🌿05🌿

427 89 0
                                    

"Lagi nunggu siapa, Res?" tanya Bang Raid yang baru keluar dari pintu, melihatku duduk sendirian diteras rumah padahal udah berpakaian rapi untuk bekerja.

"Nunggu jemputan," sahutku menghentak-hentak kaki pelan, bosan karena yang kutunggu belum juga sampai.

Bang Raid malah bernapas lega, "Kirain harus nganter kamu hari ini,"

Aku segera memicingkan mata, "Segitu malesnya nganterin adek sendiri,"

"Kan ada Jedri," ujarnya sambil terkekeh dan segera masuk ke garasi untuk memanaskan mobil. Iya, panggilan Mas Jae dalam keluargaku ialah 'Jedri'. Abangku itu yang memberi nama. Sepertinya, martabat Mas Jae dimata keluargaku memang udah berubah dari 'anak tetangga' menjadi 'tukang antar-jemput Resa'.

Begitu Bang Raid menghilang setelah berbelok ke garasi, aku memutuskan membuka ruang obrolanku bersama Mas Akas. Melihat kembali balasan yang kuketik untuk pesannya tadi malam.

Adresia
Maaf mas tadi aku gak lihat hape
Serius maaf banget

Dia belum memberikan balasan, bahkan sampai sekarang. Lalu aku melihat pesan yang kuketikkan lagi selanjutnya meskipun ia belum memberikan jawaban.

Adresia
Mas gimana ini ya
Jadwalku tiba-tiba diganti
Ada tempat yang harus aku datangi bareng anak kantor
Mas aku beneran minta maaf ya
Maaf banget

Dan aku cuma melihatnya saja.

Aku gak bercanda soal dijemput anak kantor, bukannya aku mau menghindari Mas Akas setelah pengakuan Mas Jae semalam. Tapi jadwal kerjaku memang tiba-tiba dirubah tadi malam, dan seperti biasa, jika ada jadwal kerja ke luar kantor pasti kami selalu berangkat bersama. Bukan bersama dalam artian semuanya, sih, pokoknya gak ada yang pergi sendirian. Pasti berdua atau bertiga dengan rekan kerja lainnya. Contohnya, aku yang sedang menunggu Indira dan Kak Kania.

Selagi pandanganku menatap kosong bunga-bunga milik Bunda yang berjejer didepan teras, aku malah mendapat panggilan dari dalam. Gak. Daripada panggilan, lebih mirip teriakan. "Kak Resa! Kak! Kak Res! Udah pergi belum?" panggil Refa yang berada di depan televisi, sedang mengikatkan tali sepatu. Kebiasaannya, pakai sepatu pun harus sambil nonton.

Aku masuk ke dalam, "Apa?" kesalku karena besar suaranya terlalu berlebihan untuk jarak sedekat ini. Sejak kapan jarak antara ruang keluarga dan teras sejauh Bandung dan Jakarta?

"Hehe, kak, aku ada pelajaran seni hari ini. Pinjem brush pen punya Mas Jedri, dong," Aku tersenyum kecut, kirain ada apa.

"Ya, pinjam sana sama orangnya langsung. Udah gak sama kakak lagi,"

"Aku juga tahu, makanya kakak pinjemin dong. Aku udah bilang ke Mas Jedri kemarin, disuruh ambil sendiri," pintanya dengan wajah dibuat-buat. Oke, aku makin kesal.

"Gak bisa, mau berangkat kerja. Lagian apa susahnya, sih, tinggal masuk ke rumahnya,"

Refa menggeleng, "Takut ketemu Mbak Jisel,"

Aku menghela napas kasar, padahal dia punya tangan dan kaki sendiri. Tapi karena dia adikku dan kebetulan aku belum dijemput-bahkan kemungkinannya bakal telat dijemput, kakak yang harus mengalah. Aku beranjak ke rumah sebelah, rumah Mas Jae yang hanya ditinggali oleh tiga orang; Mas Jae sendiri, Mbak Jisel (kakaknya), dan Mami Viona.

PRELUDEWhere stories live. Discover now