"Bagus, saya akan dengan senang hati mempersiapkan ruang eksekusi sekarang juga. Bila mana nanti, kalian gagal menemukan Auva." Arjun yang mendengar itu membulatkan matanya, dia tahu betul tempat itu. Tempat di mana Satrio melakukan aksinya, menciptakan ketidakpastian di antara mereka.

"Dan untukmu, Alvan, jika kali ini kamu gagal ... saya akan menarik restu untukmu dan melarangmu untuk berhubungan dengan putri saya. Bahkan, saya tidak akan segan membawanya pergi dari hidupmu." Lanjutnya, sembari tersenyum puas ke arah Alvan yang kini menatap datar pada dirinya.

"Kali ini saya tidak akan berjanji apa pun pada om, tapi saya akan langsung membuktikan bahwa kami semua akan membawa Auva kembali di hadapan om Satrio." Alvan menyampaikan dengan mantap, dan Satrio tersenyum miring, lalu mengangguki ucapan dari Alvan.

"Saya pegang omonganmu, Alvan." Alvan dengan cepat menjawab iya, lalu berpamitan untuk menuju markas. Kini, ruangan kerja milik Satrio tersisa Arjun saja.

Arjun mengambil posisi duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu. Dia mencoba mengabari teman tongkrongannya untuk membantu mencari keberadaan Auva. Suasana tegang dan kekhawatiran masih terasa di udara.

Satrio, kini tenggelam dalam urusannya dengan laptop, terlihat sepenuhnya terfokus, entah itu masalah pekerjaan atau hal lain yang tak diketahui Arjun. Aura intimidasi dari Satrio membuat Arjun merasa tidak betah disana berlama-lama.

Dengan cepat, Arjun bangkit dari duduknya dan berpamitan pada Satrio. Melihat itu, Satrio tersenyum miring dan melanjutkan pekerjaannya tanpa mengalihkan perhatiannya.

Di sisi lain, mereka semua memasuki markas dengan perasaan campur aduk. Alvan bergegas memasuki ruangannya dengan gesekan pintu yang keras, membuat semua anggota terkejut.

Tak seperti biasanya, Alvan membanting pintu dengan kekuatan yang luar biasa, dan aura kemarahan terasa sekali saat ia melangkah menaiki anak tangga. Suasana tegang dan misterius menyelimuti markas mereka.

"Bang Alvan kenapa dah, kayak emosi gitu?" Pertanyaan dari seorang pemuda berkulit eksotis itu lantas diangguki oleh yang lain, ekspresi penasaran melingkupi wajah mereka.

Mereka juga bertanya-tanya mengapa Alvan terlihat sangat marah? Akan tetapi, bukannya jawaban yang mereka dapat, justru malah sebuah pertanyaan dari Abyaz yang mereka dengar.

"Lo pada di sini mau nginep? Kagak pulang kayak biasa?"

"Si alien malah balik nanya," cibir pemuda itu, menciptakan atmosfer kebingungan dan kejutan di antara mereka.

Lalu, dari arah dapur datang pemuda tinggi membawa sebuah nampan dengan mie instan yang cukup banyak. Pemuda itu tersenyum seperti biasa.

"Oy, udah balik lo. Sini makan dulu, gua buat mie indomie sebaskom nih."

Para anggota inti Bradiz hanya bisa mengikuti ucapan pemuda yang bernama Tio itu. Mereka semua kini sudah bersiap untuk menyantap hidangan itu. Meski mie instan, tetapi dimakan beramai-ramai itu lebih seru, karena siapa cepat dia paling banyak makannya.

"Muka kalian pulang dari wahana kaya tinggal raga doang, udah pucet, kagak ada suara kayak biasa." Pemuda berkulit eksotis itu memulai obrolan, merasa heran mengapa teman-temannya ini seperti mayat. Suasana santai mulai tercipta di antara mereka.

"Haikal, lo itu gak boleh kaya gitu, meski ucapan lo bener." Mendengar itu, para anggota inti menatap mie tanpa minat, terlebih lagi Naka, yang bahkan tidak menyentuh alat makannya sama sekali.

"Paling nyawanya ketinggalan, noh Naka ampe bengong gitu."

Mereka semua sontak memandang Naka yang kini diam. Namun, mereka tahu sorot mata Naka memancar kesedihan, membuat suasana menjadi hening. Dari lantai dua, Alvan turun dengan tergesa-gesa, bahkan dirinya sudah berganti pakaian.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now