🌿25🌿

230 29 13
                                    

"Maaf ya, mas, tadi aku langsung matiin teleponnya. Soalnya kalau ada Mas Jae, hidupku nggak tenang."

Setelah ngibrit keluar dari rumah Mas Jae, aku buru-buru mencapai kamarku supaya bisa leluasa menelpon balik Mas Akas. Seperti yang kukatakan, hidupku nggak tenang selagi masih ada manusia lidi tersebut disekitarku. Tadi aja dia sudah membeberkan satu rahasia tentang aku yang sedang mengorek info terkait kepribadian Mas Akas, gimana nanti?! Sejujurnya aja aku nggak punya keinginan untuk menelpon balik Mas Akas, cuma karena aku ingin menghindari kesalahpahaman—kalau dia salah paham sih, sekalian karena rasanya nggak sopan aja sehabis mematikan telpon sepihak.

Untungnya nggak perlu waktu lama, Mas Akas langsung menjawab.

"Berarti sekarang kamu nggak dirumah Jaedrian lagi?" Aku mendengar sedikit kekehan.

"Nggak, ini udah dikamar. Mas tadi kenapa nelpon? Udah pulang? Ini udah dirumah? Apa masih di bandara? Atau masih ada penerbangan lagi?"

"..."

Ponselku yang rusak atau memang Mas Akas yang nggak bersuara?

"Mas? Suaraku nggak kedengaran ya?"

"Nggak, kedengaran kok. Kedengaran jelas. Cuma..." Mas Akas diam lagi, tapi kali ini nggak selama yang tadi. "...mas baru tau kalo kamu se-kepo ini. Tapi nggak apa-apa, saya suka dikepoin kok orangnya. Apalagi sama kamu, sih."

"...a-apaan..."

Kalau ada orang yang setahuku sedang sibuk kerja mendadak menelponku, bukannya wajar untuk bertanya apakah dia masih sibuk atau sudah nggak sibuk lagi 'kan? Wajar banget 'kan??!

"Hahaha, saya udah balik dari Jepang kok. Ini lagi di apartemen."

"O-oh, gitu. Mas tadi nelpon kenapa?"

"Kamu lagi sibuk, ya?"

Aku mulai membuat beberapa skenario imajinasi. Seandainya aku bilang iya, Mas Akas pasti merasa bersalah karena sudah mendadak menelponku nggak sih? Jadi sepertinya lebih baik aku bilang nggak, karena memang kenyataannya ya begitu.

"Nggak, aku lagi nggak ngapa-ngapain kok. Memangnya kenapa?"

"Coba lihat kalender, deh."

"Kalender?"

Berhubung aku tahu kalau dikamarku ini sudah pasti nggak ada kalender, aku menyetel telepon dalam keadaan louspeaker dan mencari aplikasi kalender diponsel. Lebih praktis.

"Hari ini kamis, tanggal... dua-puluh dua. Seingatku nggak ada peringatan hari besar nasional. Atau ada ya, mas?"

"Iya. Bukan hari besar nasional sih, tapi setidaknya hari penting buat mas. Dua bulan lalu di tanggal ini saya datang kerumah untuk ngelamar kamu."

...iyakah? Aku aja nggak ingat loh, mas, tanggal berapa waktu itu.

"U-udah dua bulan aja ya, haha. Aku aja nggak ingat," Haha. Aku juga nggak tahu kenapa aku tertawa ditengah kalimat begitu.

"Saya juga awalnya nggak ingat, terus tadi iseng-iseng cek kalender buat liat jadwal terbang minggu depan. Nggak sengaja keingat, deh. Sebenarnya nggak perlu diperingati sih, cuma kalau bisa milih kapan saya jadi orang yang paling berani didunia, ya itu jawabannya. Sewaktu ketemu ayah kamu dan minta izin untuk jadi pasangan salah satu putrinya, padahal perasaan saya aja belum dibalas. Kalau bisa dibilang, stok berani seumur hidup mas udah kepakai buat itu. Sepele, ya? Tapi nggak tau kenapa pengen aja diingat-ingat lagi."

"Nggak sepele, kok." Aku nggak tahu apakah dengan mengatakan ini aku seolah memberikan harapan palsu ke Mas Akas, tetapi sepertinya aku harus bilang padanya. "Mungkin diawal-awal mas ngelamar, aku kesannya nggak acuh dan nolak terus. Tapi dari Mas Jae aku bisa mengerti kalo ngelamar perempuan bukan hal yang mudah. Jadi... yah... aku ngerti, dikit. Pokoknya itu nggak bisa dibilang sepele. Kalo jadi Mas Akas, aku sih udah deg-degan parah."

PRELUDEWhere stories live. Discover now