuman jenis itu sebelumnya. Aku tersenyum sendiri. Geli dalam hati. Manalah bisa kau tandingi aku si tukang jajan ini. Justin kemudian mencari-cari di kulkas. Tak lama dia menemukannya. Diambilnya dua botol.

"Satu aja, Justin." Kataku.

"Satunya buat saya. Saya belum pernah rasa." Katanya dengan gaya kekanakan.

Aku tersenyum lagi. Dewasa kekanakan atau memang masih anak-anak ? Senyumku miris sepertinya.

Aku beranjak menuju kasir. Justin mengikuti. Sepertinya kami memang harus mengantri.

"Ibu, saya minta maaf kalau saya ada buat salah sama ibu." Bisiknya. Kami berdiri bersebelahan sekarang.

Aku menunduk memandangi lantai keramik putih kusam di bawah sana.

"Kamu nggak ada salah apa-apa." Jawabku.

"Saya tau ada kesalahan saya. Saya mohon maaf kalau pernah menyakiti hati ibu. Atau ada perbuatan saya yang salah."

"Kalo pun ada, pasti udah kumaafkan, Justin. Sudahlah." Bisikku. Kami maju selangkah.

Kami diam dalam kesunyian yang panjang sampai akhirnya kasir melayani kami. Kurasa kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Justin membayari minumanku walau aku sempat menolak. Senyumnya sungguh merontokkan kemandirianku.

Kami berpisah di parkiran. Aku menolak walau dia menawari tumpangan. Rumahku cuma di gang sebelah itu. Aku juga cuma jalan kaki kalau ke panti.

Aku tersenyum lagi. Mendadak mood ini berubah jadi bagus.
Kulangkahkan kaki dengan riang. Hanya sekilas perjumpaan, tapi begitu menyenangkan seperti pergi liburan ke Swiss.

Kenapa kok malah jadi Swiss ? Karena minggu-minggu belakangan ini aku sedang dalam proses menduplikasi foto pemandangan di Swiss ke dalam gambar. Kadang, kalau mood, aku suka menggambar. Lumayan untuk meredakan stress dan melatih kelemasan tangan dan jari, juga konsentrasi.

Sebenarnya, satu sket hitam putih wajah Justin juga sudah selesai kubuat. Kugambar dari status WA yang pernah dia bagikan.
Tak sempurna, tapi aku merinding saat menggosok shading pada bagian hidungnya.

JustiviaWhere stories live. Discover now