chapter 1. monster

Începe de la început
                                    

Aku meniup-niupnya, mencelupkan tanganku ke sana, mengusapkannya ke rambutku. Hingga, seluruh bagian dari diriku beserta seisi kamar mandi tertutup sabun. Sayangnya, kesenangan itu tidak berlangsung lama.

Alarm bahaya mengincar di belakang ketika ibuku pulang dan menemukan keadaanku yang luar biasa berantakan. Ia punya mata besar yang menakutkan. Juga tangan yang kuat. Sebelum aku dapat kabur, dia telah menjewer kupingku dengan luar biasa keras hingga aku tidak bisa untuk tidak menangis. Terlebih, ketika dia mengambil sapu dan memukul pantatku.

"Anak nggak tahu diuntung?! Kamu tahu, nggak, sabun lagi mahal?! Kenapa dibuang-buang?! NYUSAHIN AJA KERJAANNYA!!!"

Aku sudah terbiasa dipukul. Memar di kakiku bahkan masih berwarna ungu kehijauan, belum hilang sempurna ketika memar baru ditambahkan. Aku pikir, aku sudah kuat menerimanya. Tapi kadang-kadang, rasa sakitnya semakin meningkat. Seolah mereka terus meningkatkan kekebalanku sebagai sasak tinju mereka.

Ya, mereka. Karena ayahku, tidak jauh berbeda. Lebih parah, malah. Ketika dia pulang, dia lebih sering mabuk daripada sadar. Ketika itu pula, dia akan marah pada hal-hal terkecil, seringnya tanpa alasan jelas. Dia akan memukulku, dan lebih sering memukul ibuku. Kadang mereka saling berteriak satu sama lain sementara aku meringkuk di sudut dalam usaha menghafal huruf alfabet. Namun jika Ayah sudah memukul, Ibu akan kalah dan menangis. Dia tidak melawan. Tidak bisa. Jadi akulah, sasaran semua rasa frustrasinya.

Plak! Satu pukulan lagi mendarat di pantatku.

"Kenapa kamu selalu nyusahin Ibu, sih?! Kenapa kamu selalu bawa sial?!"

Plak! Satu lagi. Aku yakin akan sulit bagiku untuk duduk tanpa meringis kesakitan.

"Mending kamu nggak usah lahir aja! SIAL!!!"

Aku menahannya. Lagi, aku menghadirkan deret alfabet yang harus segera kuhafal di luar kepala, guna memblokir kata-kata yang tidak kuinginkan. Saat itu, aku tidak begitu mengerti maknanya. Saat itu, aku masih terlalu sibuk merasakan perih di bagian belakangnya.

Tetapi secara ajaib, kata-kata itu tinggal. Memenuhi kepalaku hampir setiap malam.

***

Esoknya, aku pergi ke sekolah dengan percaya diri. Bajuku luar biasa wangi, seperti bungkus deterjen beraroma bunga. Yakin bahwa dengan begitu, aku akan mendapat banyak teman.

Dugaanku salah.

"Kami nggak mau temanan sama kamu!" Rama berkeras saat aku meminta ikut bergabung bermain lompat tali bersama mereka.

"Kenapa? Aku sudah wangi!"

"Tapi kamu itu jelek!"

"Kata mama, kami nggak boleh temenan sama kamu!" Yang lain menimpali. "Katanya kamu anak pelacur!"

"Iya! Nggak boleh ditemenin!"

Aku terdiam, mencerna kata-kata mereka satu persatu. "Pelacur itu apa?" tanyaku akhirnya, menyuarakan kebingungaku. Apakah itu seperti wanita-wanita kaya yang menghias kuku mereka? Rasanya terdengar mirip.

"Pelacur itu jahat! Suka mencuri! Kamu pasti juga suka mencuri!"

"Iya! Jangan ditemenin!"

Pada akhirnya, aku tidak pernah mendapat teman. Pada jam pelajaran, mereka memaksaku duduk paling belakang, di sudut dinding yang membuatku kesulitan melihat papan tulis. Pada jam istirahat, aku hanya dapat duduk menonton mereka bermain. Kadang mereka bermain lompat tali, kadang berlomba lari. Kadang bermain bola. Dan jika bola itu meluncur ke arahku, mereka akan mengambilnya sambil berpura-pura aku tidak ada.

Pada akhirnya, aku juga menjadi terbiasa. Menjadi transparan. Pada akhirnya, aku tidak lagi berusaha mencari teman.

Perlahan, cita-citaku berubah, kesukaanku berubah. Saat menginjak kelas lima sekolah dasar, biodata yang kutulis di catatan pribadiku tidak lagi sama.

Prince Effect [COMPLETED]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum