🌿01🌿

877 113 0
                                    

Alunan suara Raisa yang menyanyikan salah satu lagu hits miliknya dipadukan dengan dering musik seirama memang cocok dijadikan backsound penggelaran resepsi pernikahan. Apalagi dengan warna emas dan hitam yang memenuhi keseluruhan ruangan, menjadikan konsep kali ini memang out of the best daripada konsep resepsi yang pernah kulihat sebelumnya. Selera Mbak Hanin memang patut diapresiasi.

Sekeliling penjuru ruangan dipenuhi berbagai macam tamu. Ada pasangan lanjut usia, pasangan baru menikah, pasangan kekasih, ada juga yang sendirian tanpa pasangan. Contohnya seperti aku. Berdiri sendirian di sudut ruangan, menjauh dari kerumunan orang yang bercengkrama dengan kenalannya.

But strangely, only this time alone felt this bad.

Sebenarnya aku gak benar-benar sendirian disini. Ada beberapa sepupu dan kerabat. Tapi mungkin semesta sedang malas berpihak kepadaku, orang yang kukenal gak ada yang kelihatan satupun sejak tadi. Sehingga aku hanya bisa terdiam sampai akhirnya, bagai pahlawan di siang bolong, ada mas-mas bersetelan hitam yang menjadi teman bicaraku.

"Ternyata gak enak ya, kalau pergi ke kondangan sendirian." ucapnya menatap lurus kedepan, membuatku ragu apakah mas-mas ini bicara padaku atau bukan. Tapi setelah melihat sekitaranku gak ada yang 'nganggur' selain aku, aku hanya mengiyakan sambil sedikit tersenyum.

"Iya, mas. Gak ada yang bisa diajak ngomong," balasku sekedarnya, sebagai tanda terimakasih karena telah mengajakku bicara.

"Mbak, ngomong aja sama saya. Saya juga sendiri kok,"

Aku sedikit memicingkan mata mendengarnya. Aneh sekali orang ini. Jadi aku hanya mengangguk canggung untuk membalasnya.

Setelah pembicaraan super singkat itu, kami terdiam cukup lama. Mas itu sibuk dengan minumannya, dan aku pun sibuk dengan cemilanku. Aku ingin sih membuka pembicaraan. Tapi aku gengsi, lagian kami juga tidak punya topik. Duh, bagaimana caranya ya untuk mengode mas itu agar kembali bicara padaku?

Begitu aku melihat gerak-geriknya yang ingin memulai percakapan, aku jadi sedikit bernapas lega.

"Mbak kerabatnya Hanin atau Abi?" tanyanya.

"Dua-dua, mas. Mbak Hanin sepupu jauh saya, kalau Mas Abi itu temen SMA." Aku membalas, lumayan juga daripada terdiam seperti anak kehilangan orangtuanya.

"Mbak asli Bandung 'kan?" tanyanya itu lagi yang membuatku mendelik. Kok, bisa tahu?

"Loh, mas nebak-nebak ya? Kok bener,"

Ia sedikit tertawa sebelum menjawab, "Ya, saya juga satu SMA sama Abi. Kamu Resa, 'kan? Anak akselerasi angkatan '23, yang tetanggaan sama Jae? Saya Akas, satu angkatan diatas kamu,"

Kami saling tunjuk-tunjukkan, lalu berkenalan setelahnya.

"Mas Akas, yang bassist itu ya? Mas satu band sama Mas Jae, Mas Abi, 'kan? Apa itu nama band-nya, ya, aku lupa..." Aku mengingat-ingat lagi band beranggotakan lima orang yang digandrungi para kenalanku ini.

"Day6," kata Mas Bassist itu, dan aku langsung heboh mengiyakan.

Ditengah keseruan pembicaraan kami yang mencapai titik puncak, yang kutunggu akhirnya datang juga. Orang yang membuatku rela menghadiri resepsi Mbak Hanin dan Mas Abi sendirian di Jakarta sebagai perwakilan keluargaku karena iming-iming traktiran gratis.

"Heyyoo, wassap! Lama, ya, Res? Maaf, tadi bantuin Abi di belakang," Mas Jae berujar dengan mulut tersenyum ceria tanpa merasa bersalah.

"Banget. Untung ada Mas Akas," lirihku kesal pada Mas Jae, sedangkan dia beralih menatap Mas Akas.

"Loh, Kas? Ganggu ya? Yaudah lanjut aja, mau balik ke Abi dulu."

Nah, baru saja menemuiku setelah membiarkanku sendirian cukup lama, Mas Jae mau pergi lagi. Selagi mulutku berkomat-kamit memanggilnya, Mas Akas malah memanggilku.

"Res,"

"Iya?"

Mas Akas tampak ragu, lalu berucap dengan yakin. "Nanti, saya anterin pulang ke Bandung, mau?"

➖✳➖

"Mas, temen kamu yang namanya Akas itu aneh banget," jujurku pada Mas Jae yang sedang menyetir.

"Aneh gimana? Ganteng gitu, ya walaupun masih gantengan gue sih," balasnya dengan tingkat percaya diri melebihi batas kemampuan manusia. Memang, orang yang satu ini tidak bisa diajak serius.

"Masa, aku tadi mau dianterin ke Bandung sama dia? Padahal nih ya, meskipun tahu nama, kami itu baru kenalan tadi. Terus juga jarak Jakarta-Bandung itu gak dekat,"

"Who knows, mungkin dia punya urusan di Bandung? Maunya kamu terima aja, jadi mas pulang ke Bandung-nya gak harus hari ini." balasnya lagi, masih belum serius.

"Ih, mas, serius dikit kek!" gerutuku sambil memukul pelan bahunya.

"Udah serius loh ini, Res. Akas itu pernah pergi ke Bogor cuma untuk beliin mas lumpia basah waktu mas sakit. Jadi wajar-wajar aja kalau dia mau ngantar kamu, soalnya dia 'kan juga asli Bandung," katanya setelah mengadu kesakitan karena pukulan kecilku.

Omong-omong soal tawaran Mas Akas, aku menolaknya halus dengan cara membual kalau aku akan pulang ke Bandung bersama Mbak Hanin. Nyatanya, aku dan Mas Jae langsung tancap gas menuju kota kami setelah resepsi selesai. Lagian, memang ada yang mau diantari oleh orang asing yang baru dikenal—apalagi perjalananya memakan waktu berjam-jam?

Kalau aku sih, tentu tidak mau. Meskipun hemat waktu dan uang, aku tidak mau terjebak berjam-jam bersama orang asing.

"Akas itu baik banget, loh. Kamu cuma belum kenal aja," Sejak tadi Mas Jae selalu melontarkan pujian pada temannya yang satu itu. Akas itu begini, Akas itu begitu, Akas gak pernah begini, Akas gak pernah begitu. Sampai aku lelah sendiri mendengarnya dan lebih memilih tidur.

"Yaudah 'lah. Nanti bangunin ya, kalau mau drive thru," Aku mengatur kursi dan bersiap tidur, tapi dering ponsel karena notifikasi yang masuk kembali membuatku membuka benda bersegi empat itu. Ada beberapa pesan baru.

Aku membuka aplikasi chat sejuta umat yang berwarna hijau itu dan langsung membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal.

+62821xxxxxxxx
Res ini nomor mas akas
Disimpan ya

Mas Akas lagi, Mas Akas lagi. Kenapa, sih, hariku kali ini harus dipenuhi dengan Mas Akas? []

Soo the storyline has totally changed karena beberapa alasan-salah satunya karena aku rasa alur sebelumnya boring banget, jadi aku publish ulang dengan alur yang udah dirubah. Hope u enjoy it!

regards,
skylarbblue.

PRELUDEWhere stories live. Discover now