🌿07🌿

428 88 5
                                    

Langit masih diselimuti kegelapan ketika aku berjalan mengendap-endap ke pintu rumah dengan menenteng sebuah tas besar di pundak. Jam dinding pada ruang keluarga menunjukkan pukul empat kurang, yang mana artinya, salah satu dari Ayah dan Bang Raid akan keluar dari kamar, mengambil wudhu, shalat subuh dikamar masing-masing—atau yang lebih parah lagi, berangkat ke masjid.

Dengan segala kepanikan itu, aku berhasil mencapai pintu rumah yang terbuat dari kayu tak lama kemudian. Membukanya dengan pelan, cermat, dan hati-hati—layaknya seorang pencuri, lalu menutupnya dengan gerakan slow-motion yang gak jauh berbeda dengan caraku membukanya.

"Akhirnya," Hampir saja aku sujud syukur begitu pintu rumah berhasil tertutup tanpa masalah. Kini, yang kuperlukan cuma mencari siasat untuk menyambangi apartemen Anya dipagi buta seperti ini dalam hitungan menit.

Aku beribu-ribu serius saat bilang bakalan kabur dari rumah. Bukan kabur dalam artian benar-benar hilang, sih. Aku hanya gak ingin bertemu dia—maaf, aku terlalu malas untuk menyebut namanya—hari ini, dan satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan cuma meninggalkan rumah beberapa hari kedepan dengan harapan Bunda dan Ayah mengerti penolakanku.

Tujuan pun udah dipilih, tempatnya jatuh kepada apartemen Anya yang sedang gak ditinggali karena ia berada dirumah yang akan ditempatinya setelah menikah. Gak akan ada yang tahu apartemen ini karena Anya sering berpindah tempat tinggal, kecuali jika mereka bertanya langsung pada pemiliknya (untungnya Anya udah kusuap untuk tutup mulut). Dan sahabatku itupun setuju-setuju aja aku menumpang disana, dengan syarat aku akan menceritakan apa yang terjadi padanya siang ini.

Jujur aku gak mau mengganggu waktunya sebagai pengantin baru, tapi dia keukeuh mengunjungiku siang nanti dengan alasan Danu juga memiliki beberapa kesibukan.

"Heh," Aku yang baru aja membalik badan setelah menutup pintu dibuat kaget dengan eksistensi seorang Jaedrian di pagi buta—dimana untuk ukuran Mas Jae, mustahil sekali dia bisa menginjakkan kaki diluar rumah sebelum jam delapan pagi.

"LOH, MAS JAE—Mas Jae ngapain?"

"Lagi siap-siap ke ladang mau cari nafkah buat keluarga. Ente gak lihat saya lagi ngapain?" Ia mendengus, menundukkan kepalanya dalam sekali hentakan. Menunjukkan motor Scoopy merah kesayangannya yang sedang ia duduki.

"Hah?" balasku gak mengerti.

"Hah-hoh-hah-hoh aja. Buruan naik, mas bantu kabur. Jam segini mana ada angkutan umum wara-wiri dijalan, except maneh mau down to earth dengan cara road legs,"

Aku jadi bersyukur dengan eksistensinya di bumi ini.

➖✳➖

Sebelum ditempatkan di SMA yang sama, aku cuma mengenal Jaedrian Tamawijaya sebatas anak tetangga yang matanya sipit, kulit putih, mirip bule, tinggal di Amerika sejak lahir hingga akhirnya pindah kesamping rumahku saat umurnya delapan tahun. Dan yang paling penting, dia itu berisik—alasan terbesarku gak mau mengenalnya lebih dalam. Setiap aku muncul dihadapannya, dia selalu menanyaiku ini-itu padahal aku udah menunjukkan ekspresi gak berminat ngobrol dengannya.

Aku tahu itu sekedar formalitas karena status tetangga. Mas Jae memang ramah dan dia gak benar-benar pengen tahu seluk-beluk kegiatanku, tapi tetap aja aku risih. Apalagi ketika bagi-membagi makanan terjadi, aku yang selalu ditunjuk Bunda sebagai tukang antar. Secara gak langsung, akupun sering mengunjungi rumahnya. Rumah yang sepi karena hanya diisi Mas Jae, Mbak Jisel, dan Mami. Sedangkan Papinya udah menikah lagi setelah kedua orangtuanya bercerai sewaktu masih di Amerika.

Bagaimana caranya kami bisa dekat? Mudah aja. Semuanya bermula ketika Maminya mengatakan,

"Res, kamu pulang-pergi ke sekolah bareng Jaedrian aja, ya? Nebeng aja gak apa-apa, dia juga sendirian mulu,"

Itu terjadi disaat aku baru aja dinyatakan lulus di SMA-nya. Aku gak punya relawan mengantar, baik kantor Ayah maupun sekolah-sekolah saudaraku berlawanan arah. Aku hampir putus asa karena hanya punya dua pilihan; mengucap hai pada takdir sebagai pelanggan setia angkutan umum soon-to-be, atau mengucap selamat tinggal lalu mencoba keberuntungan disekolah lain. Karena opsi kedua terlalu riskan—selain belum tentu lulus, aku takut dengan kemungkinan masuk SMA ditahun depan—dan opsi pertama pun tidak bagus-bagus amat, akhirnya aku mengiyakan kata Mami.

Tapi aku gak semesta-merta dekat dengan Mas Jae begitu saja, ada rintangan berat baginya agar kami akrab; melawan sifatku yang sangat jutek. Bayangin aja kalian pulang-pergi bareng orang yang gak terlalu kalian suka? Pasti agak risih 'kan? Begitupun aku. Karena posisinya aku lagi menumpang, makanya aku gak mau terlalu memperlihatkan ke-risih-anku.

Pandanganku tentang Mas Jae yang berisik itu berubah ketika suatu hari, aku telat pulang sekolah karena urusan ektrakulikuler. Saat itu kurang dari sejam sebelum maghrib. Dan parahnya lagi, Mas Jae sedang gak bisa mengantar pulang karena mau bertemu Papinya sepulang sekolah. Angkutan umum mulai jarang terlihat—kalau ada pun, aku gak bakal menaikinya karena belum berani. Teman-teman perempuanku udah pada pulang dan gak etis kalau aku meminta tolong antar. Begitu juga yang laki-laki. Maksudnya, mereka itu laki-laki dan ini udah mau maghrib.

Dengan berbekal ketakutan itu, aku mengetik pesan untuk Mas Jae yang berisi tolong menjemputku kapanpun ia selesai dengan urusannya. Benar-benar kapanpun. Aku akan berada di pos satpam selama menunggunya. Tapi tanpa perlu menghitung waktu, dia tiba disana. Mas Jae lebih memilih menjemputku, daripada menghabiskan waktu bersama Papinya—yang setahuku, mereka berdua memang jarang bertemu.

"Kalo jumpa Papi 'kan masih bisa besok-besok," katanya.

Dan dengan kejadian itu, aku malah jadi ingin mengenalnya lebih dalam. Katakanlah sebagai terimakasih, memang itu awalnya. Aku mencoba untuk gak cuek saat dia bertanya ini-itu, mencoba lebih ekspresif, dan menerima sifat berisik dan banyak omongnya. Ternyata itu gak sulit, buktinya kami jadi lebih terbuka satu sama lain.

Lambat laun, kami jadi sedekat ini. Yang tadi sekedar tetanggaan berubah menjadi adek-kakak-an. Aku mulai menganggapnya seperti kakak sendiri—bukan abang, karena itu panggilan khusus buat Bang Raid seorang. Aku pergi kemanapun, Mas Jae selalu menyempatkan diri untuk mengantar. Begitupun aku yang bersedia menemaninya ketika keluar kalau dia gak punya teman. Ternyata, kebiasaan itu masih berjalan hingga sekarang.

Bahkan ketika aku pergi dari rumah pagi-pagi buta karena dilamar orang sinting yang pernah kutolak secara terang-terangan.

"Kok, mas tahu aku mau kabur?"

"Let's say, I have a feeling," balasnya dengan gelak tawa, membuatku urung menanya soal itu lebih lanjut. Karena jawabannya pasti akan tetap sama; Mas Jae menolak jujur. Jadi aku berniat menanya yang lain.

"Mas tahu, temen mas itu mau datang ngelamar?"

Sekarang kami berada didepan sebuah kafe, aku yang meminta berhenti disini—berhubung aku masih dalam misi kabur dan Mas Jae gak boleh tahu tujuanku, walau sejarah gak menyebutkan kabur harus diantar segala. Padahal gedung apartemen Anya masih beberapa meter lagi. "Tolong bilangin ke dia, mas, aku udah pernah nolak dia seminggu yang lalu. Jadi dengan lamaran tiba-tiba ini, aku yakin dia pasti tahu jawabannya—"

Aku hampir saja menyelesaikan kalimatku ketika Mas Jae menyela, "Res, kamu gak bisa terima Akas? At least, coba aja dulu,"

Dia serius, Mas Jae serius ketika mengatakan itu. Aku jadi kehabisan kata-kata, "Rupanya, mas gak ada bedanya sama Ayah dan Bunda,"

"Res, mas benar-benar gak tahu soal lamaran itu. Kalau mas tahu, pasti mas bakal nasehatin Akas sebelum bertindak buru-buru begitu. I know you don't like to be forced, but you should know this. He really likes you—even loves you,"

Sejurus kemudian, aku menenteng tasku kembali. Beranjak menjauh darinya setelah berkata, "He loves me, doesn't mean I love him back," []

Jangan kaget kalo kedepannya pendek-pendek ya, aku mengembalikan cerita ini ke jalurnya lagi (short story) wkwk
Dan karena ini pendek aku kepikiran buat up lagi dalam waktu dekat

Mari tamatkan sebelum libur korona selesai! (ngasih semangat ke diri sendiri)

semangat puasanya,
skylarbblue.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang