8.| Galau Tak Bertepi

5 0 0
                                    

Pagi ini udara lumayan hangat dan matahari bersinar terang. Aku lebih suka berdiam di kelasku dan merekap nilai tugas-tugas online dari murid-muridku. Wah, ternyata air putihku habis. Malas-malasan aku berjalan ke ruang guru untuk mengisi ulang botolku. Sambil mengisi ulang air di dispenser, aku melihat Tya lagi sibuk memindahkan nilai ke buku absen milik guru pendampingnya, di sudut sana ada Tini yang lagi mendapat pengarahan juga dari guru pendampingnya. Mahasiswa dampinganku entah kemana ya ? Oh, kuingat kembali dia sedang seleksi di kota asalnya.

Oops...airku hampir saja luber. Buru-buru kututup keran dispenser.
Saat aku hendak keluar, si Della baru aja masuk ke ruang guru dan mau pinjam gunting ke Tya, tapi Tya menggeleng tanda tak pegang gunting.

"Mau pinjam gunting ? Saya ada." Kataku. Lalu kami berjalan ke kelasku. Saat kulewati pintu kelas satu, di situ rupanya beberapa orang sedang bekerja membuat semacam prakarya atau alat peraga. Ada Ayu, Yayum, dan Sherly.

"Sibuk ya.." Komentarku pada Della. Ia mengangguk.
"Lagi bikin alat peraga bu. Untuk kelas satu dan dua."
Gunting kuambil dari laci dan kuserahkan padanya.
Lalu dia kembali pada teman-temannya.

Aku kembali pada kesibukanku. Diiiringi lagu-lagu dari playlist di hapeku.
Pegel dan lelah.
Aku meregangkan tubuh di kursiku. Aku tahu, Arief dan Lihin pasti sedang sibuk di kelas sebelah melukis pohon yang dijadikan meteran pengukur tinggi badan siswa. Permintaan khusus dari wali kelas 4.

Membuat mereka sibuk dan tak punya waktu untuk guru pendamping masing-masing. Ah, ada waktu pun, aku males nyuruh Justin apa-apa. Dia tuh tipe yang nggak suka disuruh-suruh. Sukanya nyuruh. Bikin bete, kan.

Ah, males banget hari ini.
Mau keluar jalan kaki buat nyari gorengan aja malas, mataharinya garang amat.
Jadi mesti ngapain ini ?
Tidur aja kali. Dengan beralaskan lenganku sendiri, aku berusaha memejamkan mata. Tapi percuma, udara terlalu panas dan hati ini sedang tak menentu.

Aku galau antara harus memberitahunya atau tidak. Bila kusimpan sendiri, maka akan jadi deritaku sendiri selamanya.

Mungkin akan kukirim email untuknya nanti. Atau mungkin tidak ? Mesti mikir ratusan kali sebelum akhirnya aku memutuskan.
Ini tidaklah mudah untukku. Baru kali ini, membuat keputusan jadi hal sulit buatku.

***

Hari ini ada Justin. Seneng dong... Kurasa aku merona dan senyumku merekah. Tapi tetap harus kututupi.
Nanti malah jadi menyeramkan, kan parah tuh. Jadi, kubiarkan saja hari berjalan sesuai kehendak-Nya. Aku menyibukkan diri dengan apa saja yang bisa kukerjakan untuk mengurangi rasa gugup dan tak nyaman ini.

Para gadis yang seluruhnya berjumlah 9 dari total 12 orang itu sudah sibuk menyelesaikan tugas dari guru pamongnya masing-masing. Ada yang mengoreksi, ada yang merekap nilai di laptop sang guru, bahkan ada juga yang diminta beres-beres di UKS. Pada rajin semua. Kadang papasan saat aku berjalan ke ruang guru untuk ambil air atau ke toilet, tetap kusapa mereka dengan ramah.

Bagaimana dengan trio cowok itu ? Lihin, Arief, dan Justin masih saja berkutat dengan rancangan awal pohon yang akan jadi meteran pengukur tinggi badan siswa. Aku ga berani masuk kelas itu. Aku belum bisa mengontrol sikap dan perasaanku yang kini campur aduk pada Justin.

Ada rindu, ada kecewa, ada bahagia, ada harapan. Kalau kubiarkan diriku terapung dalam genangan perasaan ini, maka aku akan sulit fokus pada pekerjaanku.

JustiviaWhere stories live. Discover now