chapter 1. monster

15.7K 1.6K 162
                                    

warning: mengandung konten kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang dan upaya pembunuhan. tidak disarankan untuk anak di bawah umur.
.
.
.

Apa kamu pernah bahagia?

Apa kamu juga tahu cara bahagia?

Apakah itu rumit? Lebih dari persamaan integral bangun ruang?

Karena ... aku belum pernah merasakannya.

***

Orang lain mungkin mengingat pergi ke kebun binatang sebagai kenangan pertama mereka. Atau jatuh dari sepeda. Atau dikejar angsa. Atau terluka, dan ayahnya ada di sana untuk memeluk, mengusap lutut yang cedera.

Kenangan pertamaku yang dapat kuingat adalah hari ketika kami mendapat giliran bercerita di depan kelas di tahun pertamaku sekolah. Awalnya, aku menyukai sekolah. Sangat. Begitu sukanya hingga aku bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan pakaianku sendiri dan menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di dalam kelas. Aku melewati taman kanak-kanak begitu saja, tidak mengerti rasanya bermain jungkat jungkit atau ayunan warna-warni yang kadang kuintip dari kejauhan. Jadi, memasuki sekolah dasar terasa seperti angin segar, membawaku pada harapan besar bahwa, akhirnya, aku akan memiliki teman. Banyak teman.

"... Warna kesukaanku merah dan cita-citaku ingin jadi Ultraman!"

Seisi kelas tertawa sementara anak yang seingatku bernama Rama mengepalkan tangan penuh semangat. Aku juga tertawa, juga bertepuk tangan. Rama adalah anak laki-laki yang tampan dan selalu memakai sepatu bagus yang kalau ditekan saat melangkah, akan menimbulkan cahaya warna-warni. Aku suka Rama dan sepatunya.

Sayangnya, dia tidak pernah menyukaiku.

"Berikutnya, Anisa!"

Aku maju dengan percaya diri dan senyum yang kubagi kepada semua orang. "Namaku Anisa Putri. Dipanggil Isa! Umurku enam tahun, warna kesukaanku biru. Aku ingin jadi polisi!"

"Huuu kamu cocoknya jadi malingnya aja!" seseorang menyahut, dan seisi kelas, sontak tertawa.

"Rama, nggak boleh begitu!" Wali kelas kami menegur. Rama mencibir. "Anisa ini kan teman kalian juga. Nggak boleh jahat-jahat, ya!"

"Tapi aku nggak mau temenan sama dia!"

"Aku juga!" sahut yang lain.

Ibu Guru mengerutkan alis. "Loh, kenapa?"

"Isa bau!" Rama berseru seraya menutup hidung. Jam tangan digitalnya yang keren menghiasi pergelangan. Aku juga suka jam tangannya.

Dan yang lain, tidak bisa untuk tidak setuju. "Iya, bau, Bu! Bajunya juga jelek! Sepatunya aja sobek!"

Bu Guru mengatakan sesuatu lagi, tetapi aku tidak begitu mendengarkan. Justru, aku sibuk membaui diriku sendiri. Apa hanya aku yang tidak bisa mencium baunya? Apa aku memang sebau itu? Bajunya memang jelek, lungsuran dari tetangga dan sepatuku juga bekas, tetapi aku sudah menjahitnya dengan hati-hati.

Kalau boleh, aku juga ingin memiliki sepatu seperti Rama. Tetapi aku tahu, aku hanya bisa bermimpi. Aku tidak bisa memperbaiki itu. Tetapi soal baju, dalam hati aku berjanji akan memperbaikinya. Aku ingin memiliki teman, dan aku akan melakukan berbagai upaya agar mereka mau menjadi temanku.

Jadi ya, hal pertama yang kulakukan setelah pulang ke rumah adalah mencuci baju. ibuku pergi bekerja dan ayahku lebih sering tidak berada di rumah, itu adalah hal yang bagus bagiku. Aku bisa bebas!

Hari itu, aku menumpahkan ekstra sabun ke rendaman pakaianku, mungkin sekitar satu genggaman orang dewasa hingga busanya memenuhi ember sampai meluber. Aku sampai lupa bahwa tujuan utamaku adalah mencuci dan bukannya bermain. Karena itu yang kemudian aku lakukan; bermain busa.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang