"Syukurlah setidaknya tidak ada luka parah," ucap ayah sambil merelakan napas lega. "Ngomong-ngomong, kenapa bisa kecelakaan, Van?"

"Biasa om," jelas Alvan, "anak remaja usil nyenggol motor." Dia menggambarkan kejadian itu dengan nada santai, meskipun kejadian tersebut jelas menimbulkan kekhawatiran.

Aku melihat ayah mengangguk, ekspresinya tersenyum ketika mendengar perkataan dari Alvan.

"Maaf ya om, Ana jadi ngalamin kecelakaan setelah nemuin Alvan," jelasnya dengan nada penyesalan.

"Loh, bukan salah kamu kok, Van," ujar ayah, mencoba menghibur.

"Maaf juga om, enggak bisa ke sana langsung," sambung Alvan, terdengar menyesal.

"Iya Nak, enggak apa. Justru kalau kamu ke sini dengan keadaan seperti itu, om bakal marah," kata ayah dengan nada lembut, memberikan pengertian.

Lalu, aku melihat bunda mendekati ayah. Aku dan Arjun hanya bisa menyaksikan mereka tengah berbincang, penasaran dengan pembicaraan yang sedang berlangsung di antara mereka.

"Va," panggil Arjun pelan, yang aku jawab dengan deheman.

"Kayaknya bokap lo udah nemuin calon mantu yang cocok deh," ujarnya, membuatku langsung mengalihkan pandangan pada Arjun. "Lihat akrab banget, sampai anak kandung dilupakan," tambahnya dengan nada suka cita. Aku hanya tertawa mendengarnya.

"Ya bagus dong kalau gitu, palingan abis ini lo yang ditanyain kapan nyusul?" ejekku padanya, mencoba menyelipkan humor.

"Asem!" umpat Arjun, dan aku hanya tertawa kecil mendengar reaksinya yang khas.

Lalu, ayah menyodorkan kembali ponsel milikku; ternyata, panggilan itu masih terhubung dengan Alvan. Setelahnya, ayah dan bunda pamit pergi ke kamar, meninggalkan aku dan Arjun di sini, dengan posisi aku yang menyandar pada bahunya.

"Lukanya udah diobatin?" tanya Alvan di sebrang sana, sementara aku mengangguk.

"Besok gua jemput pake mobil aja, ya?" tawar Alvan dengan perhatian.

"Gaya lo jemput pake mobil, emang punya?" goda Arjun, menciptakan atmosfer canda di antara kami.

Aku melihat Alvan menatap sengit ke arah Arjun. "Apa lo? Mau gua tumpangi juga?"

"Boleh, mumpung kaki gua lagi sakit," goda Arjun balik.

"Ntar gua tumpangi pake mobil ambulans khusus buat lo," seloroh Alvan.

Aku tertawa mendengar ucapan dari Alvan, sementara Arjun sudah memasang raut wajah masam.

"Gak gua kasih izin lo jalan sama Ana," protes Arjun dengan nada serius.

"Lah, sapa lo ngelarang? Bapaknya? Gak berlaku hak lo sama gua," balas Alvan dengan nada santai.

Arjun tiba-tiba mengambil ponselku, menatap kesal pada Alvan. "Cih, gua bikin reputasi lo jelek di mata ayah, mampus."

"Gak liat gua udah ngantongin restu sama om Satrio? Lo lupa gua udah lolos seleksinya," jawab Alvan dengan percaya diri.

"Anjing lo!" umpat Arjun dengan ekspresi kesal, lalu menyerahkan ponselnya padaku. Aku hanya bisa pasrah melihat mereka ribut; sudah menjadi hal biasa ketika Alvan dan Arjun bertemu.

"Nyadar gak sih kalian?" protesku.

"Apa?" tanya Alvan.

"Apa?" timpal Arjun.

Aku terkikik mendengar mereka berucap bersamaan.

"Kita jadi triple pincang, Alvan dikaki kanan. Lo, Njun dikaki kiri, lah gua dua-duanya," candaku, menciptakan situasi humor di antara kami.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now