-End of Flashback-

Hermione tersenyum dan membiarkan Draco menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke arah Draco memarkirkan mobilnya.

"Aku sudah bilang kan sebaiknya kau mengajak Potter atau Weasley." Draco berseru.

"Mereka sibuk, lagipula ku rasa tidak ada masalah tadi, semuanya lancar."

"Rencana kita masih sama?" Hermione bertanya saat ia masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengamannya.

Draco tertawa. "Why? You scared, Granger?"

Hermione menarik nafasnya panjang, padahal ia yang mengajak Draco untuk bertemu dengan teman-temannya, tapi sekarang ia sendiri yang gugup. Setelah memastikan bahwa ia dan Draco punya jadwal yang tepat, ia membuat janji dengan teman-temannya. Tidak banyak, hanya Harry, Ron dan Ginny.

Mereka berjanji bertemu di salah satu bar di London, menurut Hermione dan Ginny akan lebih aman jika mereka bertemu di tempat umum, daripada di salah satu rumah mereka. Meskipun Ginny tidak punya masalah sama sekali dengan Draco, Hermione dan Ginny tidak bisa menjamin apakah Draco, Harry, dan Ron bisa bertemu seperti manusia berpendidikan atau malah barbarik?

"Tenanglah, Granger. Aku tidak akan tiba-tiba langsung memukuli kedua temanmu jika melihat mereka nanti."

Hermione melihat ke arah Draco, bertanya-tanya bagaimana Draco bisa membaca pikirannya meskipun mereka bahkan belum bersama lebih dari beberapa bulan, ia masih tidak begitu mengerti bagaimana pria yang ada di sampingnya ini bisa memahami dirinya, bahkan lebih dari Harry, Ron, dan Ginny.

It's just weird.

"Apa yang kau pikirkan, Granger?" Draco bertanya sambil menyetir.

Hermione memicingkan matanya. "Bagaimana kau tahu aku sedang berpikir?"

"Well, you've been staring at me for few minutes now." Draco berseru, masih fokus ke jalan.

Hermione memutar tubuhnya yang sudah memutar sembilan puluh derajat kembali menghadap ke depan. Ia menghela nafasnya. Ia gugup sekali. Ia tidak yakin apa yang akan terjadi nanti, apa ia akan dipaksa memilih antara pertemanannya atau hubungannya dengan Draco yang baru seumur jagung? Atau apakah mereka akan bertindak normal kepada satu sama lain.

"Haruskah kita pulang saja? Kalau kau segugup ini." Draco berseru meledek Hermione.

Hermione hanya menghela nafasnya.

Draco tertawa pelan. "Granger, percaya sedikit pada teman-temanmu, aku dan Potter juga Weasley adalah orang-orang dewasa, kami punya mulut dan otak, jadi apapun yang ada di dalam kepalamu saat ini, aku akan memastikan itu tidak akan terjadi."

Hermione tersenyum kecil dan mengangguk.

She knows this is it. He's the one.

Hermione memandang ke jendela sambil bersandar tenang. Ia merasa hangat dan ia harap bisa merasakan kehangatan ini sampai waktu yang lama.

.

Hermione meletakkan kedua tangannya di leher Draco dari belakang, ia ingin digendong, badannya sudah lemas dan ia ingin berbaring, ia minum terlalu banyak dan ia ingin tidur.

"Draco, ayo pulang." Hermione berseru tidak begitu jelas kepada Draco yang masih asik mengobrol dengan Ron dan Harry, tentu saja percakapan mereka tidak begitu jauh dari hal-hal yang berhubungan dengan olahraga dan semacamnya.

Karena Draco sudah tidak tinggal di dunia sihir, maka ia tidak tahu tentang kabar liga Quidditch, tapi ia sekarang tertarik dan menghabiskan waktu yang banyak dalam sepak bola.

Dan karena pacar terakhir Ron adalah seorang Muggle, begitu juga dengan Harry yang cukup mengikuti perkembangan dunia sepak bola di Inggris, mereka asik sekali membicarakan sepak bola dari tadi, tidak peduli Hermione dan Ginny yang sudah sangat mengantuk dari tadi.

"Ku rasa sebaiknya kita semua pulang." Draco berseru, menarik Hermione yang sudah benar-benar mengantuk agar duduk tegak sebelum mereka pulang.

Harry kemudian melihat ke arah Ginny yang sudah meletakkan kepalanya di atas meja.

Harry tertawa. "Kau benar, sebaiknya kita pulang."

.

Hermione bangun dan mendengar suara dengkuran pelan yang sekarang sudah cukup familiar dengannya. Hermione menarik nafasnya panjang dan mereganggakan tubuhnya yang kaku. Hari ini ia akan mulai kembali bekerja untuk beberapa waktu di St. Mungo.

Meskipun semua orang di sekitarnya mendukungnya, mulai dari kedua orangtuanya, Harry dan Ginny, juga Draco, tetap ia merasa mengganjal, belum lagi ia harus melihat wajah-wajah orang di St. Mungo yang sudah mengkhianatinya.

Tapi Draco berkali-kali mengingatkannya bahwa ia hanya perlu bertahan sebentar, hanya sebentar, setelah itu ia tidak perlu lagi kembali ke dunia sihir.

Hermione merasakan Draco terbangun di sampingnya, ia membuka sebelah matanya dan meletakkan tangannya di lengan Hermione. "Kalau kau terlambat di hari pertama tidak apa-apa kan?" Draco bertanya.

Hermione hanya tertawa.

"Hermione." Draco bangun dan duduk memasang tampang serius.

Hermione yang tadinya masih berbaring ikut duduk karena Draco tiba-tiba serius.

"Ada dua hal yang harus kusampaikan kepadamu." Draco berseru, meraih tangan Hermione dan menggenggamnya.

"Kalau semua urusanmu sudah selesai di St. Mungo, bagaimana jika kau bekerja di rumah sakitku?" Draco bertanya.

Hermione tidak langsung menjawab.

"Tentu saja kau bisa memikirkannya dulu sebelum memberi jawaban." Draco berseru lagi.

Hermione tersenyum dan mengangguk, tentu saja ia beberapa kali terpikirkan tentang hal itu, ia bisa melakukan begitu banyak hal di rumah sakit muggle yang belakangan ini menjadi tempat favoritnya, Hermione tahu kalau Draco langsung paham kenapa ia bekerja di toko rental DVD saat pertama kali mendengar tentang situasinya saat ini.

Terkadang Hermione takjub bagaimana Draco bisa memahaminya lebih dari dirinya sendiri.

"Dan hal lainnya?" Hermione bertanya.

"Ku rasa kita harus mencari kasur baru yang lebih besar." Draco mengeluh.

Hermione hanya tertawa mendengarnya. "Let's get new bed later then." Hermione mencium pipi Draco lembut, sudah saatnya mereka mencari kasur baru dan berhenti menggunakan sihir untuk melebarkan kasur Hermione yang terlalu kecil untuk dua orang.

...to be continued

OrdinaryWhere stories live. Discover now