🌿19 🌿

426 62 11
                                    

Karena hari ini adalah akhir pekan, seluruh anggota keluarga lengkap berkumpul dirumah ketika aku pulang dari Jakarta. Padahal aku sudah bereskspetasi kehebohan saudara-saudaraku jika aku memberitahu kalau aku pulang dengan pesawat. Ternyata bahkan nggak ada yang bertanya aku pulang naik apa.

"ADES!"

Sialan, mau copot jantungku.

"Apaan sih Bang Raid?!" aku yang kesal melempar bungkus makanan kosong padanya. Sekarang sudah malam dan dia malah berteriak seenaknya.

"Galak ih," gerutunya.

Kalau bukan mengingat kami berdua sedang berada di balkon yang menghadap ke depan, aku mungkin sudah menempelkan lasiban pada mulutnya untuk meminim keributan. Soalnya abangku itu bisa bercerocos hebat, meskipun tidak selihai Refa. "Apa? Kenapa? Pasti ada maunya 'kan?"

"Nggak loh, masa sama adik sendiri ada maunya."

"Dih, biasanya juga begitu." cibirku saat Bang Raid duduk disebelah.

"Tadi waktu papasan sama mamanya Jedri, katanya anak cowoknya itu belum pulang. Jadi kamu balik ke Bandung tadi naik apa? Kereta api?"

Akhirnya ada yang bertanya. Tetapi kok Mas Jae belum pulang ya? Bukannya sudah duluan berangkat?

"Naik pesawat,"

"Ngelawak kamu mah. Serius atuh,"

"Dibilangin nggak percaya,"

"Serius, Resa."

"Aku juga serius, loh."

"Beneran? Naik pesawat?" Bang Raid menatapku dengan kedua alis menyatu.

Begitu aku mengangguk, dia langsung heboh sendiri. "Dih, apa-apaan pake pesawat? Kamu pikir Jakarta-Bandung itu kaya Bandung-Arab Saudi? Mubazir duit tau nggak. Bohong kamu nih,"

Aku memutar bola mata malas dan mengedikkan bahu, seandainya Bang Raid tahu bagaimana reaksiku saat pertama kali diberikan tiket tersebut. "Ya namanya dikasih orang. Gratis. Lebih mubazir lagi kalo aku malah nggak pake,"

"Dikasih? Orang dermawan mana yang mau bagi-bagi tiket pesawat gratis?"

"Mas Akas,"

"Heh??" Sambil melotot Bang Raid kelihatan sedang berpikir keras, mencari tahu apa korelasi antara naik pesawat gratis dengan Mas Akas. "Mentang-mentang kamu bisa dibilang calon istrinya jadi dibeliin tiket pesawat supaya nggak macet-ma—eh tapi bukannya Akas itu pilot ya?"

Aku kembali mengangguk, "Penerbangan tadi juga dia kaptennya."

Kemudian Bang Raid bertepuk tangan heboh dalam sekali percobaan. "Oalah, pantesan aja. Dia mau kamu ngerasain gimana kalo dia yang bawa pesawat mungkin."

Ngerasain apanya. Selama dipesawat aku malah tidur nyenyak.

"Oh ya ngomongin soal Akas," Bang Raid menjentikkan jari dan merubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Hm, sepertinya topik pembicaraan baru akan dimulai. "Kan ada tuh waktu dia datang ngelamar tapi kamunya nggak ada dirumah. Kamu tau nggak si Akas diapain aja sama ayah?"

Aku menggeleng, baru teringat juga kalau aku belum sempat mencari tahu soal itu. Mumpung Bang Raid kelihatan semangat 45 untuk bercerita, bisa nih mengorek informasi darinya. "Dia 'kan datangnya agak sorean gitu, jam setengah lima apa ya? Pokoknya mendekati solat maghrib, ayah ngajakin Akas pergi ke masjid. Tapi bukan masjid perumahan, agak jauhan lagi, ke masjid kota."

Kali ini mungkin aku harus berterimakasih kepada Bang Raid karena telah menceritakan hal tersebut meskipun aku agak khawatir, Mas Akas sampai sana nggak diapa-apain 'kan sama ayah?! Tumben-tumbenan sekali, biasa juga ayah dan Bang Raid ganti-gantian jadi imam di masjid perumahan.

PRELUDEWhere stories live. Discover now