Upaya Menulis Bintang-Kesepakatan di Bawah Terpal Biru

12 3 0
                                    

"Meski masih perjaka, cowok bisa kok ngutangin duit."

—Mas Kurir Lajang Penuh Percaya Diri—

21 Mei 2022

Aroma jahe masih mengepul di udara berpadu dengan suara minyak yang sibuk menggoreng mendoan. Pasangan suami istri pemilik angkringan berusaha keras memenuhi pesanan pelanggan. Istrinya bahkan sekarang sibuk mengulek sambal yang akan digunakan untuk melumuri kupat tahu. Sementara itu Emil sibuk mengusap permukaan gelas yang berisi susu jahe hangat sambil mengamati Iis yang kini mulai mencomot gorengan kelima sejak mereka duduk di sini sepuluh menit lalu. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, jujur dia takut kalau sampai ketahuan sedang duduk bersama suami orang. Meski ada terpal warna biru—jujur ini mirip judul lagu—tetap membuatnya merasa tidak aman.

"Jadi gimana, Mas?" bisiknya dengan suara sepelan mungkin.

"Apanya? Soal hutang?"

Emil langsung mendelik, suaranya terdengar keras. Padahal pemuda itu pemilik suara jenis serak-serak basah.

"Iya."

"Tidak masalah kok. Aku bisa kok pinjamin uang dulu ke Mbak Emil buat bayar COD kemarin," ujarnya ringan.

"Eh beneran, Mas?"

"Iya, beneran kok."

"Saya juga bisa bantu untuk membayar paketan selama kompetisi berhadiah umroh itu berlangsung."

Eh? Ini maksudnya dia menawarkan hutang berbunga atau dia menawarkan tarif plus-plus untuk selingkuhan mengingat pria ini sudah punya anak dan istri.

"Mas Iis rentenir?"

Iis yang baru saja hendak mengambil tape goreng langsung mengurungkan niat, dia lalu menoleh pada Emil. "Hah? Maksudnya?"

"Sambil jadi kurir eh menyambi jadi rentenir begitu?" tanya Emil sambil mengangkat tangan ke atas hingga jari tengah dan jari telunjuknya membentuk tanda petik.

"Ya enggaklah. Kok segitunya sih Mbak?" pekik Iis sampai tersedak gorengan.

"Ya kan Mas Iis menawarkan pinjaman, bisa jadi kan Mas minta bunga. Jadi saya pikir Mas rentenir."

"Yaelah Mbak, saya bukan rentenir kok," sahut Iis sambil memukul dada kali setelah berdeham berulang kali—mungkin sebagai upaya mendorong turun serpihan gorengan yang sempat tersangkut.

"Lalu apa?" Emil masih mengejar.

"Kan Mbak Emil mau pinjam uang ya saya pinjami, sesederhana itu," kilahnya sambil menarik gelas susu jahe miliknya mendekat. Dia lalu menarik gelas panjang itu dan menaruh permukaan atasnya di dekat mulut.

"Apa semacam sugar daddy?"

Susu jahe yang baru saja masuk ke dalam mulut Iis mendadak menyembur keluar. Semburannya bahkan jatuh di atas tumpukan gorengan hangat yang ada di atas meja. Tindakan nista yang membuahkan tatapan serta perhatian semua orang di angkringan itu. Emil langsung meminta maaf sambil menundukkan kepala saat Iis masih sibuk dengan batuknya. Pemuda itu sepertinya tersedak hingga hidungnya mungkin jadi berair karena jarinya terus memijat batang hidungnya. Emil yang merasa tidak enak langsung meraih gorengan yang tidak sengaja tersembur dengan penjepit dan menaruhnya di piring.

"Ya kali Mbak sugar daddy?" katanya dengan suara yang semakin serak.

"Atau Mas Iis mau membayar saya jadi selingkuhan?"

"What? Opo (1)? Selingkuhan? Kok iso (2)?" Dia benar-benar memekik sekarang.

Suaranya serak campur medhok yang tertahan. Pesan moralnya, seganteng apa pun kamu kalau kaget logat aslinya tetap keluar. Hal yang membuat Emil nyaris terbahak.

Rewrite The StarsWhere stories live. Discover now