Butterfly Effect Paradox: Warna Kulit

177 18 3
                                    

————— Paradoks —————
Butterfly Effect Paradox: Warna Kulit
Written by: Ryby
[author_ryby]
——————————


"Jangan sering main panas-panasan, nanti kulitnya hitam!" omelku pada seorang anak kecil berusia lima tahun di hadapanku. Kulitnya putih bersih dan rambutnya tebal hitam. Dia memegang erat benang layangannya, seraya memandangiku heran bercampur takut.

"Tante siapa?" tanyanya.

"Aku adalah istri kamu di masa depan!"

"Hah?!"

Anak kecil di hadapanku ini adalah suamiku, Mas Reno, di masa lalu. Saat melihat album foto-foto lama, entah bagaimana prosesnya, aku terlempar ke masa lalu yang berada dalam sebuah foto.


***

Beberapa jam yang lalu.
Akhir-akhir ini, sifat minder Mas Reno mulai sering muncul, mengenai warna kulit Mima, bayi kami. Terutama hari ini, setelah kami bertiga baru saja mengambil foto polaroid bersama Mima, yang baru saja genap berusia enam bulan. Kulit hitam kami berdua dalam foto terlihat kontras dengan Mima yang putih.

Sewaktu lahir, Mima berkulit kemerahan. Wajahnya persis sepertiku. Dahinya jenong pula mirip aku dan papaku. Dari Mas Reno, Mima mengambil bagian bibir atas yang tebal dan rambut hitam lebat. Sifat dan kelakuannya pun mirip Mas Reno kecil kalau kata ibu mertua, suka menangis keras dan suka menggigit.

Namun, makin hari warna kulit asli Mima terlihat, yakni putih bersih.

Aku berasal dari etnis jawa. Masyarakat jawa memiliki warna kulit yang cukup beragam. Kulitku gelap, menurun dari gen keluarga papaku yang juga serupa. Sementara itu, Mas Reno adalah keturunan etnis sunda yang mayoritas masyarakatnya berkulit putih. Seluruh anggota keluarga Mas Reno putih. Masalahnya adalah, kulit Mas Reno hitam sendiri.

Sebenarnya tidak mengherankan kalau Mima berkulit putih. Gen di keluarga kami memang banyak yang putih. Mamaku juga berkulit putih. Akan tetapi, Mas Reno jadi minder sendiri, karena dia merasa seharusnya warna kulitnya dan Mima sama putihnya.

"Aku takut gak dianggap sebagai papanya Mima nanti, sama orang-orang ...," ucap Mas Reno lemah, suatu hari. Sifat mindernya mulai menyerang lagi.

Mas Reno orang yang sangat cerdas. Saat usia sekolah, berkali-kali dia menyabet gelar juara olimpiade sains. Aku bertemu dengannya saat kami masih menjadi karyawan baru di suatu perusahaan. Saat pertama mengenalnya, dia orang yang sangat pemalu. Namun, hanya dalam waktu hitungan bulan, posisi Mas Reno melejit menjadi asisten manajer.

Semua orang memuji pencapaiannya. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya Mas Reno memiliki sifat minder akut. Selama ini, aku lah yang selalu menyemangatinya mati-matian di belakang. Sifat mindernya datang dari warna kulitnya yang hitam.
Semasa kecil hingga usia remaja, dia tinggal di kota Bandung, yang mayoritas warganya berkulit putih. Kulit Mas Reno yang hitam membuatnya jadi sering dirundung di sekolah. Sifat mindernya datang dari berbagai hinaan yang dia terima. Seandainya Mas Reno tidak minder, aku yakin dia dan kecerdasannya itu bisa melangkah lebih jauh lagi dari sekarang.

"Seandainya dulu aku gak bandel. Ibu sering marahin aku pas kecil, begitu tau aku main layangan panas-panasan. Ingin rasanya kembali ke masa lalu, memperbaiki semuanya."

Memang, sebenarnya kulit Mas Reno tidak sepenuhnya hitam, hanya di bagian wajah, leher, dan lengan bawahnya saja. Itu adalah area yang sering terpapar sinar matahari langsung. Selebihnya, kulit Mas Reno putih bersih di area yang tertutup pakaian. Namun, orang hanya percaya pada apa yang terlihat saja.
Kemudian, yang terjadi berikutnya di luar nalar. Bukan Mas Reno yang kembali ke masa lalu, tetapi aku.

Aku sedang membereskan kumpulan album lama di gudang, ingin menyimpan foto-foto polaroid yang baru saja kami ambil, di sisa-sisa slot yang ada. Secara tak sengaja aku menemukan foto-foto Mas Reno sewaktu kecil. Sebuah foto menampilkan dia yang tengah bermain di lapangan. Kala itu, wajahnya masih putih bersih.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, tiba-tiba aku berada di waktu dan tempat yang sama seperti di foto itu.


***


Di tanganku, terdapat album yang tadi sedang kulihat-lihat, ikut terbawa bersamaku ke masa lalu. Kucocokkan foto Mas Reno kecil dan anak lelaki di hadapanku ini. Persis sama. Aku benar-benar kembali ke masa lalu. Tentunya, anak itu masih terkejut dengan pernyataanku tentang aku adalah istrinya di masa depan.

"Tante gila, ya?" tanyanya polos. Matahari menyengat di atas kepala. Pantas saja kulit Mas Reno hitam saat dewasa nanti.

"Dibilangin gak nurut! Sana pulang!" bentakku. Detik berikutnya, anak itu langsung kabur ke rumah dan berteriak, "Ibuuu! Ada tante-tante gilaaa!"

Sukses. Setidaknya, Mas Reno kecil jadi takut kalau main panas-panasan di luar sekarang.

Aku mencari koleksi foto-foto polaroid kami yang terbaru, ada di halaman belakang album. Semoga aku bisa kembali ke masa depan seperti yang ada di foto. Kutemukan fotoku yang sedang berpose sendiri. Kutatap dalam-dalam, dan keajaiban kembali terjadi. Aku kembali ke masa dan tempat yang sama persis di foto tersebut.

Aku mengerjapkan mata. Kupandangi sekitar. Aneh, aku berada di sebuah rumah kosong. Tidak ada perabotan apa pun.

"Mas Reno! Mima!"

Tak ada seorang pun menyahut meski kupanggil mereka bedua berkali-kali. Tangis bayi pun tak terdengar sama sekali.

Aku bergegas keluar rumah. Suasana jalannanya masih sama, hanya rumah yang seharusnya sudah Mas Reno dan aku cicil sejak setahun lalu yang tampak berbeda. Ada tulisan 'Rumah Dijual' di depan pagar.

Cepat-cepat kukeluarkan ponsel pintarku dan menghubungi mama. "Ma, Mas Reno dan Mima lagi ke rumah mama, ya?" tanyaku panik. Suara mama di serang terdengar kebingungan.

"Reno siapa?" tanya mamaku balik.

"Ya, Mas Reno! Suamiku!"

"Hah? Sejak kapan kamu menikah!" Mama berteriak terkejut. Aku pun ikut kaget. Panik, aku mematikan sambungan telepon.

Kucari nomor ibu mertuaku dan segera menghubunginya. "Bu, Mas Reno lagi di rumah Ibu, ya?"
Suara di seberang lebih mengejutkanku dengan pertanyaannya, "Maaf, ini siapa, ya?"

"Ini Tia, Bu! Mas Reno ada di sana, 'kan?"

"Maaf, saya tidak kenal kamu. Anak saya Reno sedang bekerja di London saat ini, sudah lama tidak pulang. Ada hubungan apa, ya, antara kamu dan anak saya?"

Tanpa menjawab apa pun, kututup sambungan telepon tersebut.
Album foto di tanganku pasti menyimpan jawabannya. Kubuka lembarannya satu persatu. Seluruh fotoku bersama Mas Reno dan Mima hilang sama sekali. Yang tersisa hanyalah foto-foto Mas Reno kecil dan fotoku yang berpose sendirian saat dewasa.

Tiba-tiba, aku teringat akan pemikiranku sendiri, sesaat sebelum aku pergi ke masa lalunya Mas Reno.

Seandainya tidak memiliki sifat minder, Mas Reno dan kecerdasannya itu pasti bisa melangkah lebih jauh lagi dari sekarang.


***

Jurusan Fantasi The WWGWhere stories live. Discover now