6.| Kecewa, yang pertama.

2 0 0
                                    

Sesuai permintaan bu Yusi pada kelompok KKN mereka, yaitu membuat pengukur tinggi badan siswa, hari ini mereka mulai menyiapkan segala sesuatunya. Kulihat Justin dan Arief saja yang ditugaskan untuk membuatnya. Yang lain sibuk dengan guru pamong masing-masing.

Arif dan Justin mulai membuat pola. Mereka berencana membuat alat ukur tinggi badan itu di dinding belakang kelas bu Yusi dalam bentuk pohon yang batangnya dibuat semacam meteran.

Aku melihat mereka bekerja sebentar kemudian kembali ke kelasku sendiri. Kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan administrasi dan pembelajaran daring.

Saat menjelang pukul 9 pagi, aku istirahat sejenak untuk sholat Dhuha. Sudah setahun ini aku merutinkan sebanyak 4 rakaat setelah tahun lalu terbiasa dengan 2 rakaat saja. Rasanya segar aja kalo abis sholat.

Selesai sholat, aku iseng berkunjung ke kelas sebelah. Mereka rupanya sudah menyelesaikan pola meteran tersebut. Pohonnya belum ada.

"Coba ukur ah, berapa tinggiku." Kataku lalu berdiri di situ. Dinding bertuliskan pola meteran itu di belakangku. Arief dan Justin segera menghitung tinggiku. Tangan mereka diletakkan pada ukuran tepat di puncak kepalaku.

"169" kata mereka.
Kami tertawa bersama. Tinggi kami bertiga tidak terpaut jauh. Tentu saja mereka berdua lebih tinggi beberapa sentimeter dariku.
Kalau saja aku jadi temen kuliah mereka, mungkin kami bisa bikin geng dengan nama Tiang Squad. Hehehe....

Kemudian kami dengan riang bertukar cerita tentang pengalaman membuat dekor. Kubagi juga pengalamanku waktu KKN dulu, saat buat papan plang nama gang, kami minta bantuan sumbangan cat dan kuas ke toko-toko bangunan yang ada di sepanjang jalan desa tempat kami bertugas.

Mereka manggut-manggut aja yang kuterjemahkan mereka ogah kalau harus begitu. Sepertinya mereka lebih senang urunan dari anggota kelompok mereka sendiri. Kutawari mereka untuk mendapatkan alat dan bahan secara gratis dari toko bangunan milik temanku. Aku tinggal bilang aja sama cece Juni, pasti dikabulkan. Mereka berpandang-pandangan. Ragu antara mau terima tawaranku atau enggak.
Aku tersenyum saja.

"Emm...Justin, bisa bicara sebentar di kelas saya ?" Pintaku. Justin mengangguk lalu mengekoriku yang berjalan menuju kelasku.

"Duduklah." Kataku. Lalu aku duduk di seberangnya. Kutatap wajahnya sebelum bicara. Tulang pipinya bagus, pujiku dalam hati. Mungkin bila tidak membuatnya heran dan takut, aku bisa saja berjam-jam menatapnya dan seluruh kesempurnaan ciptaan Tuhan ini yang kebetulan saja mirip dengan blueprint khayalanku.

"Justin, saya tuh pengennya selama kamu di sini, kamu bisa belajar banyak hal selain dengan saya. Kalo bisa sih, kamu bantuin guru-guru yang lain juga supaya kenal mereka dan belajar dari mereka."

" Iya bu." Justin menanggapi dengan satu anggukan kecil.

" Saya juga pengen bagi ilmu tentang presentasi ke kamu, tapi kamu mesti kasih saya penampilan presentasi awal dulu."

" Maksudnya, bu ?"

" Kamu tampil dulu, tar saya koreksi, trus saya ajarin yang saya tau."

" Emmm...ok bu."

" Besok boleh ?" Kejarku.

Justin tersenyum lebar dan menggeleng. " Besok kan kami nggak hadir ke sekolah, bu. Masih buat program kerja yang ibu minta."

" Oh, seribu candi." Sahutku geli sendiri. Itu candaan masih lucu aja sampai hari ini. Justin ikut tersenyum.
Apalah ibu guru satu ini, gitu kali dalam benaknya.

"Lusa, oke ya ?" Kejarku.

"Iya." Dia menjawab tapi tak pasti.

Lalu kuizinkan dia kembali ke proyeknya bersama Arief.

Hari itu pun berakhir.

Lusa paginya malah aku yang deg-degan menunggu Justin datang ke kelasku. Namun dia tak kunjung datang. Aku sedikit kecewa. Ah enggak sedikit. Banyak malah. Aku cemberut sendiri sambil bekerja di kelasku. Mengirim tugas, mengoreksi dan menilai tugas, dan lain- lainnya.

Matahari mulai meninggi dan aku resah. Mereka semua lengkap hadir di sekolah, malah lewat-lewat di depan kelasku. Aku jadi bete sendiri.

Salahmu sendiri, Via. Kenapa berharap Justin akan menuruti kehendakmu. Gitu aku mengomeli diriku sendiri.

Hingga akhirnya mereka beramai-ramai pamitan. Para cewek itu ceria dadah-dadahan padaku dan guru-guru lain. Saat itu aku sedang berjalan kembali ke kelasku dari ruang guru.

Kulihat Justin berjalan dari kerumunan mereka di dekat motor-motor mereka yang diparkir di halaman. Dia berjalan menghampiriku, membuatku menghentikan langkahku sejenak.

Aku tahu mukaku dengan jelas menampakkan kekesalanku, soalnya aku dapat dengan jelas melihat ekspresi bersalah di wajahnya.

"Emm..ibu, kami izin pulang..eh, enggak, kami mau ke rektorat karena masih ada urusan..." Katanya hampir gagap.

Aku menatapnya tepat di mata. Keberanian ini muncul karena hatiku sakit. Perih.
Justin makin salah tingkah.

"Mmm..maaf juga hari ini saya belum bisa presentasi. Saya belum siap. Mungkin lain kali, bu."

Keluar juga permintaan maafnya.

"Kamu atur ajalah. "

Jawabku singkat. Aku tahu ini terasa ketus. Habis mau gimana lagi. Aku males kalo maksa orang yang keras kepala kayak Justin gini. Dia tipe orang yang punya ritme kerja sendiri. Dia enggak mau diatur. Dia maunya ngatur.

Kami saling bertatapan. Aku yang kecewa dan dia yang bersalah. Entah apa yang dipikirkan oleh teman-temannya satu kelompok yang masih bergerombol menunggu Justin.

"Saya pergi dulu, bu." Demikian pamitnya.

"Okay." Singkat saja jawabku.

Bete aku sama kamu, Justin.

JustiviaWhere stories live. Discover now