🌿13🌿

477 70 7
                                    

"Yaelah, padahal lagi enak-enak cuti begini."

Rutukku pada layar ponsel yang menunjukkan beberapa surel kiriman Alma dan Fajar seputar pekerjaan. Karena ini adalah hari ketiga aku izin cuti dari kantor, aku mengontak kedua manusia itu untuk mengingatkan kalau-kalau ada pekerjaan yang belum tuntas.

Katanya tadi sih, nggak ada. Gak tahu ternyata tiga menit kemudian Alma mengirim surel berisi bahan-bahan laporan divisi yang tanggal deadline-nya dimajukan. Sebenarnya tidak perlu-perlu amat dibuat sekarang, tetapi berhubung bikinan Alma sudah selesai dan kami sering menggabungkan milik kami berdua sebagai hasil akhir, sepertinya tidak bisa ditunda.

Dan yang paling membuat kesal adalah tambahan kalimat diakhir yang berujar; walaupun cuti sakit tapi tetap kerja ya, biar nggak makan gaji buta huehue. Mana pakai emot 💜 banyak-banyak segala. Apalagi tanggal deadline-nya diperbesar dan di-bold sendirian. Agak sebel jadinya, pagi yang sudah aku rencanakan untuk baking terpaksa beralih menuntaskan pekerjaan. Memang pekerjaan itu sudah kewajiban sih... tapi aku lagi libur loh?

Hadeh, seharusnya kubuat tadi malam aja.

Oh iya soal tadi malam. Syukurnya tidak terjadi drama apa-apa dengan Mas Akas (aku betulan bersyukur untuk yang satu ini). Setelah dia mengungkit-ungkit soal melamarku, aku berubah lebih pendiam dan memberikan respon cuek, efeknya Mas Akas juga kelabakan meladeniku.
Alhasil setelah isi piringnya ludes, dia berbaik hati meminta izin pamit dan meninggalkan aku sendirian. Agak aneh sih melihat gelagatnya yang bersedia pergi begitu aja, tapi toh yang penting dia pergi 'kan?

Memang dipikir-pikir lagi, sepertinya aku jahat sekali ya. Begitu dia berbicara setelah mood-ku berubah, aku cuma membalas tidak jauh dari hm, oh, iya, atau nggak. Bahkan beberapa kali sempat aku abaikan juga. Dan jangan lupa ke-ogah-anku menatap wajahnya ketika berinteraksi. Pokoknya sebisa mungkin jangan lihat matanya. Atau kalau bisa duduk jauh-jauhan sekalian!

Kemudian selepas kepergiannya, aku masuk kekamar mandi dan ternyata kedatangan bulan. Pantesan aja.

Jadi untuk kasus ini, maaf Mas Akas, tapi aku tidak sepenuhnya salah.

"Telpon Alma aja kali ya," kataku penuh pertimbangan untuk mencari referensi penyelesaian kerjaan lewat Alma, soalnya dia 'kan sudah siap.

Tanpa perlu pikir-pikir, aku mencari kontaknya di buku telepon. Eh malah kepencet nomor Mas Jae karena mereka atas-bawahan. Setelah memastikan menelepon nomor yang tepat, malahan tidak diangkat oleh pemiliknya. Baru jam delapan pagi dan ketidakberuntunganku sudah datang beruntun begini (tapi ada bagusnya sih Alma gak mengangkat, aku juga agak tidak enak bertanya). Semoga Mas Jae paham aku cuma kepencet nomornya dan tidak bertanya lebih lanjut ya, soalnya aku pusing menjelaskan—

Ting!

Jae Ganteng
Kenapa res?

Baru aja mau diperingatkan.

Adresia
Gapapa mas, cuma tertekan doang.

Jae Ganteng
Ada masalah apa sih?

Adresia
Gaada apa-apa ah.

Tuh 'kan, mulai nih.

Jae Ganteng
Ada masalah apa? Bilang aja sama mas kali, gak ember kok.

Halah, gak ember muatamu. Aku puas bermonolog dalam hati menjelek-jelekkan Mas Jae. Serius deh, aku bingung siapa yang terlalu pintar disini.

PRELUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang